⚫Part 33. |New Version|

494 36 1
                                    

Selamat membaca.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

________________

‍‍Perlahan aku membuka ke-dua kelopak mata, pemandangan pertama yang nampak ialah sosok Nenek disertai lelehan air mata menggenggam telapak tanganku erat.

"Nek," Lirihku memanggil namanya.

Nenek menghapus air matanya. "Kenapa? Ada yang sakit? Nenek panggil dokter ya?" Aku menggelengkan kepala lemah lalu tanpa izin, cairan bening mulai turun membasahi pipi.

"Nenek jangan nangis ya?" Pinta ku seraya mengusap pipi yang dipenuhi jejak air mata.

"Kamu juga, jangan nangis, disini ada Nenek, sabar ya sayang?"

Sore yang cerah itu dihabiskan dengan menangis dan berpelukan, saling membagi derita satu sama lain.

"Kamu harus makan yang banyak biar kuat kayak macan." Canda Nenek seraya menyuapkan makanan ke mulutku.

"Udah Nek, engga enak!" Tolak ku yang tidak beliau hiraukan.

"Kamu ini di suruh makan aja susah banget."

"Percuma, soalnya aku engga lagi bisa jalan Nek, aku engga bakal kayak biasanya, harusnya aku yang ngerawat Nenek, tapi malah Nenek yang ngerawat aku, maafin aku Nek. " Tangisku.

"Sttttt engga, Tanisha pasti kuat, tetep semangat sayang,"



Cklek.


Kami menoleh secara bersamaan guna melihat orang yang membuka pintu ruang inap ini.

Setelah mengetahui orang yang datang itu, mata ku kembali lurus ke depan, mau bagaimanapun hati ini rasanya masih nyeri kala melihat wajahnya, wajah orang yang secara tidak langsung menjadi salah satu penyebab semua ini terjadi. Bukan menyalahkan hanya saja aku masih belum menerima semua yang menjadi nyata.

"Akhirnya kamu datang, Tanisha udah nungguin Ayahnya loh," Suara Nenek membuat ke-dua tangan ini mengepal kuat di bawah selimut.

Ayah berdiri disamping brankar. "Sampai kapan kamu mau merepotkan Ibu saya? Engga punya hati sekali kamu, kamu kira saya senang melihat Ibu saya dijadikan babu oleh kamu? Dasar anak tidak----" Dari sekian banyak kata di dunia apa tidak ada kata yang cukup atau mungkin akan lebih sedikit sopan walaupun hanya untuk sebuah formalitas?

"Daffi!! Kamu ini bicara apa?" Suara Nenek agak meninggi memperingatkan Ayah.

Dengan tenaga besar, tangan Ayah menarik lengan ini paksa untuk berdiri. "Heh! Bangun kamu! Pulang sekarang! Sudah cukup kamu istirahat selama ini! Ayo bangun!!!" Titahnya yang membuat ke-dua bola mata menumpahkan air mata dalam hening.

Nenek menarik tangan Ayah dan membiarkan aku kembali tiduran diatas brankar. "Daffi! Dia putri kandung kamu! Dia masih sakit Daffi!"

Tak menggubris banyakan Nenek, kini Ayah memaksa diri untuk turun dari brankar yang dihalau Nenek.

"Anak kurang ajar! Kenapa kamu menitihkan air mata?! Apa setelah bangun kamu menjadi bodoh?!"




Plak.



"Cukup Daffi!!!!!! Cukup!!! Ibu kira setelah apa yang menimpa putri mu hati yang keras itu akan sedikit melunak, namun nyatanya kamu tetap sama! KERAS!"

"Ibu nampar aku demi dia? Demi anak tidak tahu diri itu?" Aku tetap hening dalam tangis.

"Dia cucuku dan putri kandung mu bila kamu lupa."

"Cih! Aku tidak punya putri yang tidak tahu diri dan jalang sepertinya!"

"CUKUP! Kamu sadar jika yang menimpa putri mu bukan lain karena kamu! Apa kamu tidak pernah merasa bersalah padanya?! Kamu iblis Daffi iblis!!! Dimana hati kamu?!!"

"Apa yang Ibu bilang? Karena aku? Aku salah?! Kecelakaan itu terjadi karena kelalaiannya." Jedanya. "Mungkin dia terkena azab karena telah membangkang."



Jleb.




Tubuh ku rasanya kebas, sudah terlalu banyak goresan yang tertanam dalam hati hingga semuanya terasa mati.

"Yang Ayah katakan bener Nek, bukan salahnya, ini salah aku karena aku adalah anak------ dari Jalang."

"Menjijikan! Sejak kapan saya mengizinkan kamu menangis bodoh?! Hapus air mata itu!!"

"Daffi! Lebih baik kamu pergi dari sini!!! " Usir Nenek dengan suara serak.

"Ibu yang meminta aku kesini, bahkan mengancamku, lalu Ibu juga yang mengusir ku?"  Jedanya "Asal Ibu tahu, aku pun tidak sudi melihat dia! Dia itu hanya hama!!! MENJIJIKKAN!!"

"Daffi Ibu benar-benar tidak menyangka!!! Dia anak mu!! Darah daging mu!" Teriak Nenek.

"Yang Ayah katakan bener Nek, aku menjijikan, aku Hama.." Aku terisak.

Tidak salah bukan bila aku sakit hati dengan perkataan yang terlontar barusan? Sesayang apapun aku dengannya, hati ini tidak bisa terus-terusan berbohong bila dia baik-baik saja kala mendengar kata menyakitkan terlontar dari mulut itu.

"Ayah, aku tidak tahu kenapa hati mengusulkan kata ini terlontar dari mulut ku" Jedaku. "Ayah. Hati ku sakit, sakit sekali mendengar kata penolakan yang seakan menjadi makanan harian, Ayah, hati bilang dia udah engga kuat, kalo terus-menerus mendengar kata itu lagi, dia udah lelah Ayah----" Jedaku lagi, aku menangis lalu menutup mata sebelum mengucap kata terakhir itu. "Aku benci Ayah, aku benci." Lirih ku, setelah itu aku menangis sejadi-jadinya, aku benar-benar hancur sekarang.

"Kenapa diam?! Dengar Daffi! Suatu hari nanti akan ada masa dimana kamu akan bertekuk lutut hanya untuk memina maaf kepada anak mu, akan ada suatu titik dimana kamu akan merindukan anak yang kamu katai kurang ajar itu, ingat itu!!!"

"Tidak akan! Dan bilang kepada cucu kesayangan mu itu jika aku tidak perduli walaupun dia membenci ku, karena dia tidak pernah berarti untuk ku!" Mendengar kata itu, rasanya aku ingin mati saja, hati ku tidak sekuat itu untuk terus-menerus merasakan kepedihan.

"Kamu benar-benar tidak punya hati!!! Aku benar-benar tidak menyangka bila kamu adalah bagian dari diri ku. Pergi kamu!!! Pergi!!!" Usir Nenek dengan lantang yang membuat si empu yang ia usir beranjak dari tepatnya dan meningggalkan ruangan yang hanya dipenuhi air mata dari kedua wanita yang berbeda usia.

"Nenek. Aku mau mati," Tangisku. Nenek memeluk ku erat, erat sekali seakan dia benar-benar takut kehilangan diri ini.

"Engga! Kamu kuat sayang. Ada Nenek disini, jangan bicara itu lagi."

"Sakit Nek, rasanya sakit sekali mendengarnya, mungkin mati lebih baik,"

"Kamu engga bakal kemana-mana, kamu bakal selalu disini, Nenek tahu kalo cucu Nenek ini istimewa sampai Tuhan engga ngasih sembarang ujian dalam hidup cucu Nenek ini, Tanisha masih kecil namun kuat, maka dari itu Tuhan engga kasih ujian ringan, karena Tuhan tahu Tanisha itu kuat, kuncinya Tanisha harus sabar biar Tanisha dapat kebahagiaan."

"Mau sekeras apapun aku mencoba, nyatanya  aku orang yang lemah Nek. Aku lemah, aku udah engga kuat."


























Apa tidak ada kata yang lebih baik dari kata itu hingga setiap hari kata itu bagikan lauk santapan wajib bagiku?

|

Dari Tanisha untuk semua.


----------------

Gimana part ini?


Vote?


Salam.
VK

Dari Tanisha Untuk Semua [New Version]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang