Memoar

1.1K 166 6
                                    

Langkah kakinya makin ringan, meski beban di pundaknya masih terasa berat. Senyum tipis mampir tepat di bibirnya. Aroma teh, kopi serta panggangan roti kismis menelisik penciumannya gemas. Jemarinya terampil membenarkan anak rambut yang sulit diatur. Binar matanya gemilang tetapi lelah. Senyum manis itu menjelma getir, beserta hela napas yang lolos begitu saja.

Lelah. Lelah sekali.

Namun kilatan netranya tidak bohong, sedikit bahagia hendak bertemu kawan-kawan yang setidaknya terasa beberapa persen mirip rumahnya. Mematut diri sekejap. Paling tidak membereskan kerutan di bagian pinggang kemeja, lantas mengecek ponsel siapa tahu mendapat satu atau lebih notifikasi tetapi tidak ada. Mungkin semua sudah berada di tempat yang dijanjikan, batinnya meyakini itu. Sebelum tepukan halus menghampiri pundaknya, serta respon terkejut otomatis tubuh Renjun menciptakan gelak tawa si tersangka. Maka dia hanya sanggup balas memukul belakang kepalanya ringan.

"Maaf deh, lagi pula kenapa sih wajah hyung serius sekali," bocah yang baru saja melontarkan tanya itu Jisung. Cukup disambut decakan dan gumaman tidak jelas seperti bukan urusanmu dan berbagai cibiran yang mahir Renjun ucapkan.

Jisung balas mencebik, "Ya sudah ayo cepat. Kita sudah ditunggu, lho," seraya menggamit tangan Renjun pada lengan kirinya. Renjun yang bersurai sehitam jelaga itu mendengus, tetapi pelan-pelan menyandingi langkah Jisung. Kata menyenangkan terlintas di pikiran, pemuda yang sudah layaknya adik kecil bagi Renjun ini begitu hangat dirasa.

Menuruni tangga satu-satu, dua-dua, tiga-tiga, empat-empat, Renjun tak pernah mau menghitung sisanya. Manik matanya menyapu pandangan hingga ujung, dari lalu-lalang pramusaji atau pojok sofa yang nyaman. Tangan yang memeluk lengan Jisung terayun pelan, membuat pemuda itu tertawa sejenak. Tersenyum manis akan air muka kakak kesayangannya yang jelas berpendar cahaya.

"Mereka di mana sih, Jisung?"

Jisung ikut mengedarkan penglihatannya, sedikit memicing sebab dia lupa memakai kacamata. Berharap menemukan roman-roman yang familier. Kedua alisnya terangkat sedikit, telunjuk kanannya menandai bagian sebelah kanan ruangan, "Itu dia. Mereka di sana."

Tidak tepat pada bagian yang ditunjuk Jisung juga memang, kebanyakan menyebar. Kesana-kemari menyapa satu sama lain atau sekedar duduk di counter minuman. Reuni nonformal seperti ini memang tak jarang dilakukan atas prakarsa seseorang yang kelewat sayang dengan mantan anggota klubnya; Lee Taeyong namanya. Meski Renjun hanya pernah datang dua kali dalam hitungan sendiri.

Sangat berguna kok. Untuk kehidupan orang dewasa yang digerus kerasnya takdir, acara seperti ini bak setetes air di gurun pasir. Sebagian besar bertemu kolega hanya dengan dalih kawan lama. Untung satu sama lain tentu saja.

Maka mereka berdua berniat melanjutkan langkah, menghampiri sejumlah panggilan yang bersahut-sahutan. Senyumnya kembali merekah. Aroma teh, kopi serta panggangan roti kismis tersimpan dalam memorinya. Nyaman seperti rumah, meski Renjun yakin tidak sepenuhnya.

Denting piano itu awalnya mengalun lembut. Membuat ekor mata Renjun menelisik hati-hati di tengah temaram lampu. Mengedipkan mata perlahan sembari mengingat sosok yang tengah menarikan jemarinya lincah. Wajahnya terhalang sebongkah bunga lili dalam guci bening berornamen biru muda. Langkah kaki menuntun Renjun yang mau tak mau mendekat, lantas menahan napas.

Alunan kalem membuai itu perlahan menegas, mempercepat tempo tetapi tak kehilangan esensi, lalu dengan kurang ajarnya melunturkan senyum yang sedari tadi bertengger manis. Manik mata Renjun terpaku. Tertegun sebentar, sebentar, dan lama. Serentetan nada itu mengoyak emosinya, membiarkan bayang menguasai awangnya. Merelakan pikirannya terkusut benang yang selalu enggan mengurai. Di sela-sela remangnya pendar cahaya, batinnya tercabik.

Kakinya membatu. Bibirnya mengatup rapat. Hela napasnya tertahan di sudut paru-paru. Dirinya bagai hidup dalam batas ambang sadar dan tidak, terlalu lemah memikirkan keduniaan beserta isinya, terlalu letih menyingkirkan kehampaan yang berusaha menggerogoti habis tubuhnya.

Denting itu memutuskan melemah, mengembalikkan permainan pada notasi awal. Aroma teh, kopi serta panggangan roti kismis menguar sejenak lalu menguap perlahan, berganti harum tanah selepas hujan. Bising langkah kaki dan kelakar orang dewasa berubah jadi deru pelan televisi yang tak dinikmati atau tawa keras-keras anak kecil berlarian di halaman, berbarengan bunyi 'ting' tanda kue yang dipanggang sejak menit-menit lalu sudah siap.

Waktu terasa tamat kala kedua pasang netra itu bertubrukan. Mengedip tak sadar jika bulir-bulir yang sedari tadi mengembun itu terjatuh juga. Sosok dibalik piano itu terkejut, begitu juga dengan Jisung yang terperanjat. Namun, Renjun lebih tersentak lagi. Satu nama meluncur keluar penyimpanan memorinya.

Jemari Renjun menyeka pelan bekas air mata di pipi, kedua sudut bibirnya terangkat tak bertenaga. Gaung alunan indah tadi masih terasa berdengung dalam kepalanya. Sebenarnya tidak ada yang luar biasa. Pemuda itu pasti hanya iseng memainkannya atau kepekaan Renjun sedang di luar ambang kenormalan, jika normal itu ada dan absolut.

Atau pemuda itu beraroma bak tanah selepas hujan, sedikit minyak lavender, memancar binar matahari yang malu-malu melewati celah tirai, sehangat suara tawa keponakan lucu yang berlarian, semerbak pagi hari kala membuka jendela, serta seakrab sudut-sudut rumahnya.

Na Jaemin terasa beratus-ratus persen seperti rumah dan Renjun tertegun. Kepingan memoar yang tak bertuan itu meronta, meminta Renjun menarik tangan Jaemin lalu kabur dengan tuan barunya itu; pulang ke rumah.




Tamat.




Dari puisi ini.

Dari puisi ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
From Paradise Lost ✧ Jaemren | RenminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang