05. Cerita Ketika Hujan

362 82 13
                                    

Suga menepati omongannya. Setelah menawarkan diri untuk mengantar Wendy. Suga menaruh tasnya dan mengenakan jaket denimnya kembali lalu berjalan ke garasi. Wendy ikut menyusul setelah membawa helm Seulgi.

"Rumah lo di mana?" tanya Suga tanpa basa-basi.

"Belakang monumen," jawab Wendy.

"Gagak?"

"Bukan. Tilil."

Suga tak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengangguk dan menaiki motornya. Wendy mengikuti Suga dan duduk di belakang.

Di perjalanan, Wendy dan Suga tak banyak mengobrol. Mereka seolah sama-sama sepakat untuk saling diam. Wendy hanya bisa melihat punggung Suga yang berada di depan matanya. Namun, pandangannya bergeser dan melirik spion kiri.

Dari sana, Wendy melihat wajah Suga menatap lurus ke depan. Wajahnya terlihat serius dan fokus. Begitu mobil di depan mereka bergerak, mata Suga menyipit untuk mencari celah dan menyalip mobil. Wendy bahkan memperhatikan bagaimana Suga membenarkan helmnya yang melorot begitu motor sudah melajut dengan stabil.

Suga mungkin tak menyadarinya, tapi Wendy melihat semua gerak-gerik Suga dengan jelas. Bagaimana hawa siang Bandung yang panas membuat pipi Suga memerah lucu. Bagaimana poninya yang terlihat lepek dan membuat keringat di dahinya menyembul jelas.

Wendy tersenyum tanpa sadar. Ia menunduk kecil kemudian membungang pandangannya ke arah jalan. Wendy sengaja mengigit bibir bawahnya kuat, berusaha menyembunyikan senyumnya. Namun rasanya tidak berguna. Pipi Wendy sudah lebih dulu memerah dan senyumnya lepas begitu saja. Semua itu terjadi karena perasaan senang yang membuncah di hatinya.

Motor Suga berbelok ke kiri di perempatan Merdeka dan memasuki Jalan Juanda. Langit di atas kepla Wendy pelan-pelan berubah menghitam. Wendy menengadah untuk melihat langit. Namun rombongan tetesan air kecil jatuh bersamaan ke wajahnya.

Dari arah depan, Suga bertanya. "Gue gak bawa jas hujan. Mau neduh dulu?"

Wendy melirik ke depan, ke arah wajah Suga yang sedikit menoleh padanya. "Iya. Neduh dulu aja."

Dari gerimis yang hanya satu-satu, tak lama, hujan berubah deras dan berangin. Motor Suga menepi di kafe pertama yang ia lihat. Kafe itu berlahan parkir luas. Namun terlihat sepi pengunjung. Hanya ada beberapa mobil terparkir di depannya. Hal itu juga yang membuat Suga dapat melihat kafe ini dengan jelas dari jalan.

Begitu motor Suga terparkir di depan kafe, Wendy turun dari motor dan berlari ke arah kafe. Ia meneduh di pelataran kafe yang beratap. Tak lama, Suga datang menyusul dan ikut berdiri di samping Wendy.

Wendy dan Suga melepas helmnya secara bersamaan. Kepala mereka tak basah. Namun tubuh mereka sempat terkena hujan. Hal itu membuat jaket denim Suga dan seragam Wendy basah di beberapa bagian.

"Gini nih kalau ganti daerah. Suka hujan dadakan," dumel Suga begitu ia berdiri di samping Wendy. Ia menepuk jaketnya berkali-kali. Berusaha mempersihkan air yang masih ada di permukaannya.

Wendy tak menjawab. Ia terlihat sibuk mengeringkan wajahnya dengan ujung lengan seragam. Berkali-kali Wendy menepuk pelan pipinya untuk menghilangankan sisa air hujan yang jatuh di wajahnya. Model helm Seulgi yang tanpa kaca membuat air hujan jatuh di wajahnya tanpa penghalang. Rambut Wendy boleh saja tak basah, tetapi poni dan wajahnya lembab sekarnag.

"Rambut lo basah."

Suara Suga membuat Wendy menoleh. Namun belum juga sempat menatap Suga, mata Wendy langsung tertutup begitu sebuah tangan mendekati wajahnya. Tak lama, terasa poni Wendy yang diusak acak. Usakan itu berhenti sebentar kemudian berlanjut.

She Wants To Be Like Her [Suga x Wendy] Long ver.Where stories live. Discover now