Sepuluh; selangkah

7.9K 1.1K 1K
                                    


Jam tujuh pagi lebih sedikit, Junio membuka mata. Tubuhnya menyamping, menghadap tembok dengan dua tangan tak asing melingkari. Sementara di belakangnya, ada dada bidang yang dia lihat kemarin pagi.

Tanpa diduga sama sekali, tidurnya semalam nyenyak tanpa mimpi. Bebas dari beban masalah yang sebenarnya ada di kepala dan menghinggapi. Situasi pagi ini makin menambah kenyamanan pikirannya. Hangat dan familiar, tanpa distraksi.

Lima menit lagi, putusnya dalam hati.

Baru kali ini, dalam seumur hidupnya menjadi morning bird, kasur lebih menggoda untuknya di pagi hari.

Kali pertama dia terbangun di pelukan Nadhi, meski dengan bumbu-bumbu kaget dan drama, di malam mereka memutuskan tidur di ranjang yang sama bukanlah menjadi yang terakhir. Mudah baginya menemukan tangan kokoh cowok itu bersandar nyaman di bahunya dengan kaki saling menyilang. Atau bahkan kepalanya yang entah sejak kapan sudah berakhir menjadikan dada si ketua KKN sebagai pengganti bantal, padahal tak ada kesamaannya sama sekali.

Rasanya membingungkan. Karena Junio pernah berkata jujur pada dirinya sendiri jika dia tak keberatan. Tapi semakin dibiarkan, semakin dia canggung tak karuan karena dia tak pernah tahu apa reaksi Nadhi jika cowok itu bangun dengan Junio di pelukan.

Belum sampai batas waktu lima menit, pikirannya sudah mondar-mandir kemana-mana. Hembusan napas Nadhi lama-lama terasa jelas beradu dengan tengkuknya, menyadarkannya akan ketiadaan jarak di antara mereka kini.

Junio benar-benar sedang mempertimbangkan untuk mengagalkan niat lima menitnya tadi saking banyaknya stimuli yang harus diproses otaknya pagi ini. Bagaimana Nadhi memajukan wajahnya, yang otomatis menyandarkan kepala cowok itu di perpotongan bahu dan leher Junio. Atau ketika tangannya makin mengeratkan pegangan di pinggang teman sekamarnya yang sudah terbangun. Atau... ketika Junio berusaha menggeser posisinya barang sedikit saja tapi langsung dibalas erangan rendah dari Nadhi tanda tak terima.

Keputusan itu datang secepat Junio yang menyadari kalau dia entah sudah berapa detik menahan napasnya sendiri akibat dari tingkah Nadhi. Jantungnya sudah sejak kapan tiba-tiba terasa berdentum-dentum keras sekali. Kini, Junio lebih takut jika Nadhi menyadari bunyinya ketimbang apapun. Dia memilih bangun.

Melepaskan diri dari rangkulan Nadhi tak sesulit ketakutannya, tentu. Hanya efek ketakutannya saja yang terasa masih menjalari sekujur tubuh.

Junio melarikan diri ke dapur, tempat yang belum tersentuh oleh seisi manusia di rumah itu ketika pagi dan suakanya mencari teh melati untuk menenangkan pikiran. Suara sendok yang beradu dengan cangkir terdengar cukup nyaring di ruangan yang memang dasarnya sudah sepi. Baru satu kali dia menyeruput teh panasnya sambil bersandar di samping kompor, Sabilla muncul dengan morning glory-nya.

Rambut basah dan wajah cerah. Pemandangan yang sebenarnya agak asing ditemui di penghuni rumah pagi-pagi begini.

"Charlene nangis semaleman," ujarnya tanpa tekanan apa-apa. Mengambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air dari dispenser.

Junio menaikkan alisnya. Tapi enggan bersuara.

"Anak-anak udah pada cerita kok ada apa semalem sampe ini rumah sepi kayak kena pembantaian hantu." Cewek itu sempat-sempatnya bercanda, tertawa sendiri pula dengan guyonannya.

"Sab, kalo mau ngomong gak usah bertele-tele. Bilang lo mau apa." Junio menanggapinya dengan wajah datar. Mudah baginya untuk membaca intensi orang, terutama karena basa-basi bukan bidangnya, Junio jadi tak suka berada di percakapan tanpa tujuan.

"Nadhi belom tau apa-apa sama sekali tentang ini," Sabilla mengedikkan bahunya, dia menyandarkan sebelah bahunya ke tembok, memblokir celah Junio untuk kabur.

tanda; mengenal makna - JaemRen  [ ✓ ]Where stories live. Discover now