Detik Kelima

34 3 0
                                    

بسم الله الر حمن الر حيم

Satu alasan

Saat ini rumah salah satu keluarga pondok tengah ramai seperti biasanya. Aba dan Ummah tengah duduk berunding tentang beberapa hal, salah satunya tentang rencana kedepannya perihal buah hati mereka.

Tokoh yang disebut-sebut hanya bisa menghela napas. Hanya ada Aba, Umma, Abah dan Umi. Hakim masih setia mengamati, para orang tua memang mengobrolkan banyak hal.

"Hakim."

Hakim menegakan punggungnya begitu dirinya sudah diajak masuk ke dalam pembicaraan. "Iya Bah?" menatap hormat pada seseorang yang merupakan sosok guru juga ayah kedua baginya.

"Kami sudah berbincang sebelumnya dan kemarin Ari sudah bicara dengan Abah, tapi sebelumnya Abah ingin tahu pendapatmu."

Tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi pada hari esok. Rencana yang sudah dirancang sejatinya teralisasikan juga karena ridhonya Sang Illahi.

Beberapa bahkan tak disangka-sangka. Seperti saat ini, Hakim hanya masih tak menyangka ia benar-benar akan dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Bahkan sang calon wanitanya pun sangat-sangat ia kenali.

Hakim memejamkan matanya, banyak hal berkecamuk pada pikirannya. Terlebih ia diingatkan oleh Ari tentang pembicaraan beberapa bulan lalu.

Menghela napas, Hakim menatap Umar, "bila memang Aba dan Abah sudah memikirkan matang-matang, maka biarkan Hakim dan Ari memilih. Hakim akan meminta petunjuk dulu kepada Allah. Hakim ingin semuanya berjalan secara pelan-pelan dengan ridho Allah sesuai proses syari'at."

Abah mengangguk, "Tapi apakah kamu sudah mempunyai calon yang lain nak?" Hakim mengulum bibirnya. Menatap lantai kemudian menatap sekilas kedua orang tua itu, terus saja seperti itu sampai Ummah mengusap pundaknya.

"Katakanlah, kami disini berdiskusi dengan mu untuk menemukan jalannya nak."

Hakim menghela napas, "sebelumnya mohon maaf Hakim telah mempunyai calon yang lain Aba, Ummah." Aba mengerutkan keningnya, menatap anaknya tidak mengerti. "Jika seperti itu mengapa tidak bilang kepada Aba, Kam?"

"Hakim saat itu masih kaget dengan keputusan yang tiba-tiba. Calon Hakim berasal dari Tarim Ummah, namun Ayahnya beliau belum menerima pinangan karena beberapa hal. Rencananya Hakim akan kembali menanyakan akhir tahun ini Ummah, setelah akhwatnya selesai pendidikannya."

Kedua kepala keluarga itu saling bersitatap. "Jadi bagaimana Aba?" yang ditanya malah menatap sang tokoh pembicaraan. Hakim tahu, jika seluruhnya mata tengah menatapanya menunggu perkataan keluar dari mulutnya.

Hakim melirik seluruh manusia pada ruangan ini sebentar, memejamkan matanya. Mengucap nama Allah dalam hati dengan penuh kekhidmatan.

"Bismillah, Aba, Ummah ..., Ummi, Abi ..., Hikam meminta waktunya untuk bermunajad kepada Allah. Seminggu kedepan Hakim akan terus meminta petunjuk kepada Allah. Sampai saatnya Hakim akan berbicara lagi."


📌📌📌📌📌

Ari sedang terfokus kepada data-data dihadapannya. Namun dikejutkan oleh telepon dari atasannya, "Assalamu'alaikum warramatullah, selamat pagi. Disini Aria Syahidul dari Manajer Divisi Utama, ada yang dapat saya bantu?"

"Wa'alaikumsalam, Ari tolong keruangan saya sekarang membawa berkas dari pak Rafi sekaligus data-data yang sudah pak Rafi minta kemarin."

"Baik pak."

Ari beranjak dari kursinya melakukan intruksi dari atasannya. Ia menghela napas, hampir dua bulan berkerja tidak membuatnya merasa damai. Ada yang mengganjal dalam hatinya, ia berhenti dihadapan pintu untuk menenangkan hatinya barang sedikit. Mengetuk pintu hingga dipersilahkan masuk.

"Ini berkasnya pak."

"Baik, terimakasih."

Bagja beranjak mengambil berkas dari atasannya. Menyimpannya dihadapan Ari, Ari mengangguk kemudian mengucapkan salam. "Ari, tunggu."

"Ada yang ingin aku bicarakan sebentar, jika tidak enak pintunya buka saja."

Ari mengangguk, kemudian duduk setelah sang empu ruangan mempersilahkannya untuk duduk. "Begini, saat ini sudahkah kamu berfikiran untuk menikah?"

Ari terlonjak, dengan santainya manusia ini melontarkan pertanyaan tanpa aba-aba. Ia masih menunduk sampai sebuah pernyataan kembali terdengar.

"Aku memiliki masa lalu yang tidak baik, tapi setelah selesai sekolah aku kembali melanjutkan pesantren. Mendalami ilmu agama, hingga dipercaya menjadi asisten anak kyai yang sekarang kita kenal sebagai CEO perusahaan ini. Aku memiliki niat baik, dapatkah kamu menerimanya?"

Ari terdiam cukup lama, kepalanya pening. Satu belum selesai, datang lagi yang lainnya. Sungguh Allah memang Maha Besar. Ia menghela napas, "silahkan tanyakan kepada orang tuaku, yang lebih berhak atas diriku. Assalamu'alaikum."

Sisa hari itu Ari kerjakan dengan penuh beban fikiran. Dia bukannya tidak bersyukur dan hanya menyerahkan segalanya kepada Allah sedang ia jalani. Namun ia katakan kembali, ada yang mengganjal dihatinya.

Sore harinya Ari pergi bersama Rais ke Padepokan— tempat pelarian Ari. Rais memijat kening Ari yang tengah bersandar padanya, kakaknya itu masih saja belum berbicara sejak menelponnya. Kakaknya tengah penuh fikiran, sejak tadi terus diam dan memejamkan matanya.

"Ingat laki-laki disekolah yang mengajak teteh berbicara dulu?"

Rais berdehem, "laki-laki itu datang kembali?" Ari mengangguk, ia meremas terus jemari Rais. "Ternyata dia Sekretaris CEO di perusahaan teteh." Rais menghela napas.

"Ini alasan teteh risau? Menjadi halangan bagi beberapa hal termasuk urusan dengan a Hakim?"

"Dia ingin datang ke rumah Ais, memiliki niat baik katanya."

"Eh?!"

Rais terlonjak kaget untuk beberapa saat. Kemudian menghela napas setelah merasakan tangannya diremas lebih kencang. Tangan satunya lagi berpindah menjadi mengusap dahi kakaknya itu.

"Teh, bila memang hati teteh sudah terpikat pada satu manusia, pikatlah dalam ridho Allah. Jangan menjadikan sebuah perasaan itu beban. Ingat, Allah yang Maha membolak-balik hati manusia."

"Masalah hati itu ada diurutan bawah Ais,"

"lalu apa?"

Ari menghela napas, ia tak bisa memendam sendiri lagi. Punggungnya ia tegakan sebelum berbicara. "Hakim punya calon akhwat untuk dipinangnya, akhwat Tarim Ais! Bukan sembarang akhwat! Entah Hakim lupa atau tidak, ia juga tahu yang teteh alami."

Rais memijat keningnnya, tidak menyangka dapat serumit ini. "Jangan bilang teteh pernah berbicara berdua di telepon dengan a Hakim tanpa kami?" Kepalanya lebih menjadi pening ketika melihat anggukan dari Ari. "Satu bulan sebelum kami pulang."

Pantas saja Ari tidak memberikan respon yang pasti. Rais kini mengerti, jikalau Ari bukanlah meragukan Hakim atau pula sebaliknya. Melainkan mereka sudah mempunyai pilihan lain. Hati Ari masih terikat pada Bagja, sedangkan Hakim sudah punya pilihan sendiri. Namun disisi lain kedua orang tua mereka sama-sama mengharapkan pernikahan ini terjadi.

"Teh, apapun itu pilihan teteh sertakan Allah didalamnya. Tak perlu Ais jelaskan bagaimana fiqih tentang proses pernikahan."

Ari hanya diam, menyandarkan kepalanya pada Rais. Rais memeluk Ari, meredakan kerisauan kakaknya dengan memijat pelipisnya pelan.

"Apapun itu, Allah pasti memudahkan teh. Insya Allah, bismillah biidznillah teh."

Allah mudahkan hamba kedepannya dalam segala urusan.

*****
Gatau pokonya mau nangis aja di Bab ini😭 vibesnya sedih banget😭 terlalu jatuh cinta sama kisah mereka🤍
Spam comment, vote pokonya💜

With Luv - Arrif
Pub 20|12/07|
Re-Pub |13/04|
2

023

الحمد الله رب العلمين

Aku RumahmuWhere stories live. Discover now