Chapter 10

19.2K 1.8K 77
                                    

-- BATAS SESUATU --

Sepuluh menit berlalu. Dua teman baik Gavin saling melempar pandang. Mereka mengkhawatirkan Gavin setelah kabar rencana pertunangan Rugby dan Marco. Mereka yakin Gavin sedang menyimpan rasa sedihnya.

Siang ini Gavin pergi minum kopi bersama kedua sahabatnya yang selalu setia menjadi pendengar segala keluh kesah. Gedung kantor yang ditempati Gavin berada di dekat coffee shop terenak di kawasan Jakarta Selatan. Pekerjaan Gavin sebagai CEO di perusahaan milik ayahnya di bidang ritel—yang mana ayahnya memiliki usaha department store—memang memusingkan. Namun, urusan Rugby lebih memusingkan lagi.

"Gav, lo nggak mau nyentuh kopinya tuh? Diaduk mulu daritadi. Nggak bakal bikin manis juga kalo lo aduk terus tanpa dipakein gula," tegur Blue Elbran Soedarjo—sahabat Gavin—mulai buka suara setelah diam cukup lama.

Gavin tak menjawab. Apa yang dikatakan Blue benar adanya. Karena sejak tadi Gavin hanya mengaduk kopinya tanpa berniat disesap atau dilihat. Pandangannya kosong entah ke mana seiring tangan yang tak berhenti bergerak.

"Udah jangan diaduk mulu nggak akan ngembaliin Rugby ke pelukan lo," sambung Zero seraya menahan tangan Gavin karena risih melihatnya. Kemudian, dia menarik cangkirnya agar Gavin mulai bereaksi. "Kalo lo cinta kenapa nggak jujur sama Rugby? Kenapa cuma dipendem aja? Lo pikir dia cenayang bisa tau perasaan lo?"

"Ceramahin, Zer. Biar pikirannya Gavin kebuka tuh."

Zero berdecak pelan. "Lo angin-anginin dulu tuh otak lo biar dapet pencerahan."

Blue tergelak. "Hahaha... kejam lo! Gavin tuh kelewat kalem, Zer. Angin juga minder saking keselnya sama dia."

"Ini bukan masalah kalem tapi masalah gentle. Kalo Gavin cinta kenapa harus rela gitu aja? Kalo gue jadi Gavin bakal gue buntingin tuh si Rugby biar bisa nikah langsung tanpa mikir jutaan kali," tambah Zero seenaknya.

Lagi dan lagi Blue tertawa keras. "Hahaha... beneran geser otak lo. Pantes aja klop sama Savannah."

Zero tak hanya sahabat Gavin tetapi juga pacar Savannah. Sahabatnya tidak akan cerita tentang hal-hal seperti ini karena yang memberitahunya tentu Savannah. Lalu Zero memberitahu Blue supaya mereka bisa bertindak agar Gavin tidak hanya pasrah kayak keong yang harus di hah-hoh-hah-hoh dulu.

"Gue bisa apa kalo itu keinginan orangtuanya? Toh, bener kok kalo mereka jodohin sama Marco. Mungkin aja Marco bisa ngebahagiain Rugby," respons Gavin setelah sekian lama hanya diam.

"Lo yakin? Seorang Marco yang hobinya ke bar khusus perempuan telanjang bisa bahagiain Rugby? No offense tapi ucapan lo salah. Marco itu butuh perempuan dewasa yang bisa mengayomi dia, begitu pula Rugby. Jadi mereka berdua nggak cocok," jelas Zero.

Blue mengangguk setuju mengiyakan kalimat Zero. Sementara Gavin memandangi dua sahabatnya dengan wajah putus asa.

"Ayo dong maaaan! Lo tuh laki harusnya bisa buktiin ke Rugby kalo lo menginginkan dia seperti dulu. Jangan nyerah sebelum perang. Itu payah namanya," ucap Zero kembali menyemangati.

"Semangat dong, Gav. Jangan melempem kayak kue," timpal Blue.

"Iya, besok atau lusa gue akan bilang langsung sama dia. Kalo perlu bilang sama orangtuanya buat batalin rencana itu," kata Gavin.

"Nah, cakep!" Blue bertepuk tangan pelan sambil menyenggol bahu Zero yang duduk di sebelahnya. "Omong-omong, gimana kalo lo ikut jalan-jalan ke pulau Moyo?"

"Pulau Moyo? Lo berdua mau liburan?" tanya Gavin.

"Iya sekalian honeymoon," jawab Zero.

"Lo ngajak kakak lo dong, Zer? Nine ikut nih jadinya?" tanya Blue mendadak semangat.

Hello, Ex-Boyfriend! (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang