EPS 14 : SAYAP PELINDUNG

73 10 1
                                    

Sehari setelah Ayah masuk ke ruang IGD, siang ini lebih tepatnya pukul sebelas siang Ayah akan melakukan katerisasi jantung, kemudian sorenya dilanjut dengan tindakan pemasangan ring jantung yang akan dilakukan pukul tiga sore dan diperkirakan selesai pada pukul lima sore

Kami menunggu dikursi tunggu khusus pasien didepan ICCU, sembari berdoa meminta agar Tuhan memberi kelancaran untuk Ayah. Ranu melihat wajah Bunda, wajahnya terlihat capek seperti seharian tidak tidur karena harus mengurus Ayah. Walaupun mereka sudah resmi bercerai, namun cinta Bunda kepada Ayah tidak pernah surut ataupun padam.

Tepat pukul setengah lima sore, dokter memberi tahu kepada kami bahwa pemasangan ring telah usai, dan pasien dalam keadaan baik-baik saja. Kami sejenak bernapas lega, namun bak ditimpa puing yang jatuhnya saling berguguran, dokter memberitahu kepada kita bahwasannya Ayah juga mengalami gagal ginjal, ginjalnya sudah tidak berfungsi dengan baik. Sehingga dokter meminta kepada pihak keluarga untuk menyetujui cuci darah yang akan dilaksanakan pada pukul tujuh malam hingga selesai, prosesnya bahkan cukup memakan waktu sekitar lima jam.

Waktu terasa begitu cepat berlalu, mulai dari detik berganti menit, menit berganti jam dan tibalah dimana Ayah harus melakukan cuci darah yang dimulai dari pukul tujuh malam dan usai tepat pukul dua belas malam. Saat ini Ayah Ranu masih berada di ruang ICCU tanpa seorang pengunjung, karena dokter tidak memperbolehkan pengunjung untuk masuk kedalam ruang ICCU hanya untuk sementara.

🕊️ 🕊️ 🕊️

Sehari setalah Ayah melakukan pemasangan ring jantung, kini pihak keluarga pasien diperbolehkan untuk menjenguk, itupun juga dibatasi hanya boleh dua orang saja. Rencananya juga nanti sore Ayah sudah diperbolehkan untuk kembali ke ruang bangsal karena keadaannya berangsur membaik.

"Ranu, Bunda minta tolong temenin Ayah sebentar aja, Kemarin sebelum Ayah masuk IGD beliau bilang ke Bunda kalau beliau nelepon Ranu, tapi Ranu baru lomba. Sebentar saja, Bunda mau beliin makanan, adikmu kasian belum makan. gapapa, kan?"

" Adik kesini, Bund?"

"Ditaman bermain sekarang, bareng keluarganya Erika. Bunda minta tolong titipin Rena sama mereka. Ya gimana lagi, Rena gak diperbolehin masuk, cukup sampai didepan taman bermain yang disediain sama rumah sakit--"

"--Bunda pergi dulu." Lanjut Bunda sembari menepuk bahu milik Ranu dengan pelan.

Ranu mengangguk dan dibalas dengan senyuman oleh Bunda. Detik itu juga Ranu berjalan kearah brankar dimana sang Ayah tertidur pulas diatas brankar rumah sakit. Wajahnya sekarang penuh dengan gurat keriput, wajah yang dulu selalu memberi kehangatan kini berubah menjadi pucat pasih. Ranu membelai tangan kokoh milik Ayahnya, mengusapnya dengan perlahan kemudian mengenggamnya dengan erat, ia letakan tangan itu kepipi miliknya, tangannya terasa sangat dingin.

Kelopak mata milik Ayah Ranu bergerak dengan perlahan, sampai kedua bola mata kami saling beradu tatap dalam keheningan. Tangan nan kokoh itu bergerak ingin mengusap wajah sendu milik Ranu, namun reflek pemilik wajah itu memundurkan kepalanya. Kenangan yang terjadi selama lima tahun tiba-tiba saja hinggap didalam memori milik Ranu, bagaimana sikap sang Ayah kepadanya, tangan itu bak seperti memanggil memori lama yang telah Ranu pendam sedalam-dalamnya namun kini ia kembali menampakan ketakutannya.

" Hei." Suara Ayah terdengar sangat parau, Ranu rindu, benar-benar rindu dengan suara beliau, sudah sejak lima tahun ketika beliau memilih pergi meninggalkan rumah dan memilih untuk memulai kehidupan dengan seorang diri.

Bahkan selama lima tahun ini Ayah membatasi kami untuk bertemu, hati mana yang tidak sesak jika Ayah kandungmu sendiri yang memutuskan untuk saling tidak berkomunikasi satu sama lain dan dipertemukan dengan kondisi yang bisa dikatakan memburuk.

Ranu diam, dia tidak merespon sama sekali. Canggung karena sudah lama tidak ada interaksi diantara kami berdua. Ranu menatap sang Ayah dengan kedua bola mata yang sudah berkabut, ia dengan sekuat tenaga membendung air mata itu agar tidak tumpah ruwah saat ini.

Ayah mengangkat tangan miliknya yang mengarah ke wajah milik Ranu, tepat dia depan bola mata Ranu beliau mengusap dengan lembut, "Maaf, karena Ayah sangat berani melukai perasaanmu, Ayah tau permintamaafan Ayah gak bisa menebus dosa Ayah. Terima kasih sudah menjaga Bunda dan Adik dengan baik, terima kasih sudah menggantikan peran Ayah sebagai tulang punggung. Hanya kata maaf yang mampu Ayah ucapkan kepadamu."

Detik itu juga, air mata itu meluncur dengan deras. Sekuat apapun kamu menahan tangis, sekuat apapun kamu berusaha terlihat tegar, tapi kalau hatimu sedang terluka, menangis adalah wujud dari kemurniaan jiwa.

" Ranu, rindu Ayah. Sangat!." Ucap Ranu yang kemudian menghambur kedalam pelukan Ayah, pelukan yang masih sama seperti pertama kali Ranu bisa belajar naik sepeda, pelukan dimana sang Ayah bangga kepadanya saat ia meraih juara lomba mewarnai tingkat kota kala itu, pelukan yang sangat hangat.

Kami sama-sama menangis, dibawah rembulan yang sinarnya kala itu tampak bersinar lebih cerah dari biasanya, seolah bulan pun ikut merasakan kebahagian yang terpancar.

" Rena, ingin bertemu Ayah. Rena ingin digendong Ayah, pengin dibacakan dongeng oleh Ayah, ingin dikucir oleh Ayah, dan masih banyak lagi. Berjuanglah Ayah demi kebahagiaan Ayah yang paling penting. Jangan pernah membatasi diri untuk berkomunikasi dengan kita, karena kita masih tetap merindukan seorang Ayah."

" Terima kasih sudah berjuang untuk sembuh, Ayah." Kata Ranu yang masih memeluk sang Ayah dengan penuh air mata yang membasahi seluruh wajahnya.

📌 Yogyakarta, 30 Agustus 2020

PAUS & MATAHARI  [ SELESAI✔️ ]Where stories live. Discover now