Detak Kedua

40 6 0
                                    


بسم ألله الر حمن الر حيم

Suatu Yang Berharga


Pada pekan pertama, kebanyakan orang akan senang. Sebab, kegiatan dalam lembaga atau perusahaan apapun tidak akan langsung menumpuk banyak. Tidak akan membuat mereka harus melembur pada pekan pertama.

Namum berbeda, bagi Ari itu ialah hal yang biasa. Empat tahun menimba ilmu kemudian satu tahun dilanjutkan mencari pengalam disana membuat Ari terbiasa menggunakan waktunya sebanyak mungkin dan sebaik mungkin pada setiap minggunya.

Sebenarnya ia ingin melanjutkan kembali pendidikannya di negeri orang, meski itu tidak di Mesir kembali. Namun apalah daya, abi hanya mengizinkannya melanjutkan pendidikan di Kota Kembang, kota kelahirannya itu. Sampai saat ini ia sadar, salah satu tujuan abinya ialah perjodohan itu. Ah, sudahlah ia tak ingin membahasnya.

Ari mengambil jam yang tidak berbentrokan dengan pekerjaannya. Empat dari tujuh hari dalam seminggu ia habiskan dengan Perusahaan sebagai Manajer. Beruntung Perusahaannya memberikan kelonggaran, meski harus ada konsekuensi. Sekian persen gajinya dipotong begitulah yang tertera dalam surat kontrak namun tak apa.

Tiga hari lainnya, yaitu Jum'at ia habiskan sebagai Asisten Dosen. Sebenarnya ia tak ingin, namun karena dosen tersebut sangat membutuhkan bantuannya karena beliau juga tengah belajar mengejar gelar Profesor. Maka, mau tak mau ia membantu dosen tersebut hingga dosen tersebut menawarkan diri jika beliau bersedia membantunya untuk pendidikan S2nya disini bila ia mau untuk membantunya menjadi asisten dosen.

Dua hari terakhir, ialah akhir pekan. Ia habiskan untuk menempuh pendidikan S2nya. Meski tak satu hari penuh menjadi Asisten Dosen, ia sedikit sanksi. Sebab, satu dari tiga kelas semester enam kebanyakan kaum adam. Risih memang, namun kembali ia harus menjadi seorang yang profesional dalam perkerjaan.

"Hasbuk, mungkin cukup sekian pertemuan kali ini. Tolong beri tahu temannya yang masih tidak hadir sampai saat ini."

Setelah pernyataannnya di-iyakan oleh para mahasiswa, ia kemudian mengucapkan salam dan pergi. Universitas Islam yang ia pijaki saat ini cukup luas. Tadinya ia akan mendatangi Rais yang memang satu Universitas yang sama dengannya. Mereka berdua sepakat, bila salah satunya tak ada kegiatan, keduanya tidak akan pergi keluar Kampus. Kecuali bila memang ada kegiatan yang sangat penting diluar Kampus.

Ini pula salah satu amanat abi bagi Rais, sebagai penjaga Ari. Awalnya Ari menolak, namun argumennya kalah dengan Rais. Itu pula sebabnya Rais tidak melanjutkan pendidikan di negeri orang.

Rencana menyusul Rais, Ari urungkan. Ia akan pergi ke perpustakaan saja, menyicil catatan untuk mata kuliahnya besok. Tak lama memang, sampai ada waktu sisa sepuluh menit. Lebih baik ia segera bergegas, bersiap memasuki kelas.

Didalam koridor banyak sekali yang membicarakannya. Setiap kelas di semester enam, juga semester lima. Ari mengajar satu kelas di semester lima. Kembali, ia diminta. Bedanya, hanya ketika   Dosen tersebut berhalangan saja, namun jadwal Dosen tersebut memang di hari Jum'at. Tak ayal, setiap hari ini Ari akan menjadi penghuni Kampus.

Padahal belum ada dua minggu ia mengajar, sudah banyak yang mengenalnya. Ari tak perduli memang, namun pembicaraan ini cukup menarik baginya.

"Bu Asdos sudah ada yang punya."

"Masa? Ga percaya aku."

"Jangan berharap banyak."

"Gue lihat, suaminya anak maba."

"Tapi masa iya udah nikah?"

"Masa bu Asdos, sholeh bercadar gitu pegangan sama yang bukan mahram?"

Ari sedikit menyunggingkan bibirnya. Ia tak ingin mengomentari itu, fakta yang mereka semua bilang tidak benar. Bagaimana ia memiliki suami, bila perjodohannya saja jelas ia tidak setuju. Ari melirik lengan kirinya, memang terdapat cincin. Namun itu pemberian uminya, bentuknya memang seperti cincin pernikahan.

📌📌📌📌📌

"Hari ini isu apa lagi teh?"

Akhirnya tak lama, sang pelaku utama atas isu-isu tersebut datang. Ari tersenyum mendengus, sampai Rais meliriknya jahil melihat senyum kakaknya itu. Memang, di dalam mobil jika bersama Rais, ia selalu membuka niqabnya. "Jangan bertanya." ketusnya.

Rais terkekeh, mencubit pipi kakaknya itu. Membuat Ari menggigit Rais, lihat sekarang Rais semakin menjadi bertingkah seperti ia yang menjadi seorang kakak saja.

"Biar Ais sebut ..., teteh udah punya suami, teteh nikah sama Ais, mereka ga percaya kalau suami teteh anak maba yang mengguncang fakultas Qur'an dan Hadist."

Dengan segera Ari memukul Rais, menyebalkan sekali adiknya ini. Apalagi mimiknya saat mengutarakan kalimat terakhir. "Berhenti menjadi menyebalkan!" Rais kembali terkekeh. Mencubit pipi kakaknya, memang siapa yang tidak gemar terhadap pipi itu. Rais memang senang, apalagi Ari sekarang tidak sedingin dahulu.

"Lagian kalau mereka emang niat, kenapa ga nanya langsung. Malah down duluan."

Rais tergelak melihat mimik Ari yang sudah malas. Apalagi pembicaraannya menuju hal yang Ari hindari sejak awal. Bahkan sejak pertemuan itu, Ari tak ingin bertemu dengan mereka. Ari masih kesal, bahkan kepada abinya. Meski ia tahu tak baik, namun Ari akan tetap menolak perjodohan itu.

"Kan bagus, nantinya teteh ada pilihan lain buat calon imam."

Ari mendecak, "Rais Syaidil Umar, berhenti membicarakan soal pernikahan." Rais menyengir, menggerakan jarinya menutup bibir. Angkat tangan saja, kakaknya sudah kesal maka ia akan berhenti.

Rais memelankan laju mobil, melirik Ari yang menampakan wajah letih. Ia sanksi jika Ari takkan mengaku bila ditanya apakah lelah atau tidak. Maka, lebih baik ia menyetel shalawat. Mengatur kursi Ari agar lebih kebelakang sehingga Ari dapat bersandar dengan enak.

"Tidur sana teh, nanti Ais bangunin."

Ari malas berdebat, maka ia hanya menuturi perkataan Rais saja. Bandung cukup macet hari ini, terlebih sekarang malam Sabtu. Mungkin mereka berdua sampai rumah sekitar satu jam kedepan bahkan lebih.

Rais mengusap pelan kepala Ari. Tersenyum pahit mengingat semua hal yang dialami Ari. Baru saja merasakan kebebasan, Ari harus dihadapkan dengan perjodohan yang bahkan ia sendiri tak sangka.

Rais tak menyalahkan siapapun, ia tahu mungkin itu yang terbaik bagi Ari. Apalagi ia tahu, keinginan abi hanyalah menginginkan Ari seceria seperti dahulu. Terbuka seperti dahulu, ketika Ari tidak setuju maka berikan argumen yang kuat yang membuat abinya setuju akan keputusan Ari. Namun, Ari belum seterbuka itu. Kepadanya saja belum, hanya baru merubah sikap dinginnya meski sedikit demi sedikit.

Ari ialah wanita dipenuhi luka. Tanpa pernah mau membagi, ia lebih baik menyembuhkan diri sendiri meski dengan waktu yang lama.

Alasan Rais tidak melanjutkan pendidikan ke luar negeri ialah karena Ari sendiri. Ia ingin menjaga Ari dari dekat, membuat Ari kembali selayaknya dahulu. Maka ia akan bersikap selayaknya Ari dahulu, hingga Ari sadar bahwa masih banyak orang disekitarnya. Tidak harus selalu menutup diri.

Bagi Rais, Ari sama berharganya dengan Umi. Wanita yang sangat ia sayangi dan muliakan.

Gimana Part ini? How about Rais?
Jangan lupa vote, comment and share🤗✨

With Luv - Arrif
Pub 20|14/04|
Re-Pub|09/04|

الحمد الله رب العلمين

Aku RumahmuTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon