Topeng

3 0 0
                                    

Kegelisahan Tania kian menjadi, terlihat dari kelakuannya yang semakin aneh. Ada sesuatu yang menggelayuti pikirannya, namun tak mampu ia ungkapkan. Terkadang ia terlihat merenung di bawah kerindangan pohon melinjo halaman belakang rumahnya. Matanya menerawang jauh memandang puncak Gunung Salak yang terselimut kabut putih di kejauhan. 

Kali lain, ia berlama-lama menatap bayangan sosoknya di cermin. Tak ada yang dilakukannya, hanya diam. Entah apa yang ada dalam benaknya. 

“Ma…”, teguran halus Aini menyadarkan dari lamunan panjang dan membuat Tania menggeragap.

“Ah gak. Mama ga papa.”, Tania buru-buru keluar kamar dan menuju zink cucian piring, penuh aneka perabot dapur yang belum sempat tersentuh dari pagi. Dikucurkannya air dari keran berbentuk melengkung. Perlahan diusapkan sabun ke gelas kaca, lanjut piring, sendok, diakhiri dengan membilas panci dan penggorengan.

Sementara tangannya sibuk bekerja secara otomatis, pikirannya melayang-layang. 

“Aha! Mending kegelisahanku ini, kudiskusikan dengan Banu aja! Dia kan cerdas dan enak diajak ngobrol”, batin Tania.

Buru-buru diselesaikan ritual mencuci piring. Usai mengeringkan tangan,  dengan lap handuk yang tersampir di samping rak piring, ia segera menuju kamar dan mulai menyalakan laptop. YM! Fitur itulah yang dituju.

“Halo Ban…kamu ada?”, ketiknya saat mulai terhubung dengan Banu di yahoo messenger. 

“Adaaa…” 

Mata Tania berbinar kala mengetahui ternyata Banu langsung merespon sapanya.

“Udah beberapa hari ini aku bingung dan gelisah”, lapor Tania.

“Waduh, aya naon, Bu. Berantem lagi sama Babe?”

“Bukan!”, rajuk Tania. Bibirnya tertarik ke bawah, dua telunjuk menghentak keyboard dengan keras. Namun, di seberang sana Banu tak dapat melihat ekspresi Tania saat itu. Ia hanya mampu menebak-nebak, apa gerangan yang menyebabkan Tania bingung dan gelisah. 

“Hmm, lagi gak punya duit? Wah kalo itu sama donk. Gue juga bokek. Hahaha.”, canda Banu. Ia tak ingin melihat Tania diliputi kegelisahan.

“Huh, bukan!”, dengus Tania kesal. Jemarinya masih menghentak-hentak keyboard. 

“Wah terus apa donk? Gue kan bukan dukun apa tukang ramal yang tau, apa yang ada di pikiran loe”, dalih Banu cepat. Ia semakin penasaran, kenapa Tania bersikap demikian. 

“Aku capek Ban. Aku capek hidup seperti ini. Semuanya terasa semu dan palsu!” 

Di seberang sana Banu buru-buru memperbaiki posisi duduknya. Sepertinya Tania sedang depresi atau mengalami sesuatu yang serius. Tatapannya fokus ke layar menatap setiap kata yang diketikkan Tania. Untuk sementara pekerjaannya terpaksa tertunda, padahal Dosen Pembimbing sudah menanyakan progress penelitiannya. 

“Nia, kenapa kamu berpikiran seperti itu? Coba kamu ceritakan apa masalahmu. Siapa tahu bisa kubantu”, hiburnya.

“Kamu tau Ban? Rasanya udah terlalu lama aku memakai topeng ini. Sekarang aku mulai lelah dan ingin melepaskannya. Kenapa semua orang menuntut aku harus begini, begitu.Padahal aku tak menyukainya ”

Kening Banu berkerut, ternyata Tania benar-benar sedang dalam masalah serius. Berbagai pikiran terlintas, menganalisa apa yang sedang terjadi pada sahabatnya.  Sementara itu tangannya lincah bermain di atas keyboard, menyusun kata-kata yang sekiranya mudah dicerna.

“Nia, banyak orang memang menggunakan *topeng* dalam hidupnya. Topeng ini kita pakai buat menutupi wajah kita yang kita rasa buruk. Topeng ini kita pakai untuk menyelamatkan diri kita dari situasi-situasi yang mungkin membuat kita kelihatan buruk di hadapan orang lain.” 

Lelaki Bayangan Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz