Detak Ketiga

29 5 1
                                    


بسم ألله الر حمن الر حيم

Bukan Saatnya Pergi


Matahari belum terlalu terik bersinar. Masih membutuhkan dua jam agar sinarnya tepat diatas kepala. Namun jam mengajar telah usai, untuk hari ini ia selesai pada saat sekarang.

Ari bersyukur, Dosen kelasnya mengajar akan masuk. Ia tidak usah menggantikan dulu, maka jadwalnya untuk hari ini telah selesai sampai saat ini. Rencananya ia akan ke Padepokan untuk menenangkan diri, memang area disana masih asri.

"Ukhti!"

Ari berhenti berjalan, ia kenal panggilan ini. Siapa lagi yang bisa membuatnya dibicarakan oleh banyak orang, mengira jika panggilan ini ialah panggilan romantis. Rais, adiknya yang usil. Ari ingin memarahi, namun urung melihat raut wajah Rais yang serius.

Baru setelah satu langkah dihadapannya, Rais memanggilnya pelan. "Teh." Hanya itu saja membuat ia mengangkat alisnya namun tak berujung lama, hanya sampai Rais menggeserkan badannya sedikit kesamping. Barulah ia mengerti, meski hanya satu mata yang berhasil menangkap pemandangan dibelakangnya. Pandangannya berubah seketika.

"Sedang tidak ingin bicara," dinginnya, kemudian Ari melanjutkan perjalananan nya yang tertunda. Namun, Rais berhasil mencegatnya dengan memegang tangannya.

"Teh ayolah!"

Ari memandang Rais dingin, "kamu berani mencegat teteh? Sudah siap teteh jauhi?" tekannya. Bukan main ancaman Ari, Rais pernah merasakannya dan itu cukup untuk satu kali. Sudah dibilang, Ari ini manusia keras kepala dan pendiriannya teguh.

"Mereka setiap hari menanyakan teteh terus kepada Ais!"

"Dan kamu tahu, teteh selalu tidak ingin bertemu." Memang, Ari tahu selalu ada yang mencarinya setiap hari. Sayangnya, salah satu diantara mereka kakak tingkat Rais.

Ari masih tetap memandang Rais dingin, hingga sebuah intruksi mengalihkannya.

"Kita perlu bicara."

"Sejak awal kamu sudah tahu keputusan ku kan?"

"Bukan untuk menanyakan keputusan mu, tapi meluruskan sesuatu."

"Tidak ada yang perlu diluruskan."

"Sejak awal kamu memandang ku seolah aku tahu rencananya Aria."

Ari menipiskan bibirnya, tidak ada alasan lagi. Memang seperti itu nyatanya, Ia masih selalu kalah berargumen dengan manusia dihadapannya— Hakim.

"Teh, sebaiknya bicara ditempat yang pas. Teteh mau menjadi pusat perhatian?"

Ari kembali menipiskan bibirnya, satu manusia lagi yang ikut dalam obrolan. Sidqi, satu-satunya adik Hakim yang juga merupakan kakak tingkat Rais di Fakultas yang sama— menapaki semester tiga.

Mau tak mau Ari mengikuti keinginan mereka. Tempat makan yang lumayan sepi, mereka tetap berempat. Agar Ari dan Hakim tidak berkhalwat atau berdua-duaan. Duduk saling berhadapan, namun tidak saling bertatapan. Sidqi menghadap ke jendela dengan earphonenya.

Aku RumahmuWhere stories live. Discover now