Royal Battleground | Akhtar

47 9 2
                                    

ROYAL BATTLEGROUND |  BY FroyoMania 

“Maaf, Yang Mulia Raja masih belum berkenan untuk diwawancarai.” Begitu kata penjaga katedral saat salah satu wartawan meminta izin untuk mewawancarai Raja Tarranius Kedua. Beliau adalah orang nomor satu di Notevia, sebuah kerajaan kepulauan berbentuk federasi sekitar 1250 kilometer di timur laut Selandia Baru.

Beberapa meter dari percekcokan kecil itu, Yang Mulia Raja dan keluarganya memasuki sebuah sedan hitam. Mereka baru saja menghadiri misa hari Minggu. Mobil itu melaju pergi meninggalkan halaman katedral megah tersebut.

“Arra, mau sampai kapan kau akan menghindar dari media? Ini sudah enam bulan sejak peristiwa itu,” ujar Ibu. Raja muda di hadapannya membisu.

“Ibu tahu hal ini masih membekas di hatimu, nak. Begitu juga ibu. Dan Pristine, adikmu. Tapi kau masih punya hal lain yang lebih penting untuk diurus,” sambung Ibu lagi. Akhirnya Arra mau menimpali.

“Ibu, bukannya aku tidak mengerjakan hal lain selain menyelidiki penembakan Ayah. Tapi aku hanya ... tidak ingin diganggu media dan berfokus pada masalah-masalah yang harus kuselesaikan,” ujar Arra membela diri.

“Dengan menghilang dari publik selama enam bulan seakan kau hanya diam saja, mengurung diri sambil berduka?” sambar Ibu. “Bukan begitu yang ayahmu ajarkan, Nak. Muncullah di media, walau hanya satu wawancara. Rakyatmu membutuhkan suaramu. Itu akan setidaknya membuat mereka tenang.”

Kali ini, sang raja memilih untuk bungkam.

***

Meski hari Minggu, gedung parlemen yang terletak hanya beberapa kilometer dari Istana itu tetap saja ramai. Perdana Menteri Riva baru saja keluar dari ruang sidang setelah membahas proyek desalinasi  yang dibiayai pemerintah federal di salah satu negara bagian yang pembahasannya berlangsung alot. Sebuah panggilan masuk ke ponselnya.

“Halo, selamat pagi,” sapanya formal. Tak sembarang orang bisa mendapat nomor telepon pribadi salah satu orang nomor satu di Notevia.

“Halo, Riva. Ini Gokdel. Hanya ingin memastikan, apa persiapannya sudah sesuai yang direncanakan?” tanya orang di seberang telepon. Seketika gambaran sesosok pria paruh baya berbadan tinggi tegap melintas di kepala sang perdana menteri. Ia lantas mengulum senyum.

“Semua sudah seperti yang dipersiapkan sesuai rencana. Kali ini keluarga badut itu akan pergi dari Istana untuk selamanya. Akan kupastikan itu,” balas Perdana Menteri Riva semangat. Lelaki di seberang telepon tertawa kecil.

“Baiklah, jika begitu. Semoga kau berhasil,” ucap Gokdel.

“Terima kasih, kawan. Demi Revolusi.”

“Demi Revolusi.”

***

Pusat komando misi Badan Intelijen Federal itu sedang sibuk-sibuknya. Selain membawahi ratusan misi di dalam dan luar negeri, orang-orang dalam ruangan itu juga melakukan penyadapan-penyadapan yang dianggap perlu dan berkaitan dengan jalannya misi dan keamanan nasional.

Salah satunya adalah penyadapan ponsel Perdana Menteri Riva Yatsiyarom. Penyadapan itu diperintahkan langsung oleh Ratu-Abdi  Tiana I, beberapa hari setelah penembakan yang menewaskan suaminya yang juga ayah dari Yang Mulia Raja.

Setelah tujuh bulan, akhirnya penyadapan melelahkan tersebut mebuahkan hasil. Dan operator muda yang baru saja mendengar percakapan itu tak ingin membuang waktu lagi. Ia bergegas melaporkan temuannya pada kepala lembaga.

Setelah mendengarkan temuan anak buahnya, Hiari Aarletsoma, kepala Badan Intelijen Federal juga tak ingin buang-buang waktu.

Saat ini keselamatan Raja adalah prioritas tertinggi.

THE STARS REBORN - Fantastic Kingdoms of Constellation Where stories live. Discover now