Genjatan Senjata

4 0 0
                                    

Tania melangkah perlahan menyusuri pantai berpasir putih. Debur ombak silih berganti menyapu kakinya yang sedang menikmati kesendirian. Tania gelisah, sesekali netranya menatap dua bukit karang yang tegak kokoh bak gapura menghalangi kecepatan alunan ombak yang datang. Entah apa yang ada dalam benaknya. 

Semburat senja mulai menyapa, Tania bergegas menuju ketinggian batu karang. Ia tak ingin kehilangan momen yang sangat berharga, menyaksikan matahari terbenam dari puncak bukit. Sang mentari perlahan mulai tenggelam, meninggalkan bayangan aneh di antara delapan bukit karang yang menjulang. 

Sesaat ia terpana, di kejauhan terlihat sosok yang seolah muncul dari masa lalu sedang asyik mengabadikan siluet keindahan alam yang tersohor di bumi Kangguru itu. Tania merasa seperti pernah melihat sebuah foto pemandangan persis seperti yang disaksikannya saat ini. Duabelas Apostles!

Ya, itu dia! Deretan dua belas bukit karang fenomenal yang pernah ia lihat di postingan Banu. Sosok itu.. sosok yang sangat dikenalnya dan seolah bangkit dari masa lalu. 

“Banu!”, sapanya lirih. 

Sosok misterius itu perlahan membalikkan tubuh. Tania nyaris menjerit, seolah tak percaya, “Banu! Itu Banuku!”

Banu tersenyum menggoda, “Welcome to Aussie, Nia,” tangannya terbentang lebar menyambut tubuh Tania yang mendadak ingin menubruknya. 

Tania larut dalam haru, seolah tak percaya ini nyata, Banu ada di hadapannya! Bagaimana bisa? Tak mungkin ia berangkat ke Australia dalam kondisi saat ini. Tapi ah, sudahlah, semoga bukan mimpi. 

Mereka berjalan beriringan menuju sebuah fuso cokelat tua, berkombinasi cokelat muda . Di balik kemudi, Banu tenang menyetir sambil mendengarkan celoteh Tania yang tiada henti. Sesekali ia membalas dengan senyum khasnya. 

Perjalanan menyusuri pinggir pantai seolah tak terasa, hingga pandangan Tania tertumbuk  pada sebuah bangunan anggun beratap cangkang keong tumpuk tiga, Sydney Opera House. Tempat pertunjukan seni yang terkenal seantero dunia, mulai dari balet, teater hingga orkestra. Tepat di sampingnya, berdiri sebuah jembatan besi nan fenomenal Sydney Harbour Bridge.

Tania pernah berangan suatu ketika dapat mengunjunginya. Apakah ini nyata atau mimpi belaka? Tapi ada Banu di sisinya, ah tak mungkin ini ilusi.

“Nia, loe tau itu bangunan apa? Ini kah impian loe selama ini?”

***

“Ma...bangun Ma!”. Tania merasa ada yang mengguncang tubuhnya. Iapun tersentak dari mimpi indah. Tak ada Banu di sisinya, tak ada Sydney Opera House, tak ada Sydney Harbour Bridge, tak ada Duabelas Apostles!

Cahaya mentari jatuh tepat di wajahnya, saat jendela kamar dibuka seseorang. Bukan Banu, tapi anak perempuan kecil. Otak Tania berusaha mencerna segera, ya ampun ternyata ia tertidur dan bermimpi mengunjungi Banu di Aussie. 

Semburat kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. Masih terbayang serunya dia ngobrol di mobil bersama Banu, tatkala Aini datang menghampiri dan berusaha menelusup ke balik selimut.

“Mama kemarin ke mana? Ani gak bisa tidur. Gak ada Mama.” rajuk Aini. Kepalanya disorongkan ke dada Tania, minta diusap seperti yang setiap malam Tania lakukan kala menidurkannya. 

Terbersit rasa bersalah, “ah gara-gara persoalan dirinya dengan Babe, akhirnya Aini terbengkalai dan jadi korban keegoisannya”. Belum sempat ia berjanji untuk tidak menghilang lagi, tiba-tiba Babe muncul membawa sepiring nasi goreng teri-pete berbentuk hati. 

Aroma tumisan bawang, berbaur pete dan teri memenuhi penjuru kamar. Tiba-tiba perut Tania bergolak minta diisi. 

“Ah, Babe tau aja kalo aku lagi kelaparan. Hmm, pasti rasanya enak, seperti biasa”

“Eits, ini nasi goreng istimewa. Dimasak dengan penuh cinta dan segenap jiwa raga”, ucap Babe seraya menyodorkan piring nasi goreng ke hadapan Tania. 

Tania terpana. Kenapa Babe mendadak romantis begini? Tak biasanya dia berperilaku seperti ini. 

“Nia, maafkan Babe yaa. Kemarin Babe khilaf, gak menanyakan kesediaan Nia untuk melayani Babe. Kita baikan ya.” Disorongkannya sesuap nasi ke mulut Tania. 

Yang disuapi tak mampu menolak. Pikirannya kacau. Masih terbayang mimpi indahnya bersama Banu. Namun ternyata yang ada di hadapannya Babe dengan sepiring nasi goreng teri-petenya. Ah, kenyataan terkadang memang tak seindah mimpi. 

***

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Tania berusaha mengatur jam onlinenya hanya satu jam di pagi hari, satu jam di siang hari dan satu jam jelang tidur. Udah seperti jadwal minum obat saja. 

Babepun kembali dengan ketakpeduliannya. Tetap asyik di depan komputer, walaupun sesekali masih membantu Tania beberes rumah dan menemani Aini bermain. 

Tania berusaha mulai menata hati. Tapi sulit sekali rasanya, jika sudah ada hati lain yang bersemayam di sana. 

Sudah hampir seminggu Tania tak menegur Banu. Ada rasa rindu yang berusaha ditahannya kuat-kuat. Ia tak boleh menyerah, tak boleh! Sebelum mampu mengatasi gejolak aneh yang senantiasa hadir kala menatap setiap bait kata yang ditorehkan Banu pada layar monitor.

Hingga pagi itu selarik kalimat menyapanya di YM,

‘Nia, loe baik-baik aja? Loe udah pulang ke rumah, kan? Duh Nia, kenapa loe ngilang? Gue panik, nih!”

Sembari tersenyum kecut, dibalasnya rentetan pertanyaan Banu.

“Aku baik-baik aja. Malam itu aku langsung pulang ke rumah koq. Eh bukan malamnya denk, tapi besok paginya. Semalaman aku berusaha menenangkan diri dan mencerna kata-katamu. Terimakasih ya, udah bersedia menjadi pendengar setiaku.”

“Ah, gue hanya melakukan sebatas yang gue bisa dan gue tahu. Semuanya keputusan tetap ada di tangan loe. Iya, kan? Bagus deh kalo loe dah balik ke rumah. Eh loe dah baikan sama suami loe, kan?”

Kali ini senyum Tania mulai melebar. Ah, Banu kenapa kamu selalu peduli padaku, kan aku jadi serba salah untuk mengambil sikap. 

“Iya, udah baikan. Eh, kamu kangen gak selama aku menghilang?”

Usai diketik, dihapusnya kembali. Ketik ulang, hapus lagi. Begitu terus hingga tiga kali. Tania berusaha mencari kata yang paling tepat untuk menggambarkan suasanana hatinya saat ini. Biarlah rasa itu dipendamnya sendiri. Biarlah mimpi itu dikenangnya sendiri.

“Iya udah baikan. Gimana kabarmu selama aku menghilang?”  Sent! Akhirnya kalimat itu yang terpilih untuk dilayangkan.

“Ya seperti biasa. Sibse ngerjain disertasi yang gak kelar-kelar ini. Ampe bosen gue.”

Tak ada nada rindu di sana, datar seperti biasa. “Ah, ternyata aku hanya bertepuk sebelah tangan”, batin Tania

“Koq bisa gak kelar ampe tahunan begitu? Kendalanya di mana?”. Akhirnya Tania memutuskan untuk melakukan pembicaraan formal saja. 

‘Hehehe...Gue ganti-ganti judul disertasi dan dosen pembimbing. Ini dosen pembimbing gue yang ketiga. Dia minta gue ulang dan rombak semua dari awal lagi. Duh, asli gue udah capek banget. Tapi gue harus lulus, apapun yang terjadi.”

Tania teringat, Banu pernah bercerita kalo sekarang adalah tahun ke tujuh dia di Aussie. Dan selama ini hanya sekali pulang ke Indonesia. Itupun  untuk menikahi seorang gadis remaja yang terpaut usia limabelas tahun dengan dirinya. Gadis yang ditemui di tahun kedua keberadaannya di sana. 

Ya, sudah hampir lima tahun mereka menikah, namun belum memiliki momongan juga. Banu dan istrinya yang masih muda itu memang sepakat memilih untuk tidak mempunyai anak sebelum Banu menyelesaikan studinya, mengingat biaya hidup dan biaya pendidikan di sana lumayan mahal jika harus menggunakan dana pribadi. 

“Aku yakin, kamu pasti bisa melampauinya. Kan kamu pinter”, hibur Tania

“Hehehe, kata siapa gue pinter. Kalo gue pinter, udah lulus dari kapan tahun. Doain aja deh, biar gue cepet kelar.”

“Siap paduka yang mulia. Aku kan selalu mendoakanmu. Eh tolong do’ain aku juga donk.”

“Doa gue selalu buat loe dan keluarga loe. Eh, udahan dulu ya. Gue ada janji ama temen.”

“Daa Banu...”

“Bye...”

 


Lelaki Bayangan Where stories live. Discover now