13. Akhirnya

484 66 3
                                    

Lapar itu nggak enak, jadi jangan ditunda-tunda.
(From Author for you, my reader)

***

Kiriman surat cinta tak ada lagi. Perantara yang mengirim surat itu juga sudah pindah sekolah. Entah apa penyebabnya.

Zarah tidak menganggapnya sebagai hal yang menyenangkan, sang pelaku belum ditemukan, dan itu menambah keresahan. Alih-alih merasa lega, ia makin tenggelam dalam lautan penasaran. Fahri sudah pergi membawa rahasia besar.

“Itu mukanya kenapa, Za? Kok murung?” Ian memasangkan helm di kepala Zarah. Waktu dan kondisi memungkinkannya untuk menjemput si pemilik hati. Masalah kemarin tak membuatnya gentar, malah semakin antusias.

“Nggak apa-apa kok." Zarah menatap lurus. "Hm … Abang kemarin nggak kenapa-napa, kan?”

Ian duduk di atas motor, tersenyum kecil. “Yang kemarin?”

Zarah mengangguk, netranya melirik pada rahang yang agak membiru. “Bang Zayn pukulnya keras, ya?”

“Lumayan.”

“Aku tahu ceritanya dari Bang Zayn sendiri.” Zarah mengambil napas panjang. Butuh bujukan seribu kali agar Zayn mau mengaku. “Bang Zayn marah karena Abang nyium aku, kan?”

“Za, Abang nggak ada maksud mau apa-apain kamu. Abang nyium kamu karena Abang sayang sama kamu. Abang ciumnya juga di kepala, nggak di wajah kamu.”

“Iya, aku ngerti.”

“Kamu nggak marah, kan?”

Zarah mengulas senyum tipis untuk mencairkan suasana. Dia tidak mau kedekatan mereka merenggang. Ian begitu baik, tidak sama lagi dengan yang dulu.

“Aku nggak marah, kok. Tapi aku minta sama Abang buat nggak gitu lagi, takutnya Bang Zayn marah. Aku takut kalian berdua berantem lagi.”

Ian menarik lengan Zarah untuk mendekat. Apa yang telah didengarnya akan dipatuhi dengan baik. Tapi bukan berarti Ian akan menyerah begitu saja.

“Za, boleh kita jalan-jalan sebentar?” Permintaan itu terdengar lirih. Ian terlalu takut jika ajakannya ditolak.

“Kemana?”

“Mau ke pantai?”

“Siang-siang gini, Bang?” Zarah bertanya sangsi. Matahari terlalu menyengat sekarang. Warna kulitnya bisa berubah dalam sekejap.

Ian tertawa kecil. Dia cukup peka ketika melihat keraguan yang terpampang jelas. Karena itu, ia segera melepas jaketnya dan memakaikannya pada Zarah. Tampak lucu. Jaket yang kebesaran menutupi kesepuluh jari.

“Ayolah, Za. Jangan bikin Abang sedih, dong. Lagian kamu juga udah pake jaket, tangannya udah dilindungi. Mau, ya?”

“Tapi….”

“Apa? Mau minta izin sama Bang Zayn dulu?” Ian mendengus. Sedetik kemudian ekspresinya berubah. Lagi-lagi harus memelas.

“Em … nggak lama, kan?”

“Nggak.”

“Beneran?”

“Iya, Zarah….”

“Janji?”

Ian mencubit kedua pipi Zarah karena gemas. “Iya, Zarah. Abang janji.”

Akhirnya Zarah mengiyakan. Ian cepat-cepat menstater motor agar waktu tak terbuang percuma.

Dunia mungkin tidak mengerti kebahagian seorang Ian, orang-orang tidak tahu perasaannya. Berada di dekat Zarah merupakan hal yang paling menyenangkan. Tak peduli bagaimana rintangangan yang harus dilewati. Zayn bukanlah penghalang untuknya merajut cinta.

Let Go [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang