Edlynne; Tuan Puteri

101 21 1
                                    

Jatuhnya tahta Keluarga Vortigern memaksa mereka untuk mengungsikan para pewaris menjauh dari ibu kota. Ratusan tahun secara turun temurun memimpin Kerajaan Bhaltair, satu-satunya kerajaan yang mengizinkan bangsa mundane, guardian, dan element-bender hidup berdampingan, tahta itu tengah berada di ambang kehancuran. Konflik perebutan tahta menggerogoti pemerintahan, mencuatkan berbagai pemberontakkan bahkan dari sesama bangsa element-bender.

Kenyataan menampar Edlynne, ketika ia tidak lagi berada di ruangan pribadi istana. Melainkan, kini ia berada di kastil Vortegern yang berada di pegunungan wilayah selatan, tempat ia bersama saudara laki-laki termuda di keluarganya melarikan diri. Sang Ayah dan permaisuri menyelamatkan diri ke pegunungan wilayah utara, sementara keberadaan kelima saudara laki-lakinya yang lain hanya Tuhan yang tahu.

Angin kecil berhembus di dalam ruangan tempat Edlynne berada, memendarkan nyala obor di sana. Edlynne menghentikan guratan tinta di atas surat yang tengah ia tulis, saat menyadari kehadiran orang lain di ruangan kecil itu. Seseorang yang telah ia nantikan kepulangannya semenjak matahari kembali ke peraduan.

Kedua sudut bibir Edlynne terangkat, rona merah di pipinya menyembul, dadanya sesak penuh dengan kegembiraan. Sesuatu yang rasanya mustahil di tengah kekacaubalauan ini.

Sayangnya, gegap kebahagiaan itu hanya berlangsung sejenak saja. Begitu Edlynne membalikkan tubuhnya, kenyataan pahit kembali menghujam diri.

Di hadapan Edlynne, seorang laki-laki bersimpuh seraya memegang pundak penuh sayatan yang mengoyak pakaiannya. Sosok laki-laki itu hampir tidak mengeluarkan sepatah kata pun selain helaan nafas berat yang sesekali keluar dari mulutnya. Sungguh pemandangan yang belum pernah laki-laki itu perlihatkan di hadapan Edlynne.

Sang pengawal, prajurit terbaik dari bangsa guardian di Bhaltair, bersimpuh tak berdaya di lantai setelah berteleportasi dari tempat yang Edlynne pun tak ingin mengira-ira.

Langkah Edlynne tertatih sebelum akhirnya ia berhasil bersimpuh di hadapan laki-laki itu. Akalnya telah berhenti bekerja saat emosi menyesakkan memenuhi dirinya. Aldrich, sang pengawal, membawa berita bahwa para pembelot berhasil menghabisi Raja dan permasuri beserta keempat saudaranya. Air mata Edlynne pun akhirnya tak dapat lagi terbendung. Ia menundukkan kepalanya, tak ingin terlihat begitu menyedihkan di depan Aldrich. Tak ingin laki-laki itu melihatnya hancur oleh takdir Tuhan.

"Oh, Edlynne," ucap Aldrich dengan penuh kekhawatiran. Diusapnya wajah sang puteri dengan penuh kehati-hatian. Seolah-olah, sedikit saja sentuhan bisa menghancurkan perempuan itu. Ia pun merengkuh tubuh sang puteri ke dalam pelukannya, mengabaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya sendiri. Membiarkan perempuan itu meluapkan emosi yang hampir tak pernah diperlihatkan.

─ ─ ─

Salah satu kepercayaan klan pengendali air di antaranya adalah mengenai hari pertama turunnya salju yang merupakan waktu makbul untuk memanjatkan doa. Edlynne tengah bersimpuh sembari menengadahkan kedua tangannya bersama saudara laki-lakinya yang masih berusia sepuluh tahun, ketika sayup-sayup terdengar keributan dari kejauhan. Pintu ruangannya menjeblak terbuka, menampilkan pengawal saudara laki-lakinya, Hidenaga, yang terlihat tergesa-gesa.

"Yang Mulia, mereka berhasil menyusul kita."

Mengetahui apa yang terjadi, Edlynne mengisyaratkan kepada sang adik dan pengawalnya bergegas meninggalkan tempat itu. Sayangnya, tempat itu telah dikepung oleh prajurit musuh yang tidak berhasil dibendung oleh Aldrich. Edlynne memerintahkan Hidenaga untuk menyelamatkan sang adik sementara dirinya dan Aldrich mengecohkan pasukan pembelot yang tiba bersama saudara laki-laki tertuanya, Pangeran Date.

Kedua saudara itu bertarung satu lawan satu dengan pengendalian air mereka sementara Aldrich menghadapi para prajurit istana yang membelot. Sayangnya, kekuatan Puteri Edlynne tidak dapat menandingi kekuatan Pangeran Date. Tertatih di atas jembatan yang membelah danau buatan di kastil kecilnya, Pangeran Date memerintahkan para pemanah pelepaskan anak panah mereka ke sang adik. Saat itu pula, Aldrich yang masih berkutat dengan para prajurit istana meneleportasi dirinya.

Suara desing anak panah yang dilepaskan dari busur menyita perhatian Puteri Edlynne. Sekelebat ingatannya akan doa yang ia panjatkan memenuhi pikirannya. Harapan agar penderitaan ini usai. Sehingga ia dan orang-orang yang ia kasihi tak lagi merasakan pedih yang berlarut-larut. Mungkin, inilah jawaban dari doanya. Bahwa meskipun hidupnya harus berakhir di detik itu juga, ia masih bisa jatuh ke dalam rengkuhan kekasih hatinya yang tiba-tiba saja memenuhi area penglihatannya.

Sebelum Puteri Edlynne dapat memproses kejadian itu, tubuh sang pengawal itu telah lunglai ketika anak panah bergantian menghujam badan tegapnya. Laki-laki itu hampir tak mengeluarkan suara selain erangan sakit yang tertahan.

"Aldrich, apa yang kau lakukan?"

Laki-laki itu mengangkat kepalanya dengan sisa-sisa tenaganya. Iris kecoklatannya memandang dalam kedua mata sang puteri dengan amat damai. Air muka laki-laki itu begitu kontras dengan tubuhnya yang jatuh dalam jurang kematian. Bahkan, meskipun pandangan Puteri Edlynne mulai kabur oleh air matanya, ia bersumpah melihat wajah laki-laki yang telah mengisi seluruh ruang di hatinya itu mengguratkan senyum kepadanya.

Puteri Edlynne tak melepas rengkuhan Aldrich. Bahkan meskipun dirinya sendiri ikut terbawa sang kekasih ditelan dinginnya air ketika tubuh Aldrich terjatuh ke dalam danau, ia tidak peduli. Toh ia tidak akan terbunuh di sana.

Sayangnya, ada sesuatu yang salah. Tubuh Edlynne mendadak mati rasa. Sesaat kemudian, ia merasakan sensasi ditusuk ribuan jarum dan dalam satu kedipan mata, Aldrich menghilang. Sekarang, ia seorang diri dalam pusaran air. Tangannya menggapai-gapai saat kemudian dadanya terasa sesak dan sakit. Ketika ia pikir ajal sudah menjemput, tubuhnya ditarik oleh sesuatu──seseorang. Ia berhasil muncul ke permukaan, sembari kedua tangannya bertumpu pada sebuah papan selancar dan sebuah lengan menopang tubuhnya dari belakang.

Ketika Edlynne berhasil mendapatkan sedikit kesadarannya, ia mendapati dirinya tengah terombang-ambing di lautan lepas. Di kejauhan sana terlihat daratan yang penuh sesak dengan manusia. Semacam pantai, pikirnya.

"Ya Tuhan, aku pikir semua peselancar itu mahir berenang di laut." Sebuah suara familiar terdengar. "Kau masih bisa bertahan untuk berenang ke pantai, 'kan, Nona?" tanya orang itu lagi.

Ketika Edlynne memalingkan kepalanya kepada sumber suara tadi, tubuhnya kembali terasa seperti dihujam ribuan jarum. Kepalanya seperti dihujam jutaan memori dan tanpa sadar, air matanya telah turun ke pipi. Ia seolah tak bisa memalingkan pandangannya dari laki-laki di hadapannya itu.

Ketika wajah Edlynne tergambar jelas melalui netra laki-laki tadi, sensasi ganjil juga menyeruak di dalam dirinya, tak ubahnya seperti Edlynne. Seluruh emosi terlukis di wajah pria itu. Butuh beberapa saat, hingga efek keterkejutan hilang dari dirinya.

Lelaki itu tersenyum, kemudian berkata, "Bahkan di dunia ini, kau juga berhutang nyawa kepadaku," ujar laki-laki itu seraya mengeratkan lengannya pada tubuh Edlynne, "Tuan Puteri."

GenFest 2020: Romance x IsekaiWhere stories live. Discover now