Tiga; persiapan terakhir

6.7K 1.1K 205
                                    


"Chan, hayok lah besok kita lari di GOR Jati."

Haerya yang duduk di jok belakang motor scoopy itu mengernyitkan keningnya.

"Nanaonan maneh teh mendadak ingin hidup sehat begini?" tanyanya.

Nadhi berdecak. "Eh bukan kitu, sebentar lagi kan kita KKN nih, pasti banyak aktifitas fisik. Mending olahraga biar siap."

"Urang teh tiap hari rapat, jalan ke sekre, jalan lagi ke Fikom, jalan lagi ke rektorat, itu namanya apa anjir kalo bukan olahraga?" sungut Haerya jengkel. "Di sini teh kita mahasiswa setiap kuliah udah berasa kayak pendaki gunung!"

"Itu mah paling betis maneh yang jadi kayak tukang becak, Chan, tapi badannya henteu." Nadhi menanggapi dengan tawa.

Jam-jam 10 malam saja, jalan Sayang sudah sepi begini. Nadhi mau tak mau harus mengantarkan Haerya ke kosannya karena sudah tidak ada angkot lewat dari jam 5, sementara warga di sana sedang galak-galaknya dengan ojek online.

Kadang, jika tidak beruntung, Nadhi sendiri hampir pernah dicekal disangka ojol oleh sekawanan bapak-bapak. Nyaris saja wajahnya kena bogem mentah jika Haerya tak keluar kamar dan menunjukkan foto selfie aib mereka berdua yang dia simpan di ponselnya sambil marah-marah, "Ya gak mungkin lah saya foto selfie dulu sama tukang ojek!"

Walau sedih karena tampangnya disangka mamang ojek online, Nadhi memberengut dan selama satu jam mengulang-ulang kuliah, "Makanya maneh tolong pisan kalo dijemput tuh jangan lama keluarnya gara-gara masih dandan, anjir!" tanpa jeda.

"Gak ah, lari pagi cuma akan mengganggu waktu tidur urang yang berharga." tandas Haerya, menolak mentah-mentah.

Nadhi menghela napas. Kosan Haerya sudah nampak di depan mata. Penumpangnya segera sadar diri dan turun dari motor, mengembalikan helmnya.

"Tapi jangan nyesel ya, kalo besok urang fotoin Mandala keringetan abis olahraga?"

-------------------------------------------------------------------------

Nadhi sesungguhnya tidak merasa takut dengan kebugaran tubuhnya. Untuk ukuran anak yang aktif mondar-mandir di kampus yang hasilnya jadi sering begadang demi menuntaskan tugas dan deadline, dia merasa tubuhnya cukup tahan banting. Tapi jaga-jaga kan tidak pernah salah.

Jena dan Mandala sudah lari dua keliling begitu Nadhi tiba di GOR. Ada banyak mahasiswa berserakan di pinggir-pinggir lapangan, kelelahan hanya karena satu putaran. Atau tim mahasiswi yang terkikik keras-keras sambil menunjuk-nunjuk si ketua BEM dan atlet kampus itu bergantian.

"Kalian teh biasanya berapa putaran?" Nadhi yang kini menyusul di belakang mereka menyapa.

"Ey, tumben kamu ikutan, Na." Mandala duluan bersuara.

Jena memandangnya bingung. "Biasanya kalo diajakin nolak melulu? Kita biasanya sih 5 sampe 7 putaran."

"Inget, KKN harus bugar, satu bulan di desa pasti deh banyak kegiatannya." Nadhi menjawab diplomatis.

Mandala langsung tertawa. "Kenapa sih belakangan ini semua orang kayak overthinking sama KKNnya, padahal nggak susah lho, guys! Seriously."

Nadhi mendengus. "Kang Mandala kan KKNnya di Lembang, beda kasta ya." dia menyindir.

"Lembang juga gunung!"

"Tapi nginepnya di villa! Alfa tinggal kepleset nyampe! Pas KKN masih bisa dugem di Setiabudi kalo mau." keluh Nadhi.

Jena terkekeh. "Aku harus latihan renang gitu, ya, buat di Pangandaran?"

tanda; mengenal makna - JaemRen  [ ✓ ]Where stories live. Discover now