22. Coffee Mouse Cheesecake

2K 350 7
                                    

(Pahit itu menyengat, menghujamkan sembilu lalu menguarkan luka)

Ketika dalam posisi terpojok, biasanya manusia akan merasa semuanya berlangsung begitu cepat atau bahkan melambat. Seperti aku yang merasa semua gerakan menjadi slow motion di film silat. Otak dan tubuhku menjadi tidak sinkron sementara detik terus berdetak.

Soka tertawa saat aku termangu mendengar pertanyaannya. "Nggak usah dijawab sekarang, La."

Aku hanya bisa mengangguk samar, tidak yakin dengan semua ini. Soka mungkin melihat sikapku yang berubah sedikit kaku. Dia menghela napas dengan berat sampai aku merasa tidak enak hati.

"Maaf kalau kamu jadi nggak nyaman. La, aku mau mampir ke Cheeze Bakehouse dulu, boleh? Ada berkas penting yang harus dikasih ke salah satu store." Berhubung di sini aku yang menumpang, jadi aku mengangguk dan Soka mengarahkan mobil ke salah satu mall tempat gerai Cheeze Bakehouse.

Mall di hari minggu masih ramai. Sementara Soka menemui manajer store-nya, aku akan membeli beberapa kebutuhan di apotek terdekat. Stok kapas dan pembersih mukaku sudah habis. Saat sedang mengantri, kualihkan pandang ke luar apotek lalu melihat mereka.

Caramel sedang tertawa. Dia mengenakan kaus longgar dan sweater yang hanya disampirkan di bahu. Sementara itu, di sampingnya Ray masih mengenakan pakaian yang sama seperti tadi siang. Kemudian rasanya hatiku tercubit saat melihat laki-laki jangkung itu mengusap kepala Caramel lembut.

Setelah selesai, aku keluar dari apotek, berharap tidak akan bertemu dengan mereka. Harapan yang sia-sia karena saat berbelok menuju Cheese Bakehouse, Ray melihatku. Dia tersenyum dan melambaikan tangan, sungguh aku tidak tahu apa yang saat ini kurasakan.

"Illa! Kamu udah selesai?" Soka keluar tepat saat Mataku bertemu dengan bola mata cokelat yang menatap terkejut.

"Oh, hai! Kalian ke sini juga? Mau minum kopi dulu?" tanya Soka. Aku menggeleng dan berniat akan menyeret Soka yang sepertinya tidak paham ini situasi aneh.

"Kurasa, lebih baik kita pulang saja, Ka." Tanpa menunggu jawaban, aku berjalan menuju tempat parkir. Soka melambaikan tangan pada Ray dan Caramel lalu mengejarku.

Tiba-tiba saja laki-laki itu menggandeng tanganku. "Kamu nanti nyasar, Illa. Kita harusnya ke kanan."

Wajahku merah padam. Sepertinya dalam kondisi marah, aku semakin tidak bisa konsentrasi. Tunggu! Aku marah pada apa? Apa karena melihat Caramel dan Ray bersama?

"Sekarang mukamu seperti sedang berpikir keras. Kenapa? Apa karena tadi Caramel dan Ray bersama? Atau kenyataan kalau Ray masih bersamanya bahkan setelah jam latihan Caramel selesai?"

Pertanyaan Soka telak menghantamku. Namun untuk apa aku marah? Toh, aku bukan siapa-siapa bagi Ray. Aku bahkan baru berbaikan dengan Caramel di pulau kemarin. Akhinya, aku hanya bisa menjawab lemah kalau ingin pulang.

Untunglah Soka cukup pengertian. Dia mengantarku pulang dan menemui Mande sebentar. Kami masih ada di halaman ketika Ray dan Caramel pulang. Hatiku mendidih melihat kembaranku itu memeluk Ray. Bahkan aku saja tidak pernah sedekat itu. Atau pernah? Entahlah! Perasaanku sungguh kacau.

Setelah Soka pulang, aku langsung masuk ke kamar. Kuhempaskan tubuh ke tempat tidur, merasakan dadaku sesak saat kembali teringat bagaimana mereka berdua begitu dekat. Aku bangun dan mulai membersihkan wajah seolah berjuang untuk membersihkan sesak yang mengumpul di dada.

Pandanganku beralih pada wire grid wall yang penuh dengan hiasan dan foto-foto. Satu isakan lolos. Ini sangat menyesakkan. Ray tidak pernah menginginkan komitmen. Bisa jadi dia memang mencintaiku, lalu apa? Dia bebas untuk bertemu dan jalan dengan perempuan lain. Lalu apa artiku baginya?

A Cheezy Love (Completed)Where stories live. Discover now