07. Sesuatu yang Tak Wendy Tahu

361 75 8
                                    

"Seulgi!"

Suara Bu Sani mengabsen Seugli terdengar dari bangku guru di ujung kelas.

"Sakit, Bu," jawab seseorang.

Mendengar Seulgi sakit, Wendy langsung menoleh pada orang yang menjawab presensi Bu Sani. Di belakang Namjoon, Jimin tengah menyisir rambut tebalnya dengan jari. Matanya masih setia menatap Bu Sani, menunggu guru sejarah itu kembali bertanya.

"Ada suratnya?" tanya Bu Sani sambil menatap Jimin. Untuk urusan presensi, Bu Sani memang terhitung tegas. Makannya setiap izin sakit, siswa diwajibkan membawa surat dari dokter.

Diam-diam, Wendy pun menantikan jawaban Jimin. Ia ingin tahu Seulgi beneran sakit atau tidak. Pasalnya perempuan itu tak memberi kabar apa pun. Kemarin, setelah kembali dari aula, Seulgi terlihat baik-baik saja. Meskipun murung, tapi Seulgi kembali ceria ketika di dalam kelas.

"Ada di meja Ibu suratnya," jawab Jimin singkat.

Bu Sani memeriksa sebuah amplop putih yang tertumpuk buku. Kepalanya mengangguk kecil ketika membaca isi surat. Sedangkan tanganya sibuk membenarkan kaca mata. Setelah selesai, surat itu ditutup dan kembali masuk ke dalam amplop. Setelahnya, Bu Sani tak bertanya lagi. Ia malanjutkan mengabsen murid lain.

Wendy mencoba berpikir positif dan mengiri pesan pada Seulgi. Setidaknya Wendy harus tahu kabar Seulgi.

Namun sudah 2 hari berlalu dan pesannya belum dibalas Seulgi. Perempuan itu bahkan tidak terliaht aktif di media sosial mana pun. Di titik itu, barulah Wendy mulai merasa khawatir. Perempuan itu seolah hilang ditelan bumi.

Wendy tak lagi mendapati seseorang berjalan ke bangkunya dan mengajaknya ke kantin. Bekalnya ia habiskan sendirian di kelas. Wendy biasa melakukan hal itu selama satu setengah tahun terakhir. Namun rasanya sekarang berbeda. Seperti ada yang salah. Ada seuautu yang kurang.

Meskipun baru dekat selama sebulan terakhir, Wendy tak tahu, keberadaan Seulgi mulai mempengaruhi hidupnya seperti ini.

Napas pasrah Wendy terlepas begitu saja. Gadis dengan rambut sebahu itu mencoba memakan bekal makan siangnya. Tak lama, bayangan sesorang berjalan mendekati bangkunya tetangkap sudut matanya. Wendy menengadah dari kotak bekalnya dan disambut oleh wajah Jimin. Lelaki itu tak terlihat seperti biasanya. Tak ada senyum menyapa di wajahnya. Hanya ada rasa khawatir dan gelisah yang terlihat kentara.

"Wen, lo tau Egi sakit kenapa?" tanya Jimin to the poin begitu ia berdiri di depan bangku Wendy.

Wendy menggeleng lemah. "Gue juga gak tau. WA gue juga belum dijawab." Matanya melirik bangku Seulgi sekilas.

Jimin mengangguk mengerti. Ia ikut melirik bangku Seulgi yang kosong. Ternyata bukan hanya Wendy yang merasa ketidakhadiran Seulgi seperti sebuah kesalahan. Jimin juga merasa kehilangan dan khawatir.

"Line gue juga," balas Jimin. Matanya melirik Wendy. "Lo gak mau coba datengin rumahnya? Gue khawatir dia kenapa-kenapa."

Wendy menggigit bibirnya ragu. "Emang gak apa-apa?"

"Gak apa-apalah, lo kan temen dia yang paling deket."

Jawaban Jimin mengusik perasaan Wendy. Meskipun terlihat dekat, Wendy tidak tahu bisa memanggil Seulgi temannya atau bukan.

"Kenapa gak lo aja?" tanya Wendy ragu.

"Gue gak enak kalau ke rumah Egi. Gue cowok," ucap Jimin memberikan alasan. Lelaki itu terlihat putus asa. Sepertinya Jimin memang jujur. Lelaki itu terlihat ingin namun tak bisa.

Akhirnya Wendy mengalah. Ia mengangguk kecil menerima. "Yaudah nanti gue yang ke sana."

Senyum di bibir Jimin barulah terbit. Meskipun kecil namun rasanaya jimin bisa sedikit bernapas lega. "Makasih, yah, Wen."

She Wants To Be Like Her [Suga x Wendy] Long ver.Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu