Chapter 3

630 107 19
                                    

Oria POV

Hari ini kami latihan di kuil. Bos Sasage yang suruh, rencananya ajari cara kerja Kuil Pernikahan. Padahal sendirinya kerja tak niat. Benar-benar deh. Hakon juga saja aja. Pas bosnya tak ada ... mana pernah dia kerja di kuil. Sekarang aja, sok-sokan rajin.

Aku duduk di depan kuil, berhadapan dengan Hakon. Gumpalan bulu itu bawa setumpuk balok kayu, isinya nama-nama orang ditulis pakai tinta merah. Ada juga yang tintanya hitam dan yang tulisannya kabur nggak terbaca.

Aku tatap Hakon dengan polosnya, sambil injak-injak papan kayu berukuran 5 × 10 cm itu dengan kakiku yang imut.

"Ini apaan?" tanyaku.

Muka Hakon kelihatan tak senang. Aku diangkat, pindahkan ke tempat lain biar nggak injak papannya. "Papan jodoh, jangan diinjak." Habis itu baru deh aku ditegur.

Aku sih masih santai, goyang-goyang ekor tak peduli. Apaan coba, masa jodoh ada papannya segala. Kayak ada gunanya aja.

"Kayu begitu memang apa hubungannya dengan jodoh?" tanyaku sok penasaran, aslinya tak peduli.

"Memangnya kamu pikir kenapa ada tulisan dua nama di atasnya?" Hakon balik tanya, pasang muka membodohi. Aku bukannya nggak paham sama sekali kok, cuma berasa aneh saja. Kurang percaya takhayul. Masa iya, hanya tinggal tulis nama saja, sudah berjodoh aja gitu.

"Entah," balasku cuek.

"Gyaaa!" Detik berikutnya aku menjerit, bulu ekorku dicabut sama bos pemalasan satu itu.

"Kalau diajarkan, dengarkan baik-baik," katanya. Entah sejak kapan ada di belakangku.

"Ini namanya tindakan kekerasan pada bawahan! Mau dituntut ya!" Aku protes, hentak-hentak kaki, hampir saja menginjak kaki Sang Dewa.

"Hukum manusia tak berlaku di sini. Setelah ratusan tahun, kau masih belum bisa menghilangkan pola pikir itu?" Akibatnya aku lagi yang salah. Kayaknya ini bos sensian deh sama aku. Hakon juga, suka pura-pura tuli pas aku kena marah, nggak mau membela.

"Biarin! Sifat tuh bawaan lahir, susah buat diubah!" Aku masa bodoh. Melawan selama bisa. Toh, bedanya Sasage hanya kilauannya aja. Lebih glowing gitu. Sisanya dia nggak jelas. Jalan-jalan doang, ganggu aku dan Hakon.

"Sudah, Oria. Melawan saja yang kau bisa. Sekarang hadap sini, dengarkan penjelasanku." Baru sekarang Hakon mau bicara, itu pun ikut mengomeliku.

Aku cemberut, jalan nggak niat ke sampingnya. Bos kami pindah ke tangga gerbang, duduk di situ termenung kayak kakek-kakek.

"Emang papannya mau diapakan?" Terpaksa deh, aku mendengarkan. Biar jadi gumpalan bulu teladan, mendengarkan dan mengerjakan tugas dengan baik.

"Karena kamu bisa mendengar doa-doa manusia, maka mulai sekarang ini akan menjadi tugasmu. Mengabulkan doa-doa itu," jawab Hakon.

"Eh!? Kok gitu!? Kabulkan doakan tugas Dewa. Aku mana bisa!" Enak saja suruh aku! Lalu apa gunanya Sasage itu?

"Oh ... jadi sudah menyerah di awal? Mau kuubah jadi rubah biasa dan dikembalikan ke hutan?" Ugh. Dasar jahat! Sekarang aku diancam. Mentang-mentang punya kekuatan!

"Dengarkan itu, Oria. Tuan Sasage sudah memberimu kesempatan, jangan bilang tak bisa sebelum mencoba." Hakon juga ikut-ikutan. Mereka sekarang berkomplot menyiksaku. Mengelilingiku, memberikan tatapan penuh harap, menambah beban pikiranku.

"Iya deh, aku coba. Terus gimana cara kabulkan?" Aku hanya punya pilihan patuh, bertanya padahal tak peduli.

Hakon memberikan papan itu padaku. Kuterima pakai gigi. Gigit-gigit, berasa dapat mainan kunyah. Tak lama, Sasage menjentikkan jarinya. Buluku berubah oranye seketika.

What Does Fox Want 2 [END]Where stories live. Discover now