Obstacle

174 27 1
                                    

"Sepertinya aku jatuh cinta!" Ayana mengatupkan kedua tangannya. Matanya berbinar saat ia mengucapkan satu kalimat yang ia sendiri tidak percaya akan mengalaminya juga.

"Cinta? Apa itu cinta?" pertanyaan beberapa bulan yang lalu ketika gadis berambut cokelat itu belum berada dalam fase sekarang, mulai merasakan tanda-tanda jatuh cinta.

"Apa kubilang. Kau manusia biasa, pasti akan jatuh cinta." Gin membetulkan kacamata Ayana yang melorot. Gadis di hadapannya ini, akhirnya akan mengalami hal-hal yang seharusnya sejak dulu ia rasakan. "Teman dalam hidupmu bukan hanya sekitar buku dan buku." Lanjutnya.

"Iya, aku tau. Jadi sekarang, aku harus bagaimana?" Ayana sendiri tidak tahu kelanjutan dari perasaannya. Apa lagi perasaannya dibuntuti satu kata 'sepertinya', tampak tidak ada keyakinan di sana.

Benarkah ia sedang jatuh cinta? Batinnya.

"Katakan padanya tentang perasaanmu. Lalu kau akan tahu arah selanjutnya. Itulah permulaannya. Selesai." Gin merapikan buku pelajarannya. Menuruti Ayana berbicara, hanya akan menghabiskan waktunya untuk belajar. Jadi, ia biarkan gadis itu jalan mengekori ke mana pun ia pergi. Toh, Gin masih bisa konsentrasi saat belajar meski pun direcoki cerita Ayana.

"Mengatakannya ya?" gumam gadis itu. Ayana berhenti mengikuti Gin. Dipandanginya punggung sahabatnya. "Apakah sesederhana itu pemikiran para lelaki?" tanyanya lagi. Lebih pada dirinya sendiri.

Suara gaduh di ujung koridor yang tak jauh dari perpustakaan, mencuri perhatian Ayana. Ditambah keributan itu disebabkan oleh satu sosok kemilau yang berjalan di antara para penggemarnya. Kedua kaki gadis itu membeku di tempat. Matanya fokus mengikuti arah pemuda itu sampai menghilang di balik tembok. Haru, pemuda bertubuh tegap menjadi api di antara kunang-kunang yang mengitarinya. Namun, api ini adalah seorang kapten basket yang sedang berjalan meninggalkan lapangan. Pertandingan telah usai dan kepergiannya sangat disayangkan oleh para penggemarnya.

Melihat sosok orang yang ia sukai walau hanya sebentar, membuat Ayana mengulang ucapan Gin. Api semangatnya pun semakin berkobar.

Cukup sederhana, seharusnya. Ayana hanya perlu mengutarakan perasaannya agar pemuda itu tahu. Jika menunggu Haru menyadari, mungkin akan memakan waktu lama dan Ayana akan kalah jauh melangkah dari lawan-lawannya yang tidak ia ketahui.

Haru. Pemuda jangkung yang sangat menyukai dunia olah raga, sering digandrungi mahasiswi-mahasiswi dari berbagai jurusan dan bahkan fakultas yang gedungnya tidak jauh dari gedung fakultas mereka. Tak heran, pemuda itu sering diberi hadiah dan surat cinta dari para penggemarnya. Ayana tentu tidak bisa melakukan hal itu. Selain takut kemungkinan akan ditolak, ia tak pandai merangkai kata dan bukan gayanya pula untuk memberi hadiah-hadiah. Perempuan introvert pecinta buku yang akhirnya menyadari kalau ia sedang jatuh cinta.

Ucapan Gin terngiang sepanjang malam. Membuatnya susah tidur. Ayana terus menerus memandang langit-langit kamarnya. Lampu menjadi benda menarik saat ini.

Bagaimana jika dia menolakku?

Tapi jika tidak dikatakan, apakah ia akan menyadari perasaanku?

Dikatakan atau pun tidak dikatakan, yang ia rasakan tetaplah cinta. Hanya berbeda suara. Bertepuk riang atau hanya bertepuk sebelah tangan hingga tidak bersuara, cintanya tak mekar bersemi.

"Katakan? Apa ... tidak! Bagaimana aku bisa mengatakannya?" Ayana menutup seluruh wajahnya dengan selimut. Mana mungkin ia bisa seberani itu! Gin gila!

Sisa malam itu dihabiskan Ayana menggambarkan berbagai skenario untuk mengutarakan perasaannya pada sang pujaan hati. Akan lebih mudah kalau saja Ayana menjadi pujaan para lelaki, Haru pasti lebih dulu menyukainya. Sehingga Ayana tak perlu repot-repot membuat rencana-rencana agar perasaannya tersampaikan. Dan lebih penting, tidak ada penolakan ia rasakan. Rasa yang menakutkan.

***

Langit biru membentang luas dengan beberapa gumpalan seperti kapas putih yang melayang lambat-laun mengikuti alur angin. Ayana tertegun melihat keindahan di depannya. Ia mengedipkan matanya beberapa kali, berusaha menghilangkan sisa-sisa kantuk. Matanya hampir terpejam kembali saat angin pagi meniup kelopak matanya.

Ayana sontak bangkit dari posisi tidurnya. Menyadari langit-langit kamarnya yang gypsum berubah menjadi langit secara harfiah. Di mana ia bisa melihat makhluk indah mengepakkan sayap di atas sana. Di sekelilingnya terdapat padang rumput membentang luas, dengan beberapa pohon besar dan kecil menghiasi. Salah satunya menjadi tempat teduhan Ayana dari sengatan sinar matahari.

Gadis itu sangat ingat, tadi malam dia sudah mengunci pintu dan jendela kamarnya. Bahkan gorden yang selalu dibuka karena kamarnya berada di lantai dua, sudah ia tutup. Pertanyaannya, bagaimana Ayana bisa sampai di sini? Apakah dia diculik?

Mengikuti feeling-nya, Ayana berlari, mencari tanda-tanda keberadaan orang lain. Matahari hampir berada di atas kepala saat gadis itu akhirnya menemukan sebuah rumah dengan cerobong asap. Pemukiman itu tampak sepi dari luar dan terlalu ramai ketika ia sudah berada di dalam. Masyarakatnya sibuk saling berinteraksi. Sangat berbeda di tempat Ayana tinggal. Pakaian yang mereka kenakan juga seperti bukan dari zamannya. Refleks Ayana melihat pakaian yang ia kenakan. Sama seperti mereka. Baju terusan berbahan linen ditutupi rompi dari bahan yang agak tebal.

Belum sempat mencerna kondisinya saat ini, Ayana dikejutkan oleh kedatangan dua lelaki yang berlari ke arahnya dan langsung mengapit kedua lengannya.

"Aku sudah mencarimu seharian di perpustakaan."

"Dan di rumah Bibi Zhen."

"Ternyata kau di pasar."

"Kau ketiduran lagi di padang rumput?"

"Kami sudah mengingatkanmu,"

"Di padang rumput itu terlalu berbahaya tanpa kami,"

"Yang mengawasimu."

Kalimat saling bersahutan dari kedua orang yang ia kenal. Meski salah satunya hanya bisa ia pandangi dari kejauhan. Membuat kepalanya semakin pusing. Situasi saat ini sungguh sulit ditebak.

"Aku pasti bermimpi," bisiknya. Ia pejamkan mata, mencoba kembali ke alam tidur. Berharap saat membuka mata, ia sudah kembali ke dunia nyata.

Setelah melakukan percobaan beberapa kali, gadis itu masih berada di dunia yang sama. Dan masih diapit oleh dua lelaki yang sama. Haru dan Gin.

Hal paling mengejutkan ketika ketiganya sampai di rumah kayu yang dihiasi beragam macam tanaman. Ayana mengenali satu orang lagi, salah satu saingannya untuk mendapatkan Haru.

"Sakura?" tanpa sadar ia memanggil nama gadis paling terkenal di kampusnya.

"Apa ada benda tumpul merusak otakmu, Ayana?"

"Mengapa kau memanggil nama ibu?"

"Tidak sopan."

Ayana tertegun mendapat informasi tak masuk akal barusan.

Mereka kan seumuran?

Haru dan Gin meninggakannya begitu saja bersama Sakura yang tampak lebih tua sedikit. "Mungkin karena pakaian yang dikenakannya." Batin Ayana.

Seorang wanita dewasa yang Ayana ingat sebagai Sakura, si primadona kampus berjalan ke arahnya. Menariknya dalam rangkulan lembut seperti khasnya seorang ibu pada anak gadisnya.

"Kau tidak akan mendapatkan orang yang mencintaimu, apa lagi orang yang kau cintai selama aku masih di ada."

***

GenFest 2020: Romance x IsekaiOnde histórias criam vida. Descubra agora