Bagian 3 : Penilaian yang menjadi tolak ukur

18 7 5
                                    

Aku tengah menikmati waktu belajarku yang tidak pernah ada penggantinya. Namun, malam ini sedikit berbeda. Waktu belajarku terganggu oleh sekumpulan remaja laki-laki yang berkumpul di depan rumahku. Maksudnya, salah satu taman yang menjadi tempat tongkrongan anak komplek perumahanku yang tepatnya berada di depan rumahku.

Aku tahu betul lagu-lagu yang sejak tadi mereka senandungkan sehingga waktu belajarku terganggu. Aku tidak marah, hanya saja cukup mengganggu. Tetapi mengganggu yang bisa juga kunikmati.

Aku menebak bahwa mereka lebih dari lima orang. Salah satu di antaranya ada yang memainkan alat musik gitar. Sangat pas dengan alunan lagu, ia sangat berbakat dalam memetik senar gitarnya.

Aku melangkahkan kaki keluar dari kamarku dan hendak melihat mereka. Namun, pertanyaan dari Ibu menghentikan langkahku.

"Mau kemana, Lin?" Tanya Ibu-ku.

Aku menolehkan kepalaku ke arah Ibu yang tengah duduk di sofa sambil menatapku dengan bingung.

"Alin mau lihat orang-orang yang ada di depan sana," jawabku.

"Jangan, Lin. Mereka terdengar seperti anak-anak yang tidak peduli akan masa depan. Mungkin berikutnya mereka hanya akan menjadi sampah masyarakat," ujar Ibu.

Semudah itu Ibu menyimpulkan tentang masa depan orang lain? Ini salah satu sifat orangtua ku yang tidak kusukai, selalu menekanku untuk berorientasi ke masa depan.

"Tapi, Alin mau berkenalan dengan mereka. Apapun kesalahan yang Alin lakukan, tidak akan membuat Alin dikucilkan, layaknya saat di sekolah," alibiku.

Ibu menggelengkan kepalanya. Memang tidak akan semudah itu untuk membujuk Ibu untuk percaya. Sekarang kalian bisa lihat mengapa aku merasa tidak akrab dengan orangtuaku sendiri, perbedaan persepsi menjadi salah satu penyebabnya.

"Kembali belajar, Alin," perintah Ibu.

"Alin akan kembali belajar setelah melihat mereka sebentar. Hanya dari balik jendela, boleh?" Aku tidak puas jika tidak menuruti hasratku.

"Asal tidak akan membuat kamu tergiur dan ingin seperti mereka," balas Ibu yang kemudian melangkahkan kaki, pergi meninggalkan aku dengan membawa mangkuk berisi kacang yang sejak tadi ia camili itu.

Aku mulai mengintip sekumpulan remaja laki-laki itu dari balik jendela. Mereka tampak senang dengan apa yang mereka lakukan, seperti tanpa beban. Menyanyi sambil diiringi gelak tawa karena tingkah konyol dari satu sama lain, itu sangat menyenangkan ketika dilakukan di masa muda. Sedangkan masa mudaku? Tidak ada yang menyenangkan.

***

Aku menunggu bus yang akan mengantarkanku ke sekolah di halte yang ada di dekat toserba di persimpangan komplek perumahanku. Seperti biasanya, aku tidak hanya sendirian, banyak pelajar dari sekolahku maupun sekolah lain yang menunggu bus itu.

Sengaja hari ini aku berangkat dari rumah lebih awal, tidak apa-apa menunggu di halte lebih lama dibanding mendengar keributan dari kedua orang tuaku. Aku heran dengan mereka, sudah lama selalu bertengkar, kenapa tidak bercerai saja?

Seseorang mengambil tempat di sampingku, yang mana hal tersebut membuat lamunanku buyar. Aku menatap orang tersebut dengan sedikit menengadah karena dalam posisi terduduk pun orang tersebut masih lebih tinggi dariku.

Ternyata dia adalah Rama. Ramaga Sailendra. Itu yang aku ketahui dari Melati karena ia sering membicarakannya. Katanya, Rama cukup berpengaruh di ekstrakulikuler musik, dan beruntung lagi bahwa Melati dapat sekelas dengannya.

Nostalgia Rasa dan RinduWhere stories live. Discover now