Kesadaran Diri

5 0 0
                                    

Beberapa mobil dan motor tampak melintas. Selebihnya sepi. Lampu jalanan menyala redup, namun cukup terang untuk melihat keadaan sekitar. Rumah-rumah penduduk tertutup rapat. Tak ada seorangpun tampak berkeliaran di luar. 

Di kejauhan, sayup terdengar suara tonggeret menyapa, diselingi teriakan kelelawar yang terbang rendah mencari mangsa. Suasana tengah malam di pinggiran Jakarta memang terasa berbeda. Sunyi dan mencekam. 

Usai mengganjal perut dengan sebungkus roti dan beberapa teguk air mineral, kini Tania merasa kondisinya lebih baik untuk kembali melangkahkan kaki menyusuri jalanan. Tatapannya kosong.. Pikirannya masih kalut. Terbayang kembali chatnya dengan Banu. 

----------------

‘Nia, suami loe kesal barangkali karena loe suka lupa waktu kalo sudah di depan laptop.” Analisa Banu terasa menohok. Gimana sih Banu, bukannya mbelain dirinya, malah mihak ke Babe. Tania mulai bersungut...

“Iya, tapi aku kan gak melalaikan kewajibanku. Aku tetap berangkat ngajar, tetap ngurusin rumah, ngurusin anak-anak, hanya memang aku lagi males ngurusin dia!

Aku bosan dengan semua rutinitasku selama ini. Sejak ketemu kamu, hariku rasanya lebih berwarna. Aku bisa ngobrol apa aja sama kamu. Kamu enak buat diajak diskusi.”

“Jangan gitu donk, Nia. Suamimu juga pasti enak buat diajak diskusi. Coba kamu ajak dia bicara baik-baik”

“Ogah! Pikirannya hanya kerja, kerja dan kerja! Di rumahpun, dia selalu berada di depan komputernya. Males banget kan, dicuekin. Kalopun ngajak ngobrol, ya masalah anak-anak aja. Ternyata, laki-laki itu egois!”

Di seberang sana, Banu tersentak. Wah, jangan-jangan ia melakukan hal yang sama pada istrinya. Selama ini, dirinya juga selalu berada di depan laptop, ditemani setumpuk materi bahan disertasi. Ia hanya keluar rumah di saat mengantarkan istrinya ke kantor, ataupun belanja. Selebihnya, ia memilih berkutat dengan layar kaca. Tapi semua kan dilakukannya demi masa depan mereka. 

“Gak semua laki-laki seperti itu. Barangkali loe lagi sensitif aja sekarang, jadi kepikiran gitu. Coba loe inget-inget lagi, kebaikan apa aja yang udah suami loe lakukan. Pasti adalah...”

Setiap ngobrol dengan Banu, entah mengapa Tania selalu merasa ingin bercerita banyak.

Dan tiba-tiba ia teringat pembicaraannya dengan seorang teman....

“Ban, temanku bercerita tentang kegelisahan dirinya saat menginjakkan kaki di usia kepala empat. Dia bersyukur memiliki rumahtangga dengan anak-anak yang menyenangkan dan suami yang setia dan bertanggungjawab

Suatu malam, sambil memandangi wajah suami yang telah menemani dan mengisi hari-harinya selama 13 tahun lebih (sang suami sedang tidur pulas, karena memang telah tengah malam), tiba-tiba dia mempunyai sebuah perasaan aneh. Bagaimana seandainya sang suami nan setia itu tiba-toba tergoda oleh wanita lain dan lebih memilih wanita lain tersebut daripada dirinya?

Di tengah kegelisahan diri temanku ini, dia teringat akan cerita ‘Sang Musafir’ dari temannya temanku itu. Begini ceritanya:

Hikayah, ada seorang musafir bersama untanya yang sedang berjalan di tengah gurun pasir nan terik, dalam upaya mencari sumber air. Setelah berjalan puluhan km hingga benar-benar kehabisan persediaan air dan di tengah rasa putus asa yg mendera, aakhirnya ia berhasil menemukan sumber air tersebut...

Iapun minum sepuas-puasnya melepaskan dahaga, berikut sang unta tentunya. Ketika rasa haus dan letih telah hilang, kantukpun datang. Sang Musafir berniat untuk tidur sejenak. Tapi ia teringat untanya belum diikat. Maka diikatlah untanya itu. Kemudian iapun beranjak tidur karena kelelahan.

Lelaki Bayangan Where stories live. Discover now