6

1.1K 192 16
                                    

"Kakak nggak papa lho, Mom" Khadija mulai protes dengan ibunya yang mendadak terlalu perhatian padanya. Ia takut, ibunya sudah begitu lelah, tapi harus khawatir dengan keadaannya.

"Kakak cuma kaget aja waktu itu, jadi langsung kabur dan pulang ke rumah pake ojek online. Kakak baik-baik aja, don't worry," tambahnya lagi.

Zila tersenyum senang mendengar kondisi anaknya tidak parah.

"Ceritanya gimana sih? abang mendadak kepo nih," ujar Khalifah penasaran. Ia sedang duduk di kursi meja belajar adiknya. Sementara ibu dan adiknya duduk di atas ranjang milik Khadija.

Khadija menarik selimut yang tadinya menutupi tubuhnya, "Ya nggak gimana-gimana," balas Khadija cuek.

"Om Angga tuh, korban sinetron," Zila menimpali.

"Maksudnya, Ummi?" tanya Khalisa tidak mengerti.

"Dia menjadikan Khadija sebagai ancaman, supaya Ummi mau menikah dengan dia, karena dia tau Ummi akan melakukan apapun demi kalian,"

"Terus sekarang gimana, Ma?"

"Apanya yang gimana?"

"Mama sama Om Angga.."

"Udah kelar,"

"Cieee putus!" ujar ketiga anak kembar itu bersamaan.

Aira geleng-geleng kepala dengan kalimat anak-anaknya itu. Padahal, menurutnya ia dan Angga tidak benar-benar berhubungan, hanya karena terpaksa. Pada saat itu Angga ingin membunuh diri dengan melompat dari lantai tertinggi. Akhirnya Zila menerimanya. Bukan karena kasihan atau takut Angga kenapa-napa, kebetulan ia sedang buru-buru untuk berangkat ke pesantren, makanya ia mengiyakan saja agar bisa cepat-cepat pulang.

Tidak pernah terfikir oleh Zila untuk menikah dengan seorang Angga. Mereka sama-sama nekat, ia yakin kalau menikah dengan Angga, pernikahan mereka tidak akan bertahan lama.

"Kalian udah memenuhi persyaratan dari Mama?" tanya Zila kepada anaknya. Mereka hanya terdiam.

"Batas waktunya tinggal dua hari lagi lho," tambahnya. "Atau.. kalian mundur?" tanya Zila sembari menarik-turunkan alisnya.

"Nggak lah, Ma. Kami pasti bisa. Liat aja ntar," balas Khalifah cepat.

_____

Sore hari selepas pulang dari sekolah Khalifah dan adik-adiknya memasuki perpustakaan yang ada di lantai 2 rumah mereka. Kedua adiknya begitu sibuk mempraktikkan berbicara dengan bahasa China, seperti yang diminta sang ibu. Sementara Khalifah begitu santai, ia malah rebahan di karpet dengan buku menutupi wajahnya.

"Abang gak belajar? jangan sampe gara-gara abang, kita gagal dapat handphone baru," ujar Khadija.

"Abang kan jenius, gak usah belajar," balasnya bangga dengan wajah yang masih tertutup buku.

"Seriusan?"

"Nanti malam di tes lho, Bang.." Khalisa menimpali.

"Iya, abang bisa kok," balas Khalifah santai.

"Yakin, bisa?"

Khalifah buru-buru bangun mendengar suara sang ibu. Ia terduduk dan menyengir kuda pada ibunya.

"Mama udah pulang?" Khalifah mengalihkan topik pembicaraan.

Zila tidak menjawabnya, ia memilih menuju mushalla yang ada di sebelah perpustakaan.

Rumah tersebut ditata dengan tampilan yang tak biasa. Biasanya, orang-orang akan menjadikan lantai dua sebagai kamar anaknya, sementara Zila malah menjadikan lantai 2 sebagai perpustakaan, kelas belajar, ruang olahraga, dan ruang ibadah pastinya. Sementara kamar mereka asa di bawah. Alasan Zila meletakkan kamar anaknya di bawah cukuplah unik, "Biar anak-anak gampang dikontrol".

Kembar tapi Beda ✔ Where stories live. Discover now