Delapan; satu permukaan

6.7K 1K 394
                                    


Sepanjang hidupnya, Nadhi bisa menghitung seberapa kali dia benar-benar takut. Selain tak percaya hantu dan hal-hal mistis sehingga teriakan pulang Maghrib akan dibawa kalong wewe adalah isapan jempol belaka baginya sejak lama, Nadhi cukup bisa bela diri walau tak pernah menseriusi amat. Tapi cukup lah untuk jaga-jaga kalau ada begal di Jatinangor ketika larut.

Sayangnya untuk kali ini saja, dia bisa merasakan takut itu dengan jelas di matanya, di ujung parang yang dibawa si bapak dan kini malah lebih parah, diacungkan ke arah mereka. Di belakangnya Junio mengerut tanpa suara, benar-benar tak paham bagaimana harus mensiasati situasi ini. Tangannya setengah melingkar di bahu Nadhi yang digenggam balik oleh cowok itu. Entah untuk memberikan kekuatan atau mencari teman, siapa yang tahu kalau Junio tiba-tiba lari dadakan?

"Nggak kok, Pak." katanya perlahan, dibarengi dengan senyum sopan. Biasanya, dalam situasi normal, negosiasinya hampir selalu berhasil. Semua hal memang ada kali pertama, tapi amit-amit Nadhi tak ingin kegagalan pertamanya datang saat ini juga. Di tengah-tengah semak Majalengka, belum lulus kuliah pula... Dia tak ingin membayangkan respon keluarganya.

Dia mengeratkan pegangannya di tangan Junio, meminta kepercayaannya. "Ini temen saya cowok," dia menarik tangan itu perlahan, supaya Junio menampakkan wajahnya.

Mengerti dengan kode-kode yang dimaksud, cowok yang lebih kecil itu melangkah maju sedikit. Mengangguk lamat-lamat.

"ASTAGHFIRULLAH ALADZIM!"

Mereka berdua mundur satu langkah serentak. Suara menggelegar si bapak menghantam penuh, membuat jantung hampir melompat keluar.

Ada suara mencicit di dekat mereka, begitu juga dengan pergerakan dari puncak pohon-pohon sekitar. Bahkan binatang liar pun menghindar. Kurang jelek apa lagi ini tandanya?

"KALIAN PACARAN SESAMA LAKI-LAKI?!"

"Hah?" Nadhi melongo tak percaya.

Dari buruk, situasi berubah menjadi semakin suram ketika dia sadar wajah si bapak memerah dengan amarah. Kedua tangan Junio meremat jaketnya, lumayan keras. Ringisan dia tahan karena kondisi tak memungkinkan.

"Bukan, Pak! Aduh punten pisan—"

"Kalian!" parang di tangan itu benar-benar diarahkan di depan muka. Nadhi diam seribu bahasa. "Ikut saya ke kantor kepala desa. SEKARANG!"

Lidah mereka kelu. Si bapak itu melenggang dengan langkah besar-besar melangkahi serabutan akan pohon di kanan kiri dengan gesit dalam balutan kaos dan celana lusuhnya. Kentara sekali hapal medan perang ketimbang mereka berdua yang disasarkan Waze.

Junio dan Nadhi saling memandang. Tatapan Junio fokus tapi jelas tak setuju dengan instruksi si bapak.

Terang saja, matahari sebentar lagi terbenam. Ikut ke entah kemana sesuai perintah hanya akan menjamin jika mereka malam ini mungkin tak akan bisa tidur tenang. Syukur-syukur kalau tidak di balai desa semalaman, disidang karena dikira pasangan sejenis betulan. Nama kampus juga kena jadi taruhan. Ruwet masalahnya!

Menyadari kalau bapak itu sudah menjauh sekian meter ke arah dari mana mereka datang tadi, alias ke arah gunung, Junio menggeleng cepat-cepat. Menggenggam tangan Nadhi makin keras hingga rasa sakitnya berubah jadi kebas.

Tangan itu kemudian ditarik dengan putus asa. Dan tanpa suara pun Nadhi tahu artinya; Junio menyarankan mereka kabur saja.

Otaknya berputar cepat dan bibirnya bergerak.

"3..." Nadhi menandai tanpa suara. "2? 1!"

Kaki mereka melesat maju bersamaan. Menembus ranting dan dedaunan dengan barbar supaya tak menghalangi jalan. Mereka sama-sama tak tahu di mana semak belukar ini ujungnya berada ataupun secepat dan sebaik apa ketahanan lari masing-masing. Yang mereka berdua pegang kini hanyalah tangan satu sama lain agar tak terpisah sendiri-sendiri dan rasa percaya. Sisanya diserahkan lewat doa.

tanda; mengenal makna - JaemRen  [ ✓ ]Where stories live. Discover now