Chapter 51

351 77 3
                                    

Hakon POV

Aku tak akan membiarkan orang yang menghina kami lolos begitu saja. Oria aman selama mereka tak bisa menyerangku secara langsung. Aku telah melepaskan serangan berupa pusaran angin yang meniup menjauhkan mereka dari ku.

Posisiku saat ini berada di tengah-tengah pusar angin tersebut. Kedua arwah monyet yang menjadi lawanku berada di posisi terluar. Mereka terlihat marah, tampak akan bertindak nekat menerobos masuk ke area serangku.

Kedua monyet itulah adalah Hazuke dan Mito, sepasang arwah pelindung generasi kedua yang pernah kuhadapi di periode kesembilan, puluhan ribu tahun yang lalu. Mereka kuat, cepat dan berani, tapi terlalu emosional dan ceroboh.

"Keluar kau rubah!"

"Jangan hanya bisa bersembunyi!"

Aku tertawa kecil, tak menanggapi teriakan mereka. Karena bila dibiarkan, mereka akan segera kehilangan kesabaran dan menyerang tanpa memedulikan betapa berbahayanya pusaran anginku.

"Hazuke, kita masuk saja."

"Oke, aku yang di depan!"

Seperti dugaanku, kesabaran mereka luar biasa tipis. Mereka pikir dengan melayangkan tombak dan membelah tanah bisa menghentikanku, tapi nyatanya serangan itulah yang kutunggu.

"Rasakan ini, Hakon!" teriak Hazuke.

Monyet itu menancapkan tombaknya ke tanah, menambah keretakan menjadi sebuah lubang besar. Aku sengaja pura-pura jatuh ke lubang yang ia buat, sehingga mereka berdua ikut turun ke dalam lubang.

"Hanya ini yang kau bisa? Membuat lubang seperti kelinci." Kukibaskan kipasku. Angin yang keluar dari kipas langsung berubah menjadi beberapa buah pedang berbentuk sabit, terbang mengejar kedua monyet tersebut.

"Tutup mulutmu!"

"Hanya sabit bodoh begini, sangat gampang kuhancurkan!"

Tubuh Hazuke tergores parah, tetapi setelahnya, Mito menghancurkan pedang sabitku. Tak memberi waktu, mereka kembali menyerang bersama-sama. Sepasang ujung tombak terarah pada kepalaku. Normalnya serangan ini tak akan sempat dihindari, tapi kata normal tidak berlaku untukku.

"Kalian terlalu lambat." Aku hanya perlu mengedipkan mata sekali, berpindah tempat ke belakang mereka menggunakan kemampuan teleportasi. Kemudian kusabet leher mereka dengan kipasku.

"Jangan sombong!" Mito bisa membaca seranganku. Dia membalikkan badan segera, membangun lapisan pelindung untuk melindungi diri sebelum seranganku mengenai mereka.

"Tak buruk. Gerak refleksmu bagus, tapi seberapa lama kalian bisa bertahan." Lapisan pelindungnya telah kuhancurkan. Di saat yang sama, aku melepaskan sebuah ledakan bertekanan tinggi yang menghempaskan Mito.

Lubang yang dipecahkan oleh mereka mulai hancur, menjatuhkan pecahan tanah di atas sana ke tempat kami berada saat ini. Hazuke tak memedulikan semua itu. Dia berlari ke arahku, menusukkan tombaknya dengan kecepatan tinggi hingga terlihat seperti banyak ujung tombak yang mendekat.

Aku dengan tenang menghindari tiap serangan Hazuke. Dia tak sadar bila kecepatannya mulai melambat karena luka yang ia terima sebelumnya. Monyet itu semakin tak sabaran, raut wajahnya terlihat gusar. Kupikir ini saatnya menghancurkan harga dirinya. Kutangkap ujung tombaknya, menariknya ke arahku hingga tubuh Hazuke ikut terhempas. Saat ia telah dekat, kugunakan tangan lain untuk melubangi perutnya secara langsung.

"HAZUKEEE! RUBAH KEPARAT! AKAN KUBALAS KAU!" Tepat saat Hazuke terjatuh memuntahkan darah, Mito melemparkan tombaknya ke arahku.

Aku berpindah sekali lagi ke belakang punggung Mito, menusuknya dengan tangan sama yang menusuk pasangannya. Kali ini ia tak sempat bereaksi. Karena kemarahan dan emosi telah sepenuhnya menumpulkan insting bertarungnya.

"Tidak, terima kasih. Kalian tidur saja yang tenang." Kubunuh mereka secepatnya. Menghindari pembalasan dendam bila membiarkan mereka tetap hidup. Selain itu, harta mereka tak terlihat. Bila tak kubunuh, benda itu tak akan keluar dari tempat persembunyian mereka.

Benar tebakanku. Kedua monyet ini juga menyimpan harta mereka di dalam tempat penyimpanan khusus sejenis gelang giok Misa. Hartanya langsung muncul saat mereka berdua tewas, hancur menjadi energi roh tak berbentuk.

Aku tidak kejam. Hanya menjalani hidup mengikuti aturan yang ada. Mereka sudah hidup cukup lama, sudah saatnya mengganti penjaga kuil.

Kuambil harta mereka, menyimpannya ke dalam kipasku. Kemudian aku keluar dari lubang tersebut, segera meninggalkan tempat itu sebelum pasangan lain datang menyergapku.

"Hakon, monyetnya ke mana?" Setelah kami sudah agak jauh, Oria keluar dari bajuku. Dia bertanya dengan polosnya, terlihat bingung karena hanya bisa mendengar suara tanpa melihat kejadian sebenarnya.

"Sudah kalah. Kita sembunyi dulu. Kekuatan teleportasi menggunakan banyak kekuatan arwah. Aku ingin beristirahat sebentar." Aku menipu Oria dengan senyuman palsu dan kata-kata yang membuatnya cemas.

"Pakai aku, baterai imut ini masih penuh!" Si bodoh ini langsung percaya. Berpikir bila kekuatan arwahku berkurang banyak hanya karena perkelahian singkat.

"Tak perlu. Simpan kekuatanmu untuk kugunakan saat melawan Kuil Api dan Kuil Air. Sisanya masih bisa kutangani sendiri." Kekuatan arwah yang terpakai bisa terisi kembali dengan beristirahat. Tentunya tidak secepat bila mengambil kekuatan arwah Oria, tapi sudah cukup bila aku tetap mempertahankan strategi awalku.

"Iya deh. Tapi Hakon, memangnya ular kembar cebol itu kuat banget ya? Kau sampai waspada begitu sama mereka. Kan mereka lawan singa api tadi, mungkin sebenarnya mereka udah kalah sekarang." Shi dan Aoi sangat kuat. Tak ada yang perlu kuragukan dari salah satu pasangan generasi pertama yang masih bertahan hingga saat ini.

"Mereka tak akan kalah secepat ini. Paling mungkin mereka melakukan serangan tipuan dan melarikan diri dari Isamu. Aoi cerdas, dia tak akan melawan jika tidak yakin 100% memenangkan pertempuran. Dia akan menunggu sampai Isamu dan Misa kelelahan atau memisahkan mereka untuk membunuhnya satu per satu." Seperti inilah cara pasangan ular itu selamat dari pemburuan periode pertama.

Mereka kalah karena saat itu mereka percaya sepenuhnya pada kerja sama dengan pasangan ikan. Saat mereka terluka melindungi sekutunya, pasangan ikan itu menusuk mereka dari belakang, memberikan racun pada perban mereka hingga Tuan Shirage terpaksa mengaku kalah dan menarik mereka keluar dari permainan agar bisa menyelamatkan nyawa mereka.

Setelah kekalahan pahit itu, Aoi dan Shi tak pernah bekerja sama dengan pasangan kuil lain. Mereka juga selalu memastikan untuk menghancurkan lawannya tanpa ampun agar tak mengulang kesalahan yang sama. Kecerdasan, pengalaman dan ke hatian-hatian selama mengikuti perburuan empat belas kali berturut-turut membuat mereka menjadi lawan tersulit bagi kami.

"Haisss ... ternyata Aoi dan Shi sama liciknya denganmu. Padahal kita teman, tapi akhirnya tetap harus melawan mereka ya." Tak pertemanan dalam pemburuan. Kuharap aku tega mengucapkannya di depan wajah sedih Oria.

"Kalau memang terpaksa. Kuharap Isamu dan Misa mengalahkan mereka dulu dan baru kita mengalahkan Isamu. Aku benci Isamu, jadi menghajarnya tak akan membuatku merasa bersalah." Aku tak benar-benar membenci Isamu, tapi memang aku tak akan merasa bersalah membunuhnya. Tak kenal maka tak ada perasaan tertinggal. Sesederhana itulah hubungan rapuh sesama penjaga kuil. Keburukan yang tak perlu Oria ketahui. 

What Does Fox Want 2 [END]Where stories live. Discover now