Rasa

3.6K 193 2
                                    

Ini tentang sebuah rasa. Rasa yang mendasar dan tidak pernah puas. Sekali mencoba maka akan terus melakukannya. Entah itu baik atau buruk.

Semuanya itu terjadi ketika seseorang kehilangan orang orang di cintainya. Kehilangan dengan cara yang tragis. Dan dari peristiwa itu timbullah sebuah rasa yang mengubah sikap seseorang. Karena menjadi baik tak selamanya bisa mempertahankan sebuah keutuhan yang ia jaga. Lalu bisakah ia menyalahkan takdir?

Tidak. bukan takdir yang salah.

Salahkan saja keluarganya yang terlalu baik hingga orang lain memanfaatkan kebaikan itu.

Dan apakah ia bisa seperti keluarganya?

Tidak.

Kebaikan takkan mengembalikan apa yang sudah hilang. Lalu haruskah ia menjadi jahat?

Tidak.

Jahat pun sama takkan mengembalikan apa yang telah ia genggam. Lalu harus bagaimanakah ia?.

Ia hanya ingin menjadi egois. Menggenggam erat apa yang ia punya. Dan mengharuskan apa yang ia inginkan. Serta melakukan berbagai cara untuk melampiaskan hasratnya. Dan menutupi kesalahannya dengan sempurna.

Sebuah pemikiran yang tak seharusnya ada pada pemuda yang masih berseragam sekolah. Namun peristiwa yang di alaminya membuatnya harus dewasa sebelum pada waktunya. Meski terkadang akal masa mudanya tersimpan rapih namun sayang tertutup oleh hati kebencian atas kehilangan yang begitu dalam. Ia terlalu dini untuk mengetahui peliknya kehidupan, serta piciknya sang penjilat. Dan tak ada pilihan untuk kembali pada masa remajanya yang penuh dengan warna.

Meski sahabat setianya selalu mencoba membuatnya tersenyum kembali namun sayang usahanya selalu tak membuahkan hasil yang baik. Hingga sang sahabat menyerah dan hanya mengikutinya serta menahannya untuk tidak melakukan hal yang berlebihan.

Ia mengetahuinya. Mengetahui bagaimana rasanya di khianati oleh orang paling di percayainya. Hingga insiden yang tak pernah ia bayangkan terjadi begitu saja dan mengubah seluruh impiannya. Menjadi ambisi untuk membunuh. Apa itu salah?

Sekali lagi tidak!

Yang salah adalah menjadi orang baik. Dan ia menyesalinya.

Dan untuk sekarang ia bersyukur pada dewi fortuna yang memberikan seseorang yang membimbing untuk memenuhi ambisinya. Hingga semua yang ia inginkan berakhir pada kematian yang membuatnya tersenyum. Dan harapannya tak sesuai dengan kenyataan. Faktanya sekali lagi ia mengetahui piciknya seseorang yang membuatnya hampir menyerah pada kehidupan.

Yang ia tahu keluarganya adalah orang baik. Namun sayang di balik kebaikan itu tersimpan masa lalu yang cukup kelam. Kekayaan yang di dapatkan bukan murni hasil kerja keras jerih payahnya sendiri namun dari merebutnya dengan cara yang licik. Sekali lagi ia tersenyum. Mendengar fakta kematian yang wajar atas perbuatan sang ayah. Dan tertawa lepas ketika sang ibu dan kakaknya menjadi korban atas kelicikan sang ayah. Kemudian menangis terseduh ketika ia menyadari hanya ia yang tersisa dan mengetahui fakta yang memilukan. Hidup dalam bayangan yang tak wajar.

Haruskah ia menyerah untuk hidup?

Tidak. Semua dendam sudah terbalas. Dan masih ada sosok sahabat yang selalu menemaninya. Namun sayang bayangan kematian sang ayah membuat ambisi membunuh semakin menggebu. Dan tak memperdulikan korbannya. Ia tak bisa menahan rasa itu.

Rasa yang tak pernah puas. Yang belum menemukan obatnya. Hingga ia terlarut dalam jurang kekejaman yang tak berdasar.

Ia mengamati sebuah potret keluarga yang begitu harmonis. Tawa yang selalu impikan serta tangis yang selalu ia ingin halau sejauh mungkin. Hingga ia tertunduk dan mengusap surai ravennya dengan gusar. Mencenkeramnya dengan kuat. Dan meneriakkan segala rasa yang ia pendam. Serta menumpahkan segala kekesalan pada benda yang tak berdosa.

Ia tak memperdulikan keadaanya. Darah siapa yang ada pada tubuhnya. Dan tak memperdulikan guratan kecemasan pada sosok dewasa yang selalu ada di sampingnya. Semakin ia larut dalam kemarahannya semakin ia hentakan kepalan tangannya pada dinding. Hingga darah mengalir pada tangannya. Dan ia tak memperdulikan rasa sakit pada dirinya sendiri. Yang ada dalam fikirannya adalah kepuasan atas kemarahannya. Hingga suara pelan menghentikannya.

"Tenanglah....Teme!"

Suara yang selalu ada di sampingnya. Suara penenang yang bisa meringankan rasa emosinya. Suara yang mampu membuatnya terkulai dan duduk dengan memeluk lututnya. Hingga ia menyadari sebuah tangan yang sangat ia kenali mulai memegang tangannya. Mengusap luka dengan pelan tanpa membuatnya terusik.

"Semuanya sudah terjadi. Dan apa yang kamu lakukan sekarang tidak akan membuat keluargamu hidup kembali!"

Sebuah kalimat yang membuatnya sadar. Ia pun menatap wajah dewasa yang selalu membimbingnya. Mengobatinya dengan telaten serta selalu menasehatinya dengan pelan. Meski sikapnya tak pernah baik namun sosok dewasa yang ada di hadapannya selalu sabar untuk menghadapinya.

Ia hanya takut mempercayainya. Takut kepercayaan yang ia bangun akan sia sia. Dan ia hanya terdiam tanpa ada rasa baik untuk sosok yang selalu menolongnya.

"Minumlah ini...."

Sebuah tawaran yang tak pernah ia tolak. Dan Ia hanya menerima tanpa rasa curiga hanya pada sahabat baiknya.

"Terimakasih".

Satu kata yang cukup membuat sang sahabat tersenyum puas. Hingga deretan giginya terlihat jelas. Serta matanya memejam. Dan cukup menyejukan hatinya yang di penuhi rasa khawatir.
"Aku senang kamu sudah bisa mengucapkannya, Teme!" Ucapnya dengan memeluk erat sang sahabat.

Sementara ia hanya bisa diam. Membiarkan sang sahabat melakukan perannya dengan baik. Dan sekali lagi ia bersyukur mempunyai sahabat yang selalu ada untuknya. Menemaninya di saat masa kelamnya terjadi. Dan memberi sedikit cahaya yang mampu menyinari hatinya yang semakin gelap.

Ia pun membalas pelukan sang sahabat. Mengusap punggungnya dengan pelan. Dan memejamkan matanya hingga ia berfikir. Seandainya tidak ada dia mungkin hidupnya tak tertolong dan semakin jatuh pada lubang yang ia buat sendiri.










TBC

Jangan lupa votmennya yah....

99Where stories live. Discover now