Continuum

140 21 4
                                    

Tetsuko menua, begitu pun aku, kamu, dan sebagian besar manusia. Kematian akan datang mengetuk organ-organnya, kelak, atau tidak lama lagi sebab ia semakin renta dan sakit-sakitan. Sungguh, nenek tua itu sudah memutih, telinganya tidak bisa mendengar dengan baik, lidahnya lupa cara membedakan garam dengan gula, kulitnya keriput, dan maniknya diliputi kekelaman. Namun Tetsuko-ku masih menggemari dunianya, dengan jemari kaku penuh getar ia menggenggam pensil, pena, dan kuas erat-erat—sebagaimana para prajurit memperlakukan tombak dan pedang-pedang. Lantas hari ini ia mengajakku berperang—terhadap waktu, takdir, kematian, dan perpisahan-perpisahan.

"Handa, jika hal-hal fantasi itu nyata, bagaimana jadinya kisah kita?" Ia bertanya. Kedua tangannya masih berkutat dengan lembaran-lembaran kertas, begitu pula manik kelabunya. Ia tidak berepot-repot mengangkat kepala pun menatapku yang duduk memangku sambil membaca majalah komik bulanan di seberang meja. "Handa." Ia mengulangi, lebih lirih, seperti nyanyian angin-angin musim semi.

"Ya," aku menjawab. Tetsuko menghentikan laju kuasnya yang patah-patah. Ia meregangkan lengan pelan-pelan—seolah takut sendi-sendinya lepas—dan membiarkan punggung bungkuknya beristirahat dalam naungan sandaran kursi. "Kisah fantasi itu omong kosong," cecarku. Sebagai penulis ternama yang menjadikan isu-isu kemanusiaan dan politik sebagai tema, aku jelas menganggap sihir sebagai khayalan anak-anak—dan penikmatnya harus dibangunkan. "Tapi aku sangat menyukaimu, jadi dengarkan," lanjutku mengakui kekalahan.

Tetsuko tersenyum, hangat dan manis, mengingkari kekelaman dalam rumah sepasang tua renta. "Aku ingin kisah romantis, dengan makhluk-makhluk ajaib dan sihir." Entah kebodohan macam apa yang berkeliaran dalam otak tua Tetsuko, tapi apapun itu telah berhasil menyalakan kilat dalam maniknya, mungkin cinta, kasih sayang, atau kisah panjang petualangan seorang pangeran demi tuan putrinya—melawan naga atau memberantas korupsi jika ingin lebih realistis.

Aku menutup majalah komik bulanan, lantas bangkit dari dudukan empuk di ruang tengah guna mengambil kertas bergaris dan pena. "Jadi, kisah romantis seperti apa yang kamu inginkan?" tanyaku setelah kembali duduk di seberang Tetsuko.

Nenek di hadapanku tertawa renyah, memamerkan sederet kekosongan pada gusi pucatnya. "Kamu benar-benar akan menulis kisah fantasi romantis?" ia menyangsikanku. "Handa, tulisanmu itu kaku sekali, aku hanya bercanda tadi, aku menyukaimu, meski kamu tidak bisa merangkai kalimat romantis." Aku menggeleng, menolak ucapan Tetsuko mentah-mentah.

"Jika hal-hal fantasi adalah nyata, maka pertemuan pertama kita bukan di halte, bukan pula saat kamu menginjak tali sepatumu dan menjatuhkan diri padaku." Tanganku menggores huruf demi huruf, menciptakan apa yang disebut-sebut kaku oleh Tetsuko.

"Lantas di mana?" Nenek tua itu bertanya tidak sabar. Ia mendekatkan kepalanya ke lembaran kertasku sambil menerima limpahan kasih sayang tidak terbatas—aku tidak akan menulis kecengengan-kecengengan jika tidak untuk Tetsuko.

"Mungkin di tempat pemberhentian kereta, ditarik oleh naga atau kadal, kamu tidak akan menginjak tali sepatu, tapi tersandung oleh makhluk bulat kecil berbulu pemakan debu, saat kamu terjatuh aku tidak akan membiarkanmu menindih tubuhku, aku akan bacakan mantra dengan cepat supaya kamu melayang, karena aku sangat pintar dan berbakat."

"Itu cukup romantis, lalu? Bagaimana dengan pernyataan cintamu dulu?" Aku terdiam tiga empat detik. Tetsuko benar-benar menua dan ditelan kepikunan, ia lupa siapa yang sejatinya menyatakan perasaan lebih dulu, tapi biar saja, selama ia senang, tersenyum, tertawa, dan tetap membuka mata. "Tunggu, aku akan menggambarkan pertemuan pertama kita." Ia kembali menyandar dan menggenggam peralatan perangnya, sementara aku melanjutkan.

"Kita akan bertemu lagi di pemberhentian kereta naga hingga akhirnya menyadari bahwa kita belajar di gedung yang sama, kamu adalah murid yang sangat pandai dalam menggambar lingkaran sihir, sementara aku menyusun kata untuk mantra-mantra."

"Bagaimana bentuk seragamnya?"

"Berenda dan dilengkapi dengan topi kerucut." Tetsuko kembali tertawa sebelum menambahkan bangun segitiga di atas kepalaku dan kepalanya dalam kertas warna-warni. "Kamu ingin dengar kelanjutannya?" Ia mengangguk.

"Bisa kamu buat lebih romantis lagi?" Gerak tangannya terhenti bersamaan dengan manik yang membelah tubuhku kecil-kecil.

"Kamu tahu, sejatinya tidak ada yang lebih romantis dari kisah sepasang kakek-nenek, apalagi jika keduanya duduk dalam satu meja ditemani cahaya matahari sore dari sela-sela jendela, apa kamu setuju?" Aku menggoda Tetsuko hingga nenek tua di hadapanku itu bersemu sambil menggigit bibir—meski ia tidak lagi memiliki gigi. "Ternyata kamu adalah tuan putri, lalu keberadaanku tidak lain untuk mengalahkan klan jahat yang menggerogoti negerimu, klan bayangan."

"Cepat sekali, tidak ada basa-basi," Tetsuko berkomentar. Lantas aku melanjutkan, lagi, lagi, dan lagi, hingga hari berubah petang, menggelapkan ruang tengah berisi meja persegi panjang, dua kursi empuk, serta dua manusia tua. "Apa kita tetap Tetsuko dan Handa?" Ia bertanya sebelum kegelapan menelan ruang tengah bulat-bulat. Agaknya ia lelah, sebab tarian tangannya semakin kaku dan wajahnya yang pucat hampir menyentuh kertas-kertas.

"Tidak, bagaimana kalau Sam dan Katie?" Sayangnya, aku tidak pernah mendapat persetujuanmu. Jadi aku bangkit dari dudukku sambil mengelap embun di sela-sela mata, menyalakan lampu dan menelepon cucuku. Ia—cucuku—datang tiga puluh menit setelahnya, lantas kami mengadakan upacara di hari berikutnya. Aku tidak punya kesempatan untuk bersedih, sebab seluruh waktuku dihabiskan untuk menyelesaikan karangan romantis kaku, menyerahkannya pada editor muda berbakat, dan memberi tahu seluruh Jepang bahwa ilustrasi kasar dalam buku terakhirku—yang melenceng jauh dari imej—diciptakan oleh nenek tua keriput bernama Tetsuko.

Selepas itu aku merenung di halte—tempat pertemuan pertamaku dengan Tetsuko—menunggu nenek ompong yang telah dikalahkan oleh waktu, takdir, kematian, juga perpisahan-perpisahan datang menjemput. Lama sekali, hingga suara merdu menanyakan apakah aku hidup dengan bahagia. Tentu aku menjawab dengan amat sangat berbahagia sambil menambahkan nama Tetsuko di sana-sini—sebab ia yang telah membahagiakan. Suara itu lantas memberi pilihan untuk diam dalam ketenangan atau bersua kembali dengan Tetsuko, dan tanpa pikir panjang aku menerjunkan diri pada aspal-aspal serta bus kota. Tubuhku tua dan sakit, terpental ke sana-kemari, hingga kadal raksasa penarik gerobak nampak di depan mata.

"Bukan naga ternyata, tapi kadal." Aku bicara tanpa sadar sebelum menatap sekitar dan menemukan orang-orang dewasa berterbangan di sana-sini. Bangunan-bangunan klasik eropa terpampang beserta jalanan berpaving kotak-kotak, lantas di seberang sana papan pengumuman terisi penuh dengan selebaran-selebaran bergambar pemimpin klan bayangan—persis seperti yang digambarkan oleh Tetsuko—dengan sekian keping emas sebagai harga. Aku kebingungan dan hendak berteriak, tapi tatapan seorang gadis muda di samping papan pengumuman menjernihkan keadaan. Ia berlari setelahnya, mendekatiku hingga tersandung makhluk kecil pemakan debu. Lantas bibirku mengucap mantra, melayangkan tubuh si gadis beserta topi kerucutnya. "Jadi, siapa namamu, Tuan Putri?"

GenFest 2020: Romance x IsekaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang