Kelopak 04

14 1 0
                                    

Kelopak 04.

"Senyumanmu yang indah bagaikan candu. Ingin terus kulihat walau dari jauh. Eh enggak, aku maunya memiliki senyuman itu, bukan cuma melihat."

★☆★


Hari Sabtu pagi ini terasa berbeda bagi Azalea. Rutinitasnya tidak langsung bergegas ke sekolah untuk melakukan kumpul rutin dengan rekannya sesama anggota Palette setelah berdandan rapi. Kini, ia harus menghadapi Surya, sang ayahanda.

Suasana di ruang makan menjadi sedikit tegang dengan adanya sang pemimpin keluarga yang berkuasa penuh. Bahkan untuk memunculkan dentingan di antara alat makan pun rasanya sangat menegangkan.

"Cepat selesaikan makan. Ada yang perlu Papa bicarakan dengan kalian," ucap Surya kepada ketiga anaknya.

Ketiga bersaudara itu mengangguk patuh. Di antara mereka tak ada yang berani membantah, meski sebenarnya sangat ingin. Bahkan, Arlan sang bungsu yang biasanya tak tanggung-tanggung langsung mencurahkan uneg-unegnya, kini bungkam.

Dikejar waktu, Azalea segera melahap habis makanannya. Setelahnya, ia menunggu kedua saudara laki-lakinya itu menyusul. Ia menatap Surya lamat-lamat. Sebisa mungkin tanpa diketahui.

"Kamu mau ngomong sesuatu?"

Tapi, gagal. Surya segera menyadari bahwa putri satu-satunya menatapnya dalam diam. Ia balas menatap Azalea seraya tersenyum yang mau tak mau Azalea ikut membalas senyum. "Ayo ikut Papa ke ruang keluarga." Ia berdiri, lalu menatap kedua putranya yang tak kunjung selesai makan. "Kalian berdua segera selesaikan makan dan menyusul."

Tak mau membuang waktu, Azalea segera bangkit dari kursinya. Sebelum melangkah, ia menatap Ares dan Arlan satu per satu.

"Apa?" tanya kedua lelaki itu bersamaan.

Azalea mengangkat bahu acuh tak acuh. Ia sebenarnya ingin memarahi mereka karena sengaja mengulur waktu demi keselamatan pribadi. Tapi, biarlah. Toh, ia juga harus bergegas.

"Semangat, Kak!"

"Hati-hati, Zal!"

Azalea melambaikan tangan kepada keduanya tanpa menoleh ke belakang. Ia melangkah menghampiri Surya yang sudah duduk di sofa ruang keluarga, berteman sebuah majalah dalam genggaman.

Azalea mengambil tempat duduk di depan sang Papa. Sengaja, agar jaraknya sedikit terpaut. Jika terlalu dekat, habis sudah. "Kenapa, Pa?" tanyanya sekadar basa-basi.

"Gimana sekolahmu? Nilai stabil?"

Pertanyaan pertama yang tak pernah berubah. Azalea perlahan melukiskan senyum manisnya. Dengan mudah, ia menjawab, "Lancar, Pa."

"Kamu selalu bilang lancar karena kamu ambil IPS. Pelajaran di IPS itu gampang, 'kan?" Surya meletakkan majalah yang dibacanya ke atas meja. Bersedekap, ia menatap tajam putrinya.

"Papa sendiri, kan, yang bilang Azalea boleh ambil IPS, asalkan selalu dapet ranking satu," sanggah Azalea. Ia mulai memberanikan diri mengutarakan pikirannya.

"Mama yang bilang, bukan Papa."

Menghela napas sejenak, Azalea lalu kembali tersenyum. "Oke, lalu apa lagi yang mau Papa bicarakan? Tentang Palette? Melukis ataupun menggambar nggak jadi halangan Azalea buat terus bikin Papa bangga. Jadi, Papa tenang aja, oke?"

"Karir kamu bagaimana? Denger-denger, kamu mau nolak tawaran acting jadi pemeran utama. Kenapa?"

Jemari Azalea saling meremas kuat. Di antara banyaknya daftar pertanyaan yang diajukan oleh Surya, pertanyaan mengenai karir inilah yang membuat gadis itu terbungkam dengan tangan terkepal.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 13, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AZALEAWhere stories live. Discover now