-Part 08-

159 43 8
                                    

He Is Caligynephobia

##

Jam kosong. Tak terkecuali bagi Badai, jam kosong adalah salah satu hal ternikmat semasa sekolah. Guru tidak masuk karena ada agenda yang lebih penting semacam rapat dan sebagainya. Oleh sebab itu, di sinilah Badai sekarang. Di atas pohon Angsana besar pojok kanan sekolahan.

Laki-laki itu terlihat damai hari ini. Menikmati angin sepoi-sepoi yang hilir mudik menggodanya agar semakin terlelap.

Seperti biasa, jika jam kosong orang-orang memilih kantin sebagai tempat pelarian, maka berbeda dengan Badai yang akan memilih tempat tak terjangkau. Di atas pohon yang konon punya banyak isu horror. Oke, penunggunya memang ada. Tapi tak semenyeramkan cerita lebay anak sekolah.

Badai bahkan tak segan berbagi cerita dengan sosok tinggi besar yang hanya bisa menggeram, berdehem, dan mendesis saja. Kadang-kadang Badai mengeluarkan seluruh keluh kesahnya dengan berapi-api pada pakde Genta--sebutan yang Badai sematkan untuk penghuni pohon Angsana pojok kanan.

Badai sengaja tidak ke rooftop, siang begini rooftop sedang panas-panasnya dan Badai tertarik untuk berpindah markas sementara.

Dari atas sana, pandangan Badai mampu menjangkau dua lapangan yang berada tak jauh setelahnya. Lapangan futsal dan lapangan basket yang bersisian lokasinya. Pandangan Badai sesekali tertarik melihat orang-orang yang bermain bola dan basket, dan dari kedua olahraga itu, Badai punya titik penasarannya.

Pertama, di lapangan futsal. Bagaimana bisa ada seseorang yang siang-siang begini bermain futsal dengan tetap mengenakan hoodie sewarna mustard, ia akan mati kegerahan. Badai tak begitu jelas memperhatikan wajah laki-laki itu, selain sudut pandangnya yang terbatas, kondisi matanya yang minus ringan juga mendukung.

Kedua, di lapangan basket. Di antara semua pemain basket yang sedang bergerak lincah, bagaimana bisa terselip seorang cewek yang juga tak kalah lincahnya terus mendribble bola bahkan mampu melakukan dunk! Badai berpikir, apa cewek itu tak memikirkan nasib kuku-kuku tangannya? Tapi Badai mengenyahkan pikirannya segera, mengingat yang sedang ia bicarakan ini adalah Seroja Swastamita. Dan siapa pun tahu, basket adalah kekasih sehidup semati bagi cewek itu.

Badai yang naif dan benci olahraga kali ini benar-benar menutup matanya, tapi tak lama ia membukanya kembali dengan kesal, dua orang yang sempat menarik perhatiannya itu kini malah berlarian di dalam imajinasinya.

"Pergi! Pergi! Pergi!" usir Badai. Oke, dia sulit mengusir imajinasi yang diciptakannya sendiri.

Badai diam lagi, sayup-sayup ia mendengar banyak suara seolah sedang berteriak seru bahkan bertepuk tangan. Badai menoleh, namun nihil, bukan suara dari para penonton futsal ataupun basket. Lalu darimana suara itu berasal? Semakin jelas saja dan seolah semakin ramai juga.

"What's hot?" tanya Badai ketika menangkap keberadaan Evans yang baru saja mengisi tempat tepat di sebelahnya.

"Biasa, anak-anak lorong berulah lagi," jawabnya santai.

Mendengar geng pentolan sekolah disebut, Badai sontak berdecak kesal. Tapi, walau bagaimanapun Badai sangat bersyukur ia tak pernah terlibat.

Anak lorong adalah sebutan untuk para penguasa lorong Casablanca, terdiri dari berbagai macam kalangan angkatan dan juga latar belakang. Semuanya yang berpengaruh di sekolah tergabung dalam anggota anak lorong. Mereka sejujurnya jarang berbuat ulah jika bukan seseorang memancing atau memulai. Dan mereka selalu menyelesaikannya dengan otot, jarang sekali menggunakan otak. Padahal, tak sedikit anak lorong yang punya otak cerdas.

He Is CaligynephobiaWhere stories live. Discover now