5

1.1K 197 23
                                    

Zila berdiri di depan sebuah gedung pencakar langit. Nafasnya memburu, amarahnya sudah di ubun-ubun. Geram betul ia kepada lelaki yang telah mengganggu anaknya. Sebenarnya ia muak untuk datang ke sini, terakhir kalinya ia kemari adalah sekitar dua tahun lalu, ketika mengantar surat resign.

Ia memasuki gedung tersebut, menyusuri lobi lalu menyisir matanya ke bagian resepsionis demi melihat seseorang yang membuatnya naik darah. Terlihat di sana, seorang lelaki yang tengah membelakanginya nampak sedang bercakap-cakap dengan karyawan yang bertugas di bagian informasi.

Target ditemukan! Zila mengepalkan tangannya lalu memanggil lelaki itu dengan lantang.

"Mas Angga!!"

Lelaki itu dan beberapa karyawan yang berlalu lalang nampak menoleh ke arah Zila, namun sama sekali tak membuatnya merasa malu karena telah menjadi pusat perhatian.

"Halo, Sayang. Apa kabar?" balas lelaki itu menghilangkan kegugupan yang dirasakannya.

"Sini kau! kau ikut aku ke ruangan kau sekarang!"

Lelaki berusia 37 tahun itu nampak terkejut dengan perkataan Zila. Ini pertama kalinya ia melihat Zila semarah ini.

Zila menarik tangannya dan menyeretnya ke lift, lalu menekan nomor 30, yang merupakan lantai terakhir dimana di sana merupakan ruangan Angga.

Banyak dari mereka tercengang. Sementara para karyawan lain tak ingin menganggur, mereka mengambil foto dan video karena momen langka bos mereka yang ditarik Zila, alias mantan karyawannya.

Di dalam lift, Zila menatap lelaki itu tajam. Nafasnya masih memburu.

" Zila, kamu kenapa?" tanya Angga takut-takut.

"Diam kau!" bentaknya.

"Aku ada urusan di luar negeri. Sebentar lagi keberangkatanku,"

"Udah tau sibuk, tapi sempat-sempatnya kau ganggu anakku," marahnya.

Begitu lift terbuka, Zila menyeret Angga  ke ruangan lelaki itu. Satu tangannya memegang tangan lelaki itu, sementara tangan yang lain menekan tengkuknya dengan sekuat tenaga, sementara Angga nampak mengaduh kesakitan dan meronta agar segera dilepaskan. Beberapa orang di sana tampak kaget melihat bos mereka diseret oleh Zila.

"Kenapa ini, Pak?" tanya seorang wanita yang merupakan sekretaris Angga.

"Kamu ikut masuk, aku khawatir pria ini akan berakhir di tanganku," ujar Zila. Padahal, ia malas kalau harus berduaan di ruangan itu. Akhirnya mereka masuk ke ruangan Angga.

"Duduk!" titah Zila sembari melepas tangannya dari memegang lelaki itu.

Seakan dunia terbalik, Zila bagaikan atasan Angga hari ini. Sementara Angga dengan patuh menurut. Angga duduk di sofa hitam miliknya.

Zila menyapu tantangannya seakan jijik telah menyentuh Angga, lalu menatap pria itu dengan tajam.

"Sekarang kau jawab dengan benar pertanyaanku. Kau apakan anakku?" tanya Zila dengan posisi masih berdiri dan melipat tangan di dada.

"Nggak aku apa-apain lho, Zil. Beneran.." balas Angga dengan nafas memburu. Ia sedikit shock sebenarnya.

"Ngapain kau jemput dia ke sekolah dan ngaku-ngaku kalau aku yang suruh?"

Zila benar-benar menyesal karena telah memberitahu lokasi sekolah anaknya pada Angga, ketika di cafe pada waktu itu.

"Ya.. " Angga bingung harus menjawab apa.

"Kenapa? nggak cukup alasan, kau?"

"Zil, aku mau kita menikah,"

"Alasan yang klise," Zila mencebik. "Kalau kau punya urusan denganku, kau selesaikan denganku, bukan dengan anakku. Kau paham?"

Kembar tapi Beda ✔ Where stories live. Discover now