DUA PULUH EMPAT

91 15 0
                                    


Di votes dulu kuy.

Happy Reading!


Kerikil-kerikil di jalanan di tendang tanpa ampun oleh sepasang kaki yang di baluti sepatu hitam, seolah dengan begitu rasa marah, kecewa di campur geram bisa lenyap.

Si pemilik kaki itu bernama Sita Larasati, seorang yang mencintai pria dengan apa adanya tanpa melihat kekurangan yang pemuda itu miliki.

Haaa... cinta memang sebuta itu.

Langkah kaki Sita berbelok pada satu bangunan yang dindingnya di dominasi kaca tebal hingga membuat siapa saja bisa melihat aktivitas yang terjadi di dalamnya.

Sita perlu mendinginkan hatinya, dan kedai es krim yang barusan ia singgahi mungkin bisa meluruhkan perasaan bala-bala Sita itu meski tidak semua.

Gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu memilih mendudukkan bokongnya di salah satu kursi yang terletak di teras kedai. Duduk sendirian dengan kepala menelungkup di antara lipatan tangan setelah ia memesan satu cup es krim macha.

Payung yang di tancapkan di tengah meja bundar itu bergerak seiring semilir angin siang yang menerjangnya.

Suara roda yang di geret berhasil membuat Sita kembali menegakkan badan.

Letak kursi yang semula di sebelahnya berubah menjadi satu buah kursi roda yang di duduki wanita berkulit putih pucat serta rambut tergerai panjang.

"Boleh 'kan?" Tanya wanita itu. Sita mengangguk cepat.

Tidak lama kemudian seorang pegawai menghantarkan pesanan, sembari menawarkan menu pada wanita tadi.

Setelah menolak tawaran dari sang pegawai, wanita yang usianya dua tahun di atas Sita itu mulai membuka obrolan.

"Anak Cakrawala ya?"

Sita yang tengah menikmati es krim menggangguk mengiyakan tanpa melihat sang penanya.

"Aku juga lulusan Cakrawala, lho."

"Iya." Ia menjawab canggung.

"Mmm... aku Maria." Wanita bernama Maria memperkenalkan diri, mengulurkan jabatan tangan pada Sita.

Bukannya menerima jabatan tangan tersebut, yang Sita lakukan hanya memandang dengan mata mengerjap pada tangan yang masih tertahan di udara.

"Aku Maria." Ujarnya lagi.

Sita tersadar, menerima jabatan tangan. "Sita."

Jabatan tangan terlepas, Sita melanjutkan menyendon dessert kembali.

"Kamu sering nongkrong disini?" Maria kembali bertanya. Sita lagi-lagi mengangguk.

Untuk pertama kalinya Sita di ajak berkenalan secara formal seperti ini, jadi wajar saja jika gadis itu merasa canggung. Apalagi yang mengajaknya berkenalan imperaktif sekali.

Dan lagi! Sita di buat melongo. Sekup es krim di genggaman merosot tanpa di rencana dari tangan setelah Maria mengatakan kalimat akward menurutnya.

"Mau nggak jadi teman aku."

"Hah?"

"Jadi teman aku, mau?"

Memang Maria berbeda dari yang lain, wanita itu apa tidak salah meminta orang yang baru ia temui untuk di jadikan teman.

"Kita bahkan baru ketemu, lho." Kata Sita canggung.

"Nggak mau, ya?" Maria meluruhkan wajahnya, "padahal aku pengen punya temen setelah keluar dari rumah sakit."

Sita tercelos mendengarnya. Jadi Maria ini baru saja sembuh? Pantas saja wajahnya pucat dan memakai kursi roda.

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang