Extra Chapter

17.9K 1.6K 16
                                    

Minggu ini, Arka main ke rumah Naura

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Minggu ini, Arka main ke rumah Naura. Mas Nara sedang pergi bersama Kesya. Jadi, mereka di rumah bersama Mbok Inah.

"Mbok, anaknya Mbok Inah yang kuliah di ITB orangnya gimana? Ganteng enggak, Mbok?"

Arka melirik Naura yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu tau maksud tersirat di balik ucapannya.

"Ada apa, nih, Mbak? Kok tiba-tiba nanyain anaknya si Mbok," sahut Mbok Inah yang melewati ruang keluarga.

"Boleh minta nomernya enggak, Mbok? Mau kenalan, nih."

Mbok Inah terkekeh. "Udah punya Mas Arka, kok, mau kenalan sama anaknya si Mbok. Nanti Mas Arka cemburu loh, Mbak."

"Enggak, kok, Mbok. Kan, Naura cuma mau kenalan aja. Biar lebih dekat gitu sama keluarganya si Mbok. Arka juga mau kenalan. Anaknya si Mbok bisa di ITB pasti orangnya pintar. Arka mau belajar katanya. Iya, kan, Ka?"

Arka memutar bola matanya malas. Ia sudah kebal. Perempuan jika cemburu pasti mengungkit masalah yang lalu-lalu secara terus-menerus.

"Ka, mau minta nomernya Mas Toriq enggak? Nih, udah dikirimin sama Mbok Inah," ucap Naura pada Arka yang tengah bermain game.

"Enggak minat."

"Loh kenapa? Bisa tanya-tanya sama Mas Toriq nanti kalau masalah pelajaran. Hitung-hitung kalau kamu nanti minat kuliah di ITB juga."

"Enggak. Makasih."

"Mumpung aku lagi baik hati, loh, Ka."

Arka menghela napasnya. "Gue tiba-tiba juga lagi baik hati, nih, Ra. Mau minta nomernya Zahra enggak? Nanti, aku kirim."

"Ish!"

Arka menelengkan kepalanya. Mengapresiasi dirinya sendiri karena tebakannya benar. Naura yang memulai, gadis itu juga yang kesal.

"Kamu, mah... Ih. Nyebelin banget, sih," kata Naura.

"Kenapa? Kan, cuma nawarin."

Naura berdecak. Arka lantas tak bisa menahan kekehannya.

"Salah sendiri, sih. Makannya diam." Arka memeluk gadis itu.

Naura selalu kesal jika mendengar nama Zahra. Mengetahui hal itu, bukannya menghindar, Arka selalu memancing amarah Naura dengan menggodanya.Ada kesenangan tersendiri melihat kecemburuan Naura. Di sisi lain, Arka selalu gemas melihat wajah kesal Naura.

Arka tertawa sendiri. "Udah, maaf. Lo kalau lagi mens gini mood-nya enggak beraturan banget. Kesal sendiri, kan, lo. Mancing-mancing, sih."

Naura mencebikkan bibirnya. Arka kembali bermain game. Sedangkan Naura memilih untuk membuka laptopnya.

Gadis itu membuka website akun kepenulisan yang dimilikinya. Di saat melihat jumlah pembaca yang tertera di sana, Naura tiba-tiba jadi sedih. Arka yang sempat melihat wajah Naura langsung menghentikan kegiatannya kembali.

"Kenapa?" tanya Arka.

Naura menghela napasnya. "Dari minggu kemarin, jumlah pembacaku enggak naik-naik, Ka."

Arka melihat layar laptop Naura. Layar 14 inch itu menampilkan sebuah karya yang ditulis gadis itu. Di atas keterangan terdapat angka yang menunjukkan jumlah berapa kali buku itu dibaca.

"Enggak apa-apa. Mungkin belum waktunya aja, Ra. Sabar. Besok-besok pasti banyak yang baca."

"Aku kayaknya emang enggak bakat buat jadi penulis, deh." Naura putus asa.

"Shut... Enggak boleh ngomong gitu, ah."

Naura menghela napasnya. "Aku jadi agak enggak percaya diri sama diri aku sendiri, Ka. Sekarang banyak banget orang-orang yang jadi penulis dan karyanya bagus-bagus. Best seller bahkan sampai diangkat jadi film. Di sisi lain aku nulis, aku juga sering baca-baca karya orang lain buat referensi. Tapi, kadang kalau lihat karya mereka lebih bagus dan mereka bisa menulis dalam kurun waktu yang singkat, akunya jadi suka insecure. Jadi minder sendiri, Ka."

Arka mendengarkannya.

"Jadi penulis, tuh, enggak gampang. Kita harus pintar-pintar bikin cerita yang bagus dan menarik buat dibaca sama banyak orang. Kita juga harus punya wawasan yang luas biar cerita kita tuh ada isinya, bagus, dan penulisannya bisa rapi. Yang paling utama juga kalau menurutku kita harus populer. Penulis yang udah dikenal sama banyak orang pasti karyanya banyak yang baca."

"Mau jadi penulis yang populer sama karyanya banyak yang baca, kan, juga butuh proses, Ra," ucap Arka.

"Iya, tapi kadang kesal aja kalau aku udah enggak bisa ngendaliin diri aku buat enggak minder dari yang lain."

"Itu artinya lo kurang motivasi."

Naura menatap Arka.

Arka menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Coba, deh, lo semangatin diri lo sendiri dulu. Yakinin diri lo kalau lo tuh bisa. Sebenarnya karya lo, tuh, juga bagus. Bahkan lebih bagus dari karya-karya yang lain. Lo juga harus punya target. Tujuan lo bikin karya itu untuk apa, untuk siapa, dan lain sebagainya."

Arka tersenyum. "Kalau lo lagi stuck, lo bisa ingat-ingat itu dan bikin lo semangat lagi. Gue yakin, cerita yang lo buat bagus. Lo sendiri suka baca dan emang tertarik banget dalam dunia kepenulisan. Pede aja, Ra. Kalau emang lo masih ragu-ragu, lo bisa coba hal lain."

Laki-laki itu menggenggam kedua tangan Naura. "Tapi, enggak ninggalin lo yang mau jadi penulis itu. Bisa jadi, lo dapat impian baru yang cocok sama lo. Yang bisa bikin lo lebih sukses. Enggak harus jadi penulis juga bisa. Penulis yang lo impikan bisa buat sampingan dari pekerjaan utama. Ya, kalau lo setuju, sih. Coba aja dulu pelan-pelan. Gue enggak mau mutusin lo harus jadi apa, karena itu impian lo sendiri. Lo yang bisa mutusin lo mau gimana ke depannya."

Naura mendengarkan ucapan Arka dengan baik-baik. Setelah dipikir-pikir, ucapan laki-laki itu memang benar.

"Ra, gue cuma mau bilang. Jangan terlalu peduliin besar kecilnya angka yang lo dapat. Jangan patokin angka sebagai kualitas. Lo pintar, lo berbakat, dan lo pasti bisa. Jangan sampai hanya karena angka lo jadi merasa rendah gini. Oke?"

Naura tersenyum. Gadis itu mengangguk. "Makasih, ya, Ka."

Arka ikut tersenyum. Tangannya tergerak mengusap rambut Naura. "Iya sama-sama."

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Mantan Rasa Pacar [END]Where stories live. Discover now