6. Segalanya

678 89 13
                                    

Makan itu penting, jadi harus makan kalau nggak mau pusing.
(From Author for you, my reader)

***

“Ini udah jam sepuluh tapi Zarah belum pulang. Anak itu juga nggak ngabarin lagi.”

Zayn menunggu tidak sabaran di ruang tamu. Sebenarnya ia berniat untuk menjemput, tetapi Kania tidak mengizinkan.

Zayn menatap layar HP-nya sekali lagi. Sudah ada beberapa pesan yang dikirim untuk Zarah. Semua pesan itu terabaikan, satu pun tak mendapat balasan.

Beberapa menit setelahnya, ketukan pintu terdengar. Zayn tergesa membukanya. Raut wajahnya menjadi keras ketika melihat Ian.

“Abang….” Zarah memeluk Zayn. “Maaf tadi nggak sempat ngabarin, tapi Mama udah kasih tahu kalau aku pergi sama Ian, kan?”

Zayn menampilkan senyum tipis untuk Zarah. “Iya, Dek. Mama udah kasih tahu.”

Ian mempersiapkan diri untuk diwawancarai. Bukan Zayn namanya kalau melepaskan mangsa begitu saja. Dia sangat overprotektif! Terlebih lagi dengan orang yang kurang disukainya.

“Zarah….” Panggilan lirih itu terdengar menakutkan. “Kamu masuk kamar dulu, ya? Abang mau bicara dulu sama Ian.”

Tanpa diperintah dua kali Zarah mengangguk. Badannya cukup letih. Melayani pelanggan sedikit melelahkan.

Zayn menarik napas panjang, perubahan mimik wajahnya secepat kilat. Zayn tidak bisa maklum, tidak bisa berlaku sewajarnya. Ian tetaplah menjadi orang yang ingin dijauhinya.

“Kamu tahu sekarang jam berapa?” tanya Zayn dengan nada rendah. Suaranya menyeramkan.

“Aku tahu ini terlalu larut buat Abang.” Ian mencoba tidak jatuh dalam emosi. Bagaimanapun juga, Zayn lebih tua darinya.

Zayn mendengus, tatapannya bisa menelanjangi siapa saja. Paling sensitif jika itu menyangkut sang adik.

“Bang, Zarah bukan anak kecil lagi.” Ian menekankan kalimatnya, bermaksud ingin menyadarkan.

“Tapi dia tetap adek aku, sampai kapan pun tetap kayak gitu.” Zayn maju selangkah, keresahan hatinya menciptakan emosi. “Aku mungkin nggak akan kesel kalau kamu bawa dia pulang tepat waktu. Aku aja nggak pernah ajak Zarah jalan sampai larut gini. Angin malam nggak baik buat kesehatan dia.”

“Tapi ini masih jam sepuluh, Bang. Ada tuh, cewek lain yang pulangnya di atas jam sepuluh.”

“Jangan samain Zarah dengan cewek lain. Aku nggak mau dia kenapa-napa.”

“Tapi dia sama aku, Bang. Dia juga nggak keluyuran, kok. Seharian dia di restoran. Zarah juga seneng ketemu sama teman-temannya. Abang jangan terlalu berlebihan.”

“Aku memang berlebihan, karena aku sayang sama dia!” Zayn mulai meninggikan suara. “Dari kecil aku jagain dia. Luka sekecil apa pun nggak aku biarin!”

Ian meremas tangannya, berusaha keras agar bogeman tak melayang. Perkataan Zayn mampu membawa ke masa lalu. Masa dimana keduanya sering bertengkar dan adu pukul. Ian dongkol bukan main.

“Kalau kamu mau bawa dia, pulangnya jangan sampai larut.” Zayn mengingatkan dengan tegas.

“Abang pikir aku nggak akan jagain Zarah? Abang pikir aku mau ngelakuin hal yang nggak baik sama dia?” Wajah Ian mulai memerah, kekesalan yang terpendam itu ingin segera ditumpahkan. “Abang harus ingat, bukan Abang doang yang bisa jagain Zarah. Aku juga bisa. Aku juga Abangnya, ya … meskipun cuma sepupu. Tapi rasa sayang aku ke Zarah bisa sebanding kayak Abang.”

Let Go [Revisi]Where stories live. Discover now