Bagian 2 : Semua hal yang indah adalah Seni

30 6 7
                                    

Aku duduk di bagian sudut kedai kopi, menyamping dengan jendela kaca yang mamancarkan langsung cahaya senja serta pemandangan kota di sore hari.

Mengapa aku bisa berada di sini? Aku tertidur ketika sedang berada di dalam bus menuju perjalanan pulang. Karena terlalu lelap, aku baru sadar dari tidurku ketika bus itu sudah melaju melewati jalan yang dimana seharusnya aku turun di sana.

Alhasil, di sinilah aku sekarang. Tadinya aku ingin segera kembali, tapi kata laki-laki yang sedang menyeduh kopi itu, "bus sudah tidak jalan lagi untuk sekarang. Kamu harus menunggu selepas senja untuk menemukan bus yang beroperasi lagi."

Aku pun mengikutinya, karena aku mengetahui siapa dia dan kebetulan kami berada dalam kelas yang sama. Namanya adalah Ramaga Sailendra, dipanggil Rama. Dia adalah laki-laki yang tadi mengataiku bahwa hidupku tidak ada seni.

Rama ternyata bekerja paruh waktu di kedai kopi ini sebagai barista. Mamang jika dilihat-lihat, hanya dia yang tampak lebih muda dari barista lainnya.

Dia berjalan mendekatiku dan berkata, "ayo!"

Aku pun beranjak dari posisiku dan mengikutinya keluar dari kedai kopi itu. Halte yang terdekat dari kedai kopi itu lumayan menguras tenaga. Terdekat bukan berarti dekat. Kami perlu sekita sepuluh menit untuk berjalan dari kedai kopi menuju halte. Jika kami terlambat, kami akan ketinggalan bus, karena busnya akan beroperasi duapuluh menit lagi.

Rama berjalan sangat cepat, sehingga membuat aku sedikit kesulitan dalam menyeimbangkan langkahnya. Akhirnya kami sampai juga di halte, dan aku langsung mendudukan diri di sana.

Keheningan terjadi beberapa saat karena aku masih sangat canggung dengannya dan mungkin dia juga begitu denganku. Seketika aku terbayang-bayang bagaimana reaksi Ibu-ku saat ini. Ibu pasti khawatir denganku karena sudah gelap begini belum sampai di rumah juga. Masalahnya aku belum begitu hafal dengan lingkungan ini karena baru pindah. Tapi di hadapan orang lain, aku tidak mau menunjukkan bahwa aku orang baru di sini, itu adalah upayaku agar tidak dibodohi dan dicelakai.

"Busnya sudah sampai," ucap Rama kepadaku.

Aku baru menyadari bahwa bus sudah ada di depan kami saat ini dan Rama sudah melangkah naik ke dalam bus. Aku pun segera menyusul langkah Rama. Kami duduk terpisah, Rama di paling belakang dan aku di depan Rama. Sama-sama memilih tempat yang dekat dengan jendela. Dengan kami yang begini, kami tampak seperti dua remaja yang mabuk dalam perjalanan karena memilih posisi yang dekat dengan angin dan bersender di jendela.

***

Sesampainya aku di rumah, Ibu menyambut kedatanganku dengan celotehan. Aku hanya diam dan menjelaskan bahwa aku tersesat di jalan pulang. Tentu saja alasan tersebut merupakan alasan yang sangat tidak tepat, karena lihatlah Ibu sekarang, ia menjadi semakin cemas yang malah berniat ingin mengantar-jemputku ke sekolah mulai besok.

"Alin, besok Ibu antar saja, ya?" tawar Ibu kepadaku.

Aku segera menggelengkan kepala. "Tidak, Bu. Alin sudah mengingat jalan pulang. Besok tidak akan tersesat lagi," jawabku. Dengan jawabanku itu, apakah Ibu akan percaya? Tentu tidak. Ibuku bukan tipe orang yang mudah percaya. Tapi aku tahu cara agar ia bisa mempercayaiku.

"Aku sudah memiliki teman. Namanya Rama, dia tinggal di dekat toserba yang ada di persimpangan rumah kita," ucapku. "Kalau aku lupa, aku bisa meminta bantuannya dan aku akan pulang bersamanya," lanjutku lagi.

Lihat, Ibu tampak tidak cemas lagi walau aku berbohong sedikit. Tidak apa, kan? Tentu aku tidak akan bisa semudah itu dekat dengan Rama. Aku juga tidak berminat memiliki teman lagi, setelah kejadian di sekolah lamaku.

Nostalgia Rasa dan RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang