Satu

3.1K 186 51
                                    






     "Eh, Renata napa tuh?"

Nama itu bikin gue yang lagi jalan santai masuk ke kantin, ikutan nengok ke satu arah. Dari jarak beberapa langkah, gue ngelihat Renata berdiri berhadapan sama Roweina, si mantan putri teladan sekolah pasangan gue tahun lalu; Jinny, anak cheers dari kelas gue, dan satu lagi temen mereka yang gue nggak tau siapa namanya.

"Mentang - mentang lo ketua kelas cewek satu - satunya, anak emas guru - guru, jadi sok ngatur, sok pahlawan, sok solider, najis banget lihat lagak lo yang udah kayak anak jendral—"

"EMANG GUE ANAK JENDRAL!!!"

Buset!

Gue hampir aja ikutan ngejingkat denger bentakan Rena ke Jinny.

"Salah banget lo ngatain gue berlagak kayak anak jendral, because I am!"

"Huuuu..." Seisi kantin sontak tepuk tangan nyorakin kata - kata Rena ke Jinny sementara gue lihat Jinny melotot kesel. Sebagai ketua kelas, dan karena Jinny adalah anak dari kelas gue, pasang muka kalem dan nyali, gue deketin cewek - cewek itu sebelum pecah bentrokan berambut aka saling jambak.

"Ada apa nih?" sela gue, dan dalam sepersekian detik Renata ngalihin pandangan bak sinar laser dia ke gue. Datar tapi nusuk. Atau cuma gue yang ngerasa gitu, I don't know. Gue udah nggak kaget. Lebih tepatnya, gue udah biasa sama sikap Renata yang gue sendiri nggak ngerti kenapa dia adem banget ke gue.

Gue noleh ke Jinny, "Ributin apa sih, Jin?"

"Oh, nggak papa kok, Pandhu," sela Rowie, panggilan singkat Roweina, dengan nada bicara dia yang kalem, 180 derajat bertolak belakang sama gaya bicara Renata, dan bahkan masih ditambahin senyum, "...Rena salah paham aja kayaknya."

Yang dimaksud cuma melengos sinis.

"Iya deh, kalo buat cewek cantik semua cuma salah paham," ketus Rena sambil balik badan tapi sigap gue tangkap lengan dia.

"Rena—"

Gue nelen ludah. Nyatanya tatapan Rena tetep aja bikin gue ciut. Sial.

"Lo tanya aja sama anak buah lo ini," Rena nunjuk ke Jinny, "...dia udah ngomong apa aja soal sepupu lo Lintang!"

Setelah itu Rena nyentak tangannya dari cengkeraman gue.

"Coba semua guru tau kelakuan murid kesayangannya udah mirip kayak berandalan gini."

Gue langsung nahan napas denger kata - kata Jinny pas Rena baru aja jalan buat ninggalin kantin.

Rena berbalik dan ngelihat ke Jinny dengan kening mengerut heran, "Dan gue nyimpen record semua omongan lo tadi, yang gue rasa udah bisa disebut slut shaming, terserah kapan lo pengen gue kasih denger mulut jahat lo di ruang guru."

Sumpah, ngapain sih si Jinny?? Nggak habis pikir sama kelakuan Jinny, gue buru - buru nyusulin Rena yang udah jalan ninggalin kantin.

"Rena!" panggil gue, tapi Rena nggak gubris dan lanjutin jalannya yang cepet banget.

Gue panggil dia sekali lagi, "Rena!"

Asli, gue selalu gemes campur kesel sama cewek satu ini. Akhirnya gue lari dan nangkep pergelangan tangan dia.

"Lepasin," kata Rena dingin, tatapannya nentang mata gue.

"Jelasin ke gue." Aturan pertama yang gue tau waktu ngadepin cewek ini: jangan pakai basa - basi. Bilang apa yang pengen lo denger dari dia, cukup. Masalah dia bakal jawab atau enggak, itu urusan belakangan.

"Tanya sendiri ke Jinny. Lo ketua kelasnya kan?!"

"Gue pengen denger dari lo."

"Gue enggak."

"Re—"

Tanpa gue sangka, dia ngeraih ujung lengan seragam gue, dia cengkeram erat, dan gue baru sadar napas dia kedengeran kesel banget.

"Lo, ketua kelasnya Jinny. Suruh dia ngomong sendiri ke lo semua yang dia bilang soal Lintang, dan kalo ternyata emang cuma salah paham kayak yang Roweina bilang ke lo, lo boleh tampar muka gue," tegas Rena sembari ngelepasin cengkeram tangan dia di seragam gue.

Akhirnya gue cuma bisa ngelihatin punggung kecil dia ngejauh, dan ngedengus pelan. Kalopun ada kesempatan buat nyentuh pipi lo, Re, gue rasa gue bakal jadi mahkluk paling beruntung di bumi. Jadi, demi apa gue mesti nampar lo?

Rasanya gue nggak bisa lebih dangdut dari ini. Pusing. Tapi gue sendiri juga nggak ngerti sejak kapan tepatnya gue jadi norak kalo udah bicara soal Renata Sebastian. Yang jelas, tanpa gue sadar, Renata jadi seseorang yang tentang dia bakal dengan senang hati gue ceritain ke siapa pun.

Renata, cewek 'B aja', yang dari awal masuk sekolah gue cuma sering denger namanya, karena gue beneran nggak pernah denger ada yang ngomongin kelebihan fisik dia, tapi 'galak sih anaknya, tapi dia baik dan tanggung jawab, pemberani pula, kalo lo nggak kenal ya lo nggak akan tau aslinya'.

Yang pertama kalinya gue lihat sosok dia dari deket adalah waktu ada panggilan ketua kelas, pas awal - awal kelas 11.

"Semua hadir ya," kata ketua OSIS waktu itu sambil ngelihatin semua perwakilan kelas yang ngumpul di sana. Si ketua OSIS lalu nanya ke satu cewek berkuncir tinggi yang berdiri di antara murid cowok dari semua perwakilan kelas, "Kamu, iya, kamu... dari kelas mana?"

Cewek itu sigap ngacungin tangannya. "Dari 11 IPA-2, Kak."

"Kamu perwakilan kelas? Kan belnya panggilan buat ketua kelas?"

"Iya saya, Kak."

"Ketua kelasnya?"

"Saya ketua kelasnya!" jawab dia tegas, mukanya yang kelihatan cukup galak spontan bikin si ketua OSIS salah tingkah.

"Oh... iya, iya."

Itulah pertama kalinya gue ketemu dan tau mana yang namanya Renata Sebastian. Quiet tiny, long straight hair, cold eyes, and dimple cheeks. Cantik. Ya nggak sih? Kemudian gue lihat dia lagi, berdiri sebagai protokol upacara, dan di kesempatan lain, gue lihat dia maju di satu upacara Senin buat nerima penghargaan sebagai pemimpin regu Pramuka yang baru aja ngikutin Jambore Nasional dan berhasil bawa regu dari sekolah gue jadi regu terbaik. Wow. Atau juga ngelihat dia di antara siswa PMR yang berangkat buat jadi relawan, juga di waktu lainnya, gue lihat dia debat di satu kegiatan donor darah cuma gara - gara berat ideal dia nggak memenuhi syarat sebagai pendonor. Dan masih banyak kejadian - kejadian lain yang bikin gue nggak bisa nggak perhatiin dia , terus ketawa sendiri.

Selain itu, meski baik gue atau Renata nggak pernah bisa geser posisi teratas ranking paralel yang dipegang sama sepupu gue Doni Citra Atmadja dari semester ke semester, tapi nama kita selalu ada di peringkat 5 besar.

Dan dari banyak hal menarik soal Renata, di antara sifat dia yang keras, atau ketawa dia yang suka bikin gue ikut senyum dari jauh, satu hal yang gue belum bisa ngerti: tatapan dia selalu dingin tiap mata kita ketemu.

Padahal gue pikir gue bukannya anak yang nggak ada akhlak. Gue temenan sama siapa aja. Gue juga dermawan; jajan, senyuman, contekan. Tapi, khusus si Renata Sebastian ini aja, lihat gue kayak lihat karbondioksida.

Jadi, sebenernya gue ada dosa apa sih ke dia?





















***

Serein Where stories live. Discover now