SANG PHOTOGRAPHER

13 0 0
                                    


Reuni

“Tania, kamu beneran gak mau datang pas reuni bulan depan? Kenapa?”, cecar Banu membuka percakapan siang itu. 

“Gapapa. Males aja! Pertama, karena banyak teman yang udah gak ada di memoriku, Kedua, acaranya diadakan di tempat dugem, ntar kalo aku ke sana, bisa-bisa kayak orang kampung masuk kota. Ketiga dan yang paling penting nih, aku lagi ngencangin ikat pinggang. Hari gini, dana yang diminta terlalu besoar bagiku. Gak tau deh teman-teman yang lain. Barangkali hanya setara biaya makan siang mereka aja. Mana aku punya anggaran segede itu, kalo sekedar buat senang-senang doank. Uang segitu bisa buat biaya hidup kami sebulan!”, omel Tania panjang lebar.

“Gak mikir apa tuh panitia. Kan gak semua orang kehidupannya mapan seperti mereka. Kemaren aku sempat protes ke Lanny, eh dia malah tersinggung. Abis gayanya udah kayak debt collector, main nodong aja”, lanjut Tania mencurahkan kekesalannya.

Di seberang sana Banu terdiam sesaat. Ia bisa membayangkan kondisi sahabat masa remajanya yang tak seberuntung teman mereka. Keadaan diapun sebenarnya tak jauh berbeda. Namun, saat ini dia tak mungkin juga datang ke reuni sekolah semasa mereka masih berseragam putih biru itu.  Bukan hanya pulau yang memisahkan, namun benua. Sudah delapan tahun ini Banu berjuang keras menyelesaikan program doktoralnya di sebuah kampus di belahan selatan dunia. Newcastle, sebuah kota pelabuhan yang berjarak 160 km dari Sydney-Australia.

“Gue sebenarnya juga agak kaget waktu tau tempat yang dipilih itu arena dugem. Tapi setelah gue tanya-tanya, ternyata acaranya diadakan jam 11 siang, supaya bisa digunakan khusus buat reunian dan gak kelihatan sebagai tempat dugem. Wiwid yang memfasilitasi, kamu masih inget sama dia, kan? Nah, kebetulan dia kenal dekat sama yang punya tempat, jadi bisa dipake deh. 

Trus soal biaya, ternyata ada juga beberapa teman yang keberatan. Tapi sebenarnya biayanya gak segede itu koq. Kelihatan besar karena digunakan untuk mensubsidi teman kita yang memang gak sanggup bayar. Nanti gue tanyakan detilnya, soalnya gue juga dimintai donasi

Tentang Lanny… Udah cuekin aja, emang gitu anaknya. Agak sensitif dia sekarang. Gue tau, soalnya kebetulan sempet ngobrol sama beberapa temen sebelum ini. Mungkin karena dia lagi ada masalah pribadi juga. Gitu deh kira-kira Bu…

Tapi semua terserah elo sih. Menurut prediksi gue, yang datang memang gak bisa diharapkan banyak. Limapuluh orang aja, udah banyak banget tuh. Jadi saat ini panitia berusaha nyari-nyari teman lama kita sebanyak mungkin, sambil mengusahakan donatur.” 

Penjelasan Banu ternyata mampu menenangkan keresahan Tania. Padahal dialog mereka dilakukan via inbox yang terdapat di jejaring social facebook. 

Di depan laptop mungilnya, Tania merenungkan kembali seluruh perkataan Banu. 

“Hmm, benar juga kata Banu. Mending aku pikirin lagi keputusan buat gak hadir di acara reuni ini. Duapuluh tahun, bukan waktu yang sebentar. Kangen juga ketemu temen lama. Semoga si doi juga datang. Masalah biaya, ntar deh dipikirin lagi. Siapa tau si Lanny yang nyebelin itu ngertiin kondisiku”, batin Tania. Seulas senyum tampak tersungging di bibir.

Pertemuan

Tania teringat pertemuan pertama dirinya dengan Banu di dunia maya…

“Halo… di mana sekarang, Tania? Kerja di mana? Anak dah berapa?”, sapa Banu saat mengetahui nama Tania Wijaya akhirnya muncul di facebook. 

“Duh, panjang bener nanyanya. Aku guru, anak ada dua dan tinggal di pelosok kota.”, balas Tania. 

Dia tak menyangka akhirnya bisa kembali bertegur sapa dengan Banu. Sosok yang sempat menjadi rival beratnya kala kelas dua. Dipandanginya profil seorang lelaki tampak samping dengan posisi tangan memegang sebuah kamera DLSR, siap untuk mengabadikan gambar..Di lengan kaosnya yang berwarna biru tua tertera angka 4 dengan warna kuning mencolok. Ah, senyumnya masih sama. Di manakah gerangan kini dia berada? 

“Giliranmu sekarang Ban. Jawab pertanyaan yang sama. Eh aku masih ingat gaya ketawamu lho. Apalagi masa kita saingan nilai dulu. Duh berkesan banget”, lanjut Tania kembali.

Lama Tania menunggu Banu membalas pesannya. Namun hari itu inboxnya hanya berisi pesan dari beberapa teman lama semasa SMP dan SMA yang surprise bisa berhubungan kembali. Ya, euphoria facebook baru melanda Indonesia di awal 2009. Tiba-tiba dunia serasa hanya segenggaman tangan. Semua terhubungkan melalui layar mungil berkat kecanggihan teknologi.

Hati Tania mendadak bersorak kala mendapati Banu membalas pesan keesokan harinya.

“Wah, jadi kamu seorang guru ya. Ngajar apa biasanya? Matematika, fisika apa biologi? Dulu gue kuliah di informatika Kampus Ganesha. Sekarang lagi di Australia, ambil S3. Doain tahun ini selese ya. Gue udah bosen sekolah. Hehehe.  

Anak belum ada, nunggu urusan gue beres dulu. Kalo punya anak sekarang, bakalan repot dan pasti butuh banyak biaya tambahan. Maklum deh, saat ini gue sekolah gak pake beasiswa, padahal biaya sekolah di sini mahal banget. Tabungan gue aja ampe hampir habis nih.”

Oh, ternyata posisi Banu saat ini sedang menuntut ilmu di Negeri Kangguru. Tak heran, dia memang bintang sekolah. Siapa sih yang gak kenal Banu? Anak laki bertubuh tinggi besar, dengan rambut jabrik ala landak yang super jenius itu? Dalam hati kecil Tania mulai merasa minder. Tapi dia masih penasaran apa sih profesi Banu sebenarnya. 

“Ban, kamu photographer professional seperti Darwis Triadi, ya? Soalnya di pic propil, kamu lagi megang kamera”, tanya Tania melepaskan kepenasarannya 

“Eh, koq loe tau gue photographer  professional? Hahaha. Sorry, becanda. Soalnya orang-orang Indo di sini juga selalu bilang, kalau gue itu photographer professional. Padahal belum pernah ada yang bayar kalo gue potret. Makanya gue heran, koq  loe bisa ikut-ikutan bilang kalo gue photographer professional.

Sebenernya, gue cuma amatiran, alias hobi gue emang motret. Motret apa aja yang bisa dipotret ampe korban dua kamera. Loe percaya gak, koleksi foto gue ada duaratus ribu lebih. Untung jaman sekarang udah ada kamera digital, jadi masih amanlah sama kantong. 

Tania senang, Banu mau bercerita banyak padanya, seolah mereka telah bertemu lama. 

Akhirnya Tania memutuskan untuk hadir di acara reuni setelah Izur, temen SD yang juga menjadi teman SMP, membujuk dan mengabarkan bahwa ia boleh membayar biaya reuni semampunya. 

Penuh keraguan, perlahan Tania melangkahkan kaki memasuki sebuah ruangan di lantai 20 gedung yang terletak di kawasan segitiga emas itu. Di meja penerima tamu, ia mendapati Lanny dan Izur sibuk menghadapi beberapa tamu undangan.  Wajah mereka samar teringat di memorinya.

“Hai Nia, akhirnya kamu datang juga!”, jerit Izur sambil memeluk Tania. Penampilannya tak banyak berubah, Masih anggun namun ceria, persis Izur yang dikenalnya lebih dari duapuluh tahun lalu.

Lanny yang mendengar Izur memanggil Tania ikut mendatangi dan langsung memeluk. 

“Sorry Nia, kemaren gue rada gimana gitu ama elo. Maklumlah, loe tau ndiri, gue pusing ama urusan dana. Waktunya dah mepet, eh dananya lom kumpul juga”, sapa Lanny. Sifat cerewetnya tak banyak berubah. 

Acara reuni hari itu berjalan lancar. Keharuan meruak kala beberapa guru mereka semasa SMP memasuki ruangan. Diiringi lagu hymne guru, Tania bersama seluruh teman-temannya menyambut kedatangan mereka dengan penuh antusias. Sebagai puncak acara, panitia menyampaikan bingkisan serta sumbangan khusus untuk para guru yang telah membimbing mereka selama tiga tahun menimba ilmu di sekolah menengah pertama. 

Lelaki Bayangan Where stories live. Discover now