⚫Part 29. |New Version|

398 31 0
                                    

Selamat membaca.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

_________________

‍‍‍‍Genap satu bulan semenjak aku keluar rumah sakit, semuanya berjalan sesuai semestinya layaknya tidak  pernah terjadi sesuatu sebelumnya.

Dalam satu bulan ini aku sudah bisa mendapat kepercayaan Ayah kembali, Ayah sudah membiarkanku pergi tanpa dikawal bodyguard lagi, dan kini semuanya kembali.

Sedikit demi sedikit aku sudah mulai melupakan Rayan, apalagi kini aku selalu berdua bersama Ghafi seperti sekarang ini.

"Nih cobain." Lamunanku buyar seketika kala mendengar suara Ghafi.

Mata ku meneliti makanan yang ada di hadapanku, aku tersenyum singkat lalu mencicipi makanan itu. "Enak." Balas ku membuat si empu yang aku ajak bicara tersenyum senang.

"Iya lah, kamu tahu engga kalo aku suka banget sama makanan ini?" Akunya, aku menatapnya tidak percaya.

"Lo suka jajan sembarang? Emang engga diomelin Tante Dinda?" Tanya ku, bagaimana tidak bingung pasalnya Tante Dinda atau Ibu dari Ghafi ini sangat amat over Protektif dengan anak yang satu ini.

"Ngumpet-ngumpetlah." Jawabnya sembari tertawa nampak mengenang sesuatu.

"Entar gue bilangin gimana?"

"Kamu engga asik." Aku tertawa melihat wajahnya yang dibuat menjadi semarah mungkin.

"Semenjak kamu keluar dari rumah sakit, kamu jadi sering main and senyum, aku suka." Celetuknya seraya memandangi wajah ku.

Aku tersadar akan sesuatu, yang Ghafi katakan barusan memang benar adanya, semenjak aku keluar dari rumah sakit hubungan ku dan dia menjadi lebih dekat,  kami juga sering jalan berdua, aku sadar dan aku tahu namun rasanya aku tidak mau berhenti dari kegiatan ini, jika saja aku boleh egois aku ingin selalu menahan Ghafi agar selalu berada disampingku, aku ini memang aneh, belakangan ini aku lebih senang apabila dia bersama ku, bahkan aku tidak ragu lagi tertawa dan bercanda dengannya.
Aku tidak tahu alasan pastinya, namun semenjak hadirnya dia hidupku menjadi lebih berwarna.

"Pingin aja, emang lo mau gue jutek kayak biasa?"

"Engga gitu, tapi kalo itu mau kamu sih oke aja, aku suka"

"Udah diem, gue mau makan kembali." Dia tertawa melihat ku nampak asik dengan makanan yang bernama cilok ini.

Jangan lupakan kebiasaan anehku ini, seperti sekarang saat dia menampilkan tawa ataupun senyuman rasanya aku senang, bahkan bila aku tidak melihatnya barang sehari rasanya ada bagian dari diri yang diambil paksa, nampaknya karena kebiasaan ini dia sudah menjadi candu untuk ku.

Shit!

Aku menggeleng menepis presepsi yang tiba-tiba singgah dalam logika, yang benar saja, hanya melihat dia tertawa dan tersenyum sudah membuatku ikut bahagia, mungkin benar aku sudah mulai gila, atau mungkin cinta? Namun  aku tidak pernah merasa itu saat bersama Rayan? Lalu kenapa?





"Engga."

"Kenapa?" Aku menggeleng.

"Keinginan terbesar kamu apa sih?" Tanyanya tiba-tiba.

Aku berfikir sejenak. "Bahagiakan Ayah, emang kenapa?"

"Selain itu."

"Engga tahu, selama gue hidup itu harapan terbesar gue, penting amat, lagian impian terbesar lo apaan?"

"Impian terbesar aku---- " Gantungnya. "Aku mau mandiri." Lanjut Ghafi membuatku terkekeh.



Impian macam apa itu?

"Mandiri? lo belum bisa mandi sendiri? " Jedaku. "Oh apa sampai sekarang kalo lo mau makan disuapin Tante yah?" Tebakku.

"Enak aja! Yah engga!"

"Lagian impian lo aneh."

"Engga ada yang aneh."

"Ya terserah."

"Emang kamu engga mau ketemu Ibu kandung kamu?" Aku diam, pertanyaan itu?

Selama ini aku juga tidak tahu, aku ingin bertemu dengan dirinya, aku ingin memeluknya, namun apa aku bisa?

"Kok bengong? Maaf kalo kamu engga nyaman sama pertanyaan aku."  Aku menggeleng.

"No problem, gue juga jadi sadar kalo selama ini gue terlalu sibuk sama yang lain dan melupakan satu sisi." Satu hal aneh yang membuat ku ingin sekali membenturkan kepala ialah sekarang aku sudah mulai terbuka dengan Ghafi, yang dulunya aku akan sangat membenci dengan orang yang kepo atau ingin tahu tentang ku, sekarang? Bahkan tak jarang aku curhat masalahku padanya.

"Kalo kamu ketemu Ibu kandung kamu, kamu mau apa?"

"I don't know." Balas ku. Aku tidak tahu akan melakukan apa bila bertemu dengan dirinya, dan apa masih bisa dibilang Ibu dan anak saat nanti kita bersama? Mungkin kami akan saling canggung nanti karena tidak pernah bertemu.

🔥🔥🔥

Mata ku mengerjap menyesuaikan cahaya terang yang menerangi kamar.

Aku terbangun karena kamar ini terasa sangat terang dan juga ada yang sengaja membangunkan aku membuat aku terduduk sembari menatap pelakunya.

"Selamat ulang tahun Nona." Bisik Mbak Rere seraya menyodorkan kue berserta lilin di atasnya.

Aku baru sadar bila hari ini adalah hari dimana aku dilahirkan, hari dimana harapan semua orang hancur berkeping-keping, hari dimana semua yang mereka rencakan harus hancur lebur tak berbentuk.

"Makasih Mbak, tapi engga usah juga Mbak ngerayain segala. Aku udah besar," Balas ku juga berbisik.

Di setiap tahun memang hanya Mbak Rere yang mau repot merayakan hari ini, awalnya aku senang karena akhirnya ada yang mau mengucapkan selamat, namun silih tahun berganti aku mulai mengerti dan ikut membenci hari ini.

Aku bukannya tidak mau menghargai. Dulu aku selalu memimpikan mendapat kejutan yang istimewa dari Ayah, namun sekarang aku pun sudah tidak ingin merayakan apapun di hari ini, karena aku baru sadar bahwa di hari aku dilahirkanlah yang membuat senyum Ayah hilang untuk selamanya, hanya karena aku.

"Ayo tiup lilinya dulu. " Aku mendesah dan mau tak mau meniup lilin itu guna menghormati Mbak Rere.

"Makasih Mbak, Mbak ke kamar ya? Aku mau tidur." Pintaku.

Aku meraih selimut dan menutup mata kembali.

"Selamat tidur. " Bisik Mbak Rere seperi biasanya, aku tahu Mbak Rere pasti kecewa dengan balasan ku selama ini, namun apa aku harus berpura-pura? Aku tidak bisa merayakan hari dimana aku merenggut semua kebahagiaan yang Ayah impikan.

Aku tidak mau egois.






Untuk apa dirayakan, aku hanya sebuah kesalahan yang tidak akan pernah termaafkan.

|

Dari Tanisha untuk semua.


--------

Vote?


Salam.
VK

Dari Tanisha Untuk Semua [New Version]✔Where stories live. Discover now