Dua belas; tentang rasa

7.9K 1K 449
                                    


"Nadhi enggak ngangkat teleponnya," Sabilla menatap ke layar ponselnya yang berkali-kali menyebutkan nomor yang sedang dituju sedang berada di luar jangkauan seperti kaset rusak.

"Anjir, kapan pulangnya ini?" Kayla merengut di kursinya.

Mereka memang sempat bermain sendiri-sendiri tadi, mulai dari mencoba bebek-bebekan, perahu karet, sampai ada yang menggelar sesi pemotretan demi isi sosial media. Nadhi menunggui mereka semua satu-satu dengan sabar, mengawasi dari pinggiran danau. Harap-harap cemas tak ada yang tercemplung betulan. Baru setelah sadar Junio sudah menghilang, cowok itu bergerak panik mencarinya.

Tempat ini cukup besar, tapi terpencil dari pemukiman, layaknya tempat wisata lain yang jauh dari kota. Nadhi bahkan sudah tahu dari tadi kalau sinyal bukan hal yang lazim di sana. Itu sebabnya ketika nomor Junio sekali tekan saja sudah tak berhasil dihubungi, dia berinisiatif mencarinya. Nadhi sempat kembali untuk membuka kunci mobil mengingat sebentar lagi hujan. Dia kukuh beralasan yang lain semuanya harus berkumpul dan menunggu di kendaraan saja ketimbang ikut mencari bersamanya dan berpotensi ikutan hilang. Namun sampai saat ini keduanya masih juga entah di mana.

"Itu coba kunci mobil ada di mana, nyangkut gak?" Rika bertanya.

"Heh," Sabilla mendelik. "Ya kali tega ninggalin Nadhi sama Junio di luaran sana, balik duluan."

Rika panik, buru-buru meralat, "Eh nanya dong, Sab, gila kali masa gue nyuruh tinggalin."

"Kayaknya kunci dibawa, Nadhi cuma bukain kunci aja kok tadi tuh." Charlene mengingatnya dengan baik. "Tungguin aja kali, nanti juga balik."

Sabilla menengok ke luar, matanya menyipit, berusaha melihat ke kejauhan. Tak ada tanda-tanda dua orang itu akan segera kembali. Yang ada justru semakin banyak awan berat menggantung di langit, siap menumpahkan muatannya.

-------------------------------------------------------------------------

Nadhi tak sempat bicara apa-apa walaupun Junio kini sudah di tangannya. Angin berhembus tanpa peringatan, kerasnya bersamaan dengan hujan yang turun dalam rintikan besar-besar. Mereka panik di tempat sebelum Nadhi akhirnya menarik Junio ke pinggiran di mana saung-saung berjajar, sepertinya disediakan untuk kumpul-kumpul keluarga. Di pinggir danau bisa sambil makan, atau pacaran.

Tak ada saung yang ditempati sama sekali, mereka bebas memilih, dan Nadhi menambatkan pilihan ke yang paling dekat. Sebentar saja, hujan rintik-rintik lima menit tadi berubah menjadi ganas, lebat dan berangin.

"Naik aja yuk, ambil sepatu kamu, biar enggak basah," Nadhi memberikan instruksi setelah mereka terduduk sejenak dengan kaki menggantung di pinggir saung.

Junio mengikuti tanpa suara. Melepaskan sepatunya satu-satu dan beringsut mundur ke pojok belakang saung yang tertutupi, sepertinya berbatasan langsung dengan saung lain di belakangnya. Kalau di rumah makan Sunda, duduk di saung begini berarti mereka akan dihidangkan ikan bakar panas, ayam goreng, lalapan dan seribu satu variasi sambel yang tak akan pernah sempat dihabiskan. Sial sekali sekarang mereka bukan pada situasi ideal seperti itu.

Nadhi mengacak rambutnya sendiri yang sudah pasti sempat terkena hantaman angin dan hujan tiba-tiba barusan. Lumayan basah juga, padahal anginnya lewat hanya satu kali. Dengan begini dia resmi mencoret lari menembus hujan dari daftar solusi.

"Kita enggak usah kemana-mana dulu ya? Hujannya gede banget." katanya sambil meringis.

Junio tak menatapnya, hanya mengangguk, "Hmm."

Nadhi kembali membuka percakapan, tubuhnya beringsut mendekat. "Kamu tadi teh dari mana? Aku cariin," tanyanya dengan nada jenaka.

Tanpa diminta, Nadhi melepaskan jaketnya dan menawarkannya ke Junio. Cowok itu hanya terbalut kaus satu lapis, sementara dia masih menggunakan jumper di bawah jaketnya.

tanda; mengenal makna - JaemRen  [ ✓ ]Where stories live. Discover now