Puber Kedua ataukah CLBK?

11 0 0
                                    

Di ufuk timur, langit masih menyisakan rona kemerahan pertanda pagi menjelang. Kicau burung ramai bersahutan, sesekali dua tiga ekor tampak hinggap di pucuk Kamboja yang menghiasi halaman depan rumah Tania. 

Udara segar langsung menyapa, kala Tania mengeluarkan Mio kuning, kendaraan andalan, sesaat sebelum menutup kembali gerbang kediamannya. Pagi ini dia harus buru-buru ke pasar, berbelanja aneka keperluan pembuatan tumpeng yang akan dihidangkan saat malam tujuhbelasan di kompleks, Kebetulan dia kebagian tugas belanja. Untuk urusan masak memasak, sudah ada beberapa tetangga yang bersedia.

Tak sampai satu jam, urusan perbelanjaan kelar. Dia memang terkenal paling sigap jika disuruh ke pasar. Selain sudah hafal letak pedagangnya, juga paling jago menawar dan memilih barang berkualitas. 

Setelah menyimpan seluruh belanjaan di motor, kakinya melangkah ke warung ketupat sayur langganan. “Katupek sayur cie, Ni.”, sapanya pada sang penjaja, seorang perempuan paruh baya berkulit putih dengan senyum yang selalu mengembang. 

“Siap, Kak. Pake talua?” 

“Indak usah, Ni. Pake mie ajo”

Tak lama kemudian, sepiring ketupat sayur Padang dengan tumpukan mie goreng dan remasan kerupuk merah di atasnya, terhidang. Tiba-tiba Tania teringat sesuatu. Diambilnya gawai dan mulai menjepret sebentuk hidangan yang berada di hadapannya. Ah, ini kebiasaan orang kita, bukannya baca do’a sebelum makan, malah sibuk mengabadikan makanan. 

“Ban, udah sarapan belum?”, dilayangkannya sebuah pesan pada seseorang yang sedang menghadapi layar berpendar dengan pikiran dipenuhi urusan penelitiannya yang tak kunjung memperlihatkan titik terang. 

“Belum... kenapa? Tumben loe nanya...” Tania tak menyangka akan mendapat balasan secepat itu. Otak isengnyapun mulai bekerja. Sent  Sebuah gambar ketupat sayur nikmat nan menggoda terkirim ke Banu.

“Aduh Nia, loe baik banget deh. Tapi tolong yaa..” sebuah pesan langsung masuk sesaat setelah gambar terkirim.

“Tolong apa?”, ketiknya sambil tak mampu menahan tawa.

“Pertama, tolong jangan kirim gambar makanan ke anak perantau yang rindu kampung halaman. Kedua, kalaupun mau kirim, kirim aslinya aja. Ngerti?!” 

Ups, tiba-tiba Tania merasa bersalah. “Mua’aaaf.... Eh beneran kamu belum sarapan?”

“Belum dan emang gak laper. Lagian gak usah sarapan ga papa, biar gak tambah gendut. Kan kata loe, gue udah kegendutan.” Banu berusaha mencairkan suasana, dia sempat merasa tak enak hati juga kala berkata agak keras pada Tania. 

“Emang kamu biasanya sarapan apa?”. Sementara tangan sibuk mengetik tanya, mulut Tania pun sibuk menyuapkan sesendok ketupat sayur berkuah dan bersambel banyak yang ada di hadapannya. 

“Ya paling banter salad atau indomie.”, jawab Banu singkat.

“Ya ampun, Banuuuu.... Seorang calon doktor, sarapannya koq mentok di salad sama indomie? Emangnya istrimu gak masak?”, sejuta tanya bergelanyut di benak Tania. Apa iya seseorang yang tinggal di negeri maju, sarapannya hanya sayuran mentah dan mie instan?

“Ya masak sih, tapi yang simpel aja. Kan dia juga pagi-pagi harus ngantor,” kilah Banu. “Ok deh, selamat makan. Kalo gak ada yang penting, gue off dulu ya.”

Pembicaraan pun terhenti. Tania buru-buru menyelesaikan suapan terakhirnya. Usai memberikan selembar kertas berwarna ungu, seraya tak lupa mengucapkan terimakasih pada ibu penjual ketupat sayur, ia segera berlalu dari sana. Hatinya dipenuhi untaian bunga. Sepanjang perjalanan pulang, senyum cerah tersungging di bibir dan sebait lagu cinta berulang dilantunkan, “Ah, ada apa dengan diriku”

Lelaki Bayangan Where stories live. Discover now