3. Heartbeat

1.1K 114 15
                                    

Usahakan sebelum membaca ini makan dulu

***

Zayn baru saja pulang dari kantor, tubuhnya diregangkan agar otot-ototnya rileks. Zarah sudah menunggu di ruang tamu, tatkala melihat kakak tercinta, dia langsung memeluk dari belakang, bermanja-manja seperti biasa.

“Akhirnya Abang pulang juga.”

Zayn berjalan mengambil air, dia sama sekali tidak terganggu dengan tingkah Zarah yang masih menempeli tubuhnya. “Kenapa? Kamu rindu, ya?”

“Bang, aku mau kita makan malam di luar.”

“Sama Mama dan Papa?”

Zarah menggeleng. “Nggak, kita berdua.”

Zayn menarik napas panjang. Sejujurnya ia lelah. Pekerjaan di kantor makin banyak menyita waktu istirahatnya. Zayn juga harus meladeni orang-orang yang kurang kerjaan dalam hidupnya. Hampir semua karyawan cari perhatian. Zayn kesal karena dia tak bisa tenang dengan pekerjaannya sendiri. Menolak pun tidak enak.

“Bang….” Zarah masih mempertahankan posisi, sama sekali tidak mengendurkan pelukan. “Abang mau?”

“Makan apa?”

“Mi ayam. Aku pengen makan itu, Bang.”

Dalam hidup seorang Zayn, menolak permintaan adiknya adalah sesuatu yang salah. Tak peduli bagaimana otaknya menyuruh untuk melepas lelah, Zayn tak mungkin membiarkan adiknya kecewa.

Zayn berbalik lalu menangkup pipi Zarah, giginya diperlihatkan dengan bingkai senyum yang tulus. “Tungguin Abang ganti baju dulu.”

Zarah melompat kecil, kepalanya manggut-manggut lucu. “Abang harus cepet, aku lapar.”

Zayn naik ke lantai atas untuk berganti pakaian. Ketika membuka pintu kamar, kasur berukuran besar seakan memanggilnya. Zayn ingin sekali rebahan di sana. Matanya tiba-tiba mengantuk. Untuk saat ini dia harus melawan dirinya sendiri. Untuk adiknya.

Zayn menyisir rambut sambil sesekali menguap. Pipinya juga ditepuk keras agar rasa kantuk segera menghilang.

“Jangan ngantuk Zayn.” Zayn membulatkan mata. “Ini demi Zarah.”

Setelah selesai, Zayn kembali ke ruang tamu dengan senyum yang lebar. Zarah berdecak kagum, bertepuk tangan. Zayn terlalu tampan untuk jadi seorang manusia. Bukannya alay atau melebih-lebihkan, tetapi kenyataannya memang begitu. Zayn memiliki wajah yang rupawan. Pakaian apa pun cocok dengannya.

“Abang kenapa ganteng banget?” Zarah berdiri tepat di depan Zayn, matanya masih memperhatikan saksama.

“Biasa aja.”

Zarah tiba-tiba memeluk, merengut. “Aku nggak mau Abang diambil orang lain.”

“Nggak ada yang bisa ambil Abang. Abang kan, punyanya Zarah.”

Salah satu hal yang membuat Zayn tak bisa jauh-jauh dengan adiknya adalah kadar kemanjaan. Zayn suka kalau Zarah menempelinya seperti lintah, Zayn gemas kalau adiknya itu mengadu hanya padanya. Zayn merasa seperti seorang pahlawan.

“Kita jadi pergi nggak?”

Zarah mendongak. “Jadi.”

“Terus kita perginya kapan kalau kamu meluk terus?”

Zarah cengengesan. Matanya menyipit lucu. “Abis kalau Abang dipeluk rasanya nyaman banget, jadi lupa sama dunia.”

Zayn tidak boleh mendengar hal lain lagi kalau tidak mau hidupnya jadi berantakan. Setiap kata yang didengarnya mampu membangkitkan semangat. Saraf-saraf di otaknya seperti menari. Kalau sudah begitu, Zayn bisa mencubit dimana saja.

Let Go [Revisi]Where stories live. Discover now