Chapter 11

17K 1.9K 100
                                    

Selamat Membaca 

Part ini disponsori lagu Post Malone - Circles kesukaannya Gavin ehehe

-

"Dasar sok manis!"

Kalimat itu keluar dari mulut Rugby, berhasil membuat Marco yang berada di sebelahnya tertawa geli. Bagaimana tidak, tingkah laku dan setiap kalimat yang keluar dari mulut Rugby mencerminkan kecemburuan.

Setibanya di Bali, hanya kecemburuan yang selalu diperlihatkan Rugby. Tujuan mereka berubah karena Savannah ingin pergi ke Bali. Mereka tidak keberatan dengan perubahan destinasi tepat di hari H. Savannah memang sudah kebiasaan suka mengubah tujuan seenaknya.

Kebetulan ayahnya Zero memiliki Villa tepat di depan pantai sehingga mereka tidak perlu pusing memikirkan penginapan atau kebutuhan seperti transportasi karena semua sudah disediakan. Bahkan ada sopir pribadi keluarga Zero yang datang menjemput setelah tiba di Bali sebelumnya.

"Kenapa sih ngatain mulu? Cemburu tuh bilang bukan cuma ngata-ngatain," ceplos Marco.

"Sori nih ya gue nggak level cemburuin perempuan kayak gitu."

"Perempuan kayak gitu yang lo maksud lulusan Harvard dua kali."

Rugby hanya ber-oh-ria, lalu mengalihkan pandangannya menuju pemandangan sekitar yang lebih indah ketimbang kemesraan dua manusia di depannya. Kenapa pula dia harus setuju ikut Marco? Meski hari ini tanggal merah dan dua hari setelahnya weekend seharusnya dia tidak perlu ikut. Andai saja dia punya indera keenam sudah pasti dia takkan ikut dalam liburan terburuk ini.

"Sasha selalu nemenin Gavin selama dia terpuruk," ungkap Marco.

"Terus? Gue nggak mau tau."

Marco terkekeh, lalu mengacak-acak rambut Rugby yang sudah berantakan lebih dulu diterpa angin semilir. "Gue cuma mau kasih tau. Kalo nggak tertarik yowes. Siapa tau bisa jadi referensi kalo Sasha sesempurna itu tapi sayangnya Gavin masih kepikiran sama lo."

Rugby diam tak merespons sambil menepis tangan Marco dari kepalanya. Semakin melihat Sasha ada perasaan cemburu yang meningkat. Sasha memang sempurna. Ya, Rugby harus mengakuinya. Tidak hanya secara fisik tetapi otak dan sikapnya.

"By, gue cuma mau kasih tau. Kalo emang masih cinta kenapa gengsi buat ungkapin? Bilang masih cinta nggak bikin lo mati kok."

"It's not as simple as that, Marco."

"Kenapa?"

"Misalnya gue bilang masih cinta terus akhirnya kita balikan apa semua akan sama? Apa hubungan yang kita jalani nanti adalah yang kita inginkan setelah sekian tahun pisah? Apa kita akan merasa bahagia seperti dulu?"

Marco melirik Rugby sekilas, menangkap ada banyak keraguan yang dipikirkan perempuan itu. "Untuk apa lo pikirin hal yang belum tentu terjadi? Kalo hubungan kalian nggak kayak dulu berarti emang udah saatnya move on. As simple as that."

Kalimat Marco berhasil menghentikan Langkah Rugby. Akibatnya Marco turut berhenti dan berdiri menghadap perempuan itu. Di saat yang lain sudah memasuki penginapan, mereka berdua masih betah membahas hal akan masa lalu.

"Gue yakin lo nggak pernah mencintai perempuan dengan setulus hati. Lo nggak pernah ngerti arti kata kehilangan yang sesungguhnya. Lo selalu menggampangkan segala hal dan membuat semuanya terlihat mudah. Apa menurut lo balikan itu mudah? Gimana kalo hal-hal yang gue bilang terjadi? Ternyata di tengah jalan hubungan itu nggak menemukan hal seperti dulu. Can you tell me the answer?"

"First of all, gue belum pernah balikan sama mantan. Kedua, gue pernah kehilangan seseorang dan pastinya lo tau. Ketiga, gue emang nggak pernah mikirin banyak hal karena apa? Semakin banyak lo memikirkan hal yang belum tentu terjadi, lo nggak akan pernah menemukan kebahagiaan. Dan terakhir, gue pernah mencintai seseorang setulus hati." Marco menekankan setiap kalimatnya sambil maju selangkah memangkas jarak di antara dirinya dan Rugby. "Kalo lo ingin mencoba kembali, silahkan. Asalkan jangan mainin perasaan Gavin because you know how much he loves you."

Setelah kalimat demi kalimat terucap Marco segera bergegas pergi meninggalkan Rugby sendirian.

"Dasar kampret! Lo sendiri malah setuju sama rencana pertunangan kita!" teriak Rugby kesal. Sayangnya Marco mengabaikan.

Akhirnya Rugby memilih pergi menyusuri pantai sendirian sambil menikmati embusan angin yang sejuk ketimbang masuk ke dalam penginapan. Dia butuh udara segar dan memikirkan segala hal termasuk perasaan cemburu yang terlalu menguasainya.

Mungkin Marco benar. Dia terlalu takut memikirkan banyak hal meski semuanya belum tentu terjadi. Entahlah pikirannya terlalu runyam bahkan rencana pertunangan pun turut memenuhi pikirannya.

Perlahan Rugby memejamkan mata menikmati angin menyapa tubuh serta air membasahi kaki polosnya yang sudah melepas sepatu sebelum turun ke pantai. Ini pertama kalinya Rugby ke pantai setelah bertahun-tahun lamanya. Dia hanya mendedikasikan diri pada pekerjaan dan mencari cinta yang tidak pernah bertahan seperti cerita dongeng.

"Jangan terlalu lama di luar. Kita mau makan siang sebentar lagi."

Suara itu berhasil membuat Rugby membuka kelopak mata dan melihat jaket yang menutupi pundaknya. Rugby mendapati Gavin yang tersenyum dan berdiri di belakangnya.

"Thanks," ucap Rugby singkat.

"Aku masuk ke dalam ya. Inget jam 12 kita makan siang."

Gavin sudah berbalik badan dan hendak naik ke atas Villa tetapi panggilan Rugby berhasil menghentikan langkahnya.

"Gav..."

"Ya? Kenapa, By?"

"Kenapa kamu putus sama Sasha?"

"Kenapa kamu mau tau?"

"Ya udah nggak usah dijawab."

Gavin menarik senyum tipis. "Aku putus karena takut nyakitin dia."

Rugby mengangguk seakan mengerti. "Kenapa? Bukannya dia perempuan pertama yang berhasil membuka hati kamu setelah kita pisah? Too bad kalian pacaran sebentar."

"Betul. Aku takut jadiin dia pelampiasan. I was not ready at that time. Makanya aku pacaran sama dia cuma hitungan bulan." Gavin menjelaskan sembari berjalan mendekat. Setelah berdiri di samping Rugby, dia meneleng ke samping. "Pada saat itu aku masih belum bisa melupakan kamu."

Rugby meneleng ke samping menatap iris biru Gavin. Dari tatapan hangat itu Rugby menemukan kenyamanan dan tempatnya berkeluh kesah. Di sanalah Rugby menyadari bahwa tempat terbaiknya adalah Gavin. Namun, kejadian di masa lalu berhasil menghancurkan segalanya bahkan persepsinya tentang Gavin selama bertahun-tahun.

"Aku tau kamu berencana tunangan sama Marco tapi, apa nggak ada sedikit aja perasaan yang tersisa untuk aku? Apa kamu udah benar-benar membenci aku sampai rasa itu hilang?" Gavin bertanya dengan menunjukkan raut wajah seriusnya. "Kamu nggak perlu jawab sekarang. Aku nggak mau terkesan memaksa kamu untuk jawab pertanyaan yang satu itu."

Kemudian Gavin berbalik badan dan berjalan pergi seperti sebelumnya. Baru beberapa langkah Gavin mendengar Rugby menjawab samar-samar hingga dia memutuskan menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Tepat saat dirinya menatap Rugby, perempuan itu melakukan hal yang sama.

"Ada. Perasaan itu masih ada bahkan sampai sekarang. It's not easy to forget you, Gavin."

🌹 🌹 🌹

Jangan lupa vote dan komen semuanya<3

Follow IG: anothermissjo

Ini silsilah keluarganya Rugby ya! Tulisan di bawah yang berwarna itu menandakan mereka muncul di cerita apa hehe


Hello, Ex-Boyfriend! (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang