rain on me

103 16 0
                                    

"Kamu mau ke mana?"

Alea menoleh. Dilihatnya Edgar menurunkan buku yang menutupi wajah seraya membenarkan posisi duduk. Bertanya dengan nada lembut. Menyiratkan perhatian.

"Ke warung bentar." Alea tersenyum. "Kamu mau titip sesuatu?"

"Penting banget, kah?" Edgar bertanya lagi. Kali ini diiringi raut sedikit khawatir. Sudut matanya melirik ke luar jendela. Hujan lebat sekali. "Aku aja, deh, Bae. Mau beli apa memang?" Edgar berdiri dan menghampiri Alea.

Alea menggeleng. "Nggak usah. Deket aja, kok. Ada beberapa barang yang kamu nggak tau. Rempong, ntar."

"Kalau cuma stok pembalut, sih, nggak masalah. Santai aja, Bae." Edgar mengecup dahi Alea dengan santai. "Udah. Aku aja sini."

"Bukan itu." Alea tergelak. "Biasa. Bumbu dapur. Udah, kamu stay aja. Lagi banyak kerjaan, 'kan?" Dikecupnya lembut bibir Edgar. Plus, satu gigitan kecil. Menggoda.

"Aku antar pakai mobil gimana?" Edgar mengangkat tangan, menekan kepala Alea yang berniat menjauh. "Hujan, loh." Ciuman kedua. Kali ini lebih dalam.

"Udah aku bilang warungnya deket. Jalan kaki bentar udah nyampe, kok." Alea tersentak kecil saat merasakan tangan Edgar menyusup. Sempat mengusap perut ratanya sebelum Alea menepuk, memperingatkan. "Aku harus pergi biar nggak makin lebat," bisiknya.

Edgar menyeringai. "Aku tunggu di kamar. Begitu kamu pulang—"

"Ah, shut up!" Alea berbalik. Kedua belah pipinya memanas. Wajahnya bersemu malu. Buru-buru ia menyambar salah satu payung seraya membuka pintu. "See you, Bae," katanya, berpamitan.

Sejenak, Alea mendongak. Hujan kali ini benar-benar lebat. Lebih deras dari kemarin. Sesekali terlihat petir menyambar-nyambar, diiringi guntur tak lama kemudian. Ditambah, terpaan angin lumayan kencang.

Dengan sigap, ia memayungi diri. Berjalan keluar dari area beranda dan halaman rumah. Warung yang dituju ada di sebelah kanan. Kira-kira lima menit dengan berjalan. Bisa Alea rasakan sesekali percik air mengenai kaki.

"Aku tunggu di kamar. Begitu kamu pulang—"

Sontak, wajah Alea memerah. Ya, ampun! Kenapa pula ia tiba-tiba terpikir katakata Edgar barusan? Ditutupnya mulut dengan sebelah tangan. Menyembunyikan senyam-senyum tidak jelas saat berpapasan dengan tetangga yang menyapa sopan.

Buru-buru Alea menggeleng. Mempercepat langkah menuju tujuan meski tak memungkiri ada sensasi aneh di dalam dada ketika memikirkannya. Sensasi deg-degan. Bercampur senang.

Mereka masih belum menikah. Sudah berpacaran sejak dua tahun lalu. Tahun depan, Bae. Begitu kata Edgar ketika Alea bertanya kapan mereka akan menjajaki hubungan lebih serius. Pernikahan. Satu kata yang sakral. Kata yang akan menyempurnakan hubungan mereka.

Alea percaya dengan Edgar, dan ia rasa Edgar pun begitu. Hal itu pula yang membuat satu ide tercetus: tinggal bersama, meski belum menikah. Toh, pada akhirnya, mereka akan menjadi suami-istri. Begitu kata Edgar meyakinkan. Alea tergelak, menyetujui usulan tersebut sebelum Edgar menciumnya dan berakhir dengan malam yang panas.

Layaknya malam-malam sebelumnya.

Tidak hanya malam, sih. Kadang juga pada siang hari. Seperti hari ini. Tepat tengah hari nanti, Edgar akan berangkat. Ke luar kota. Beberapa hari. Untuk urusan pekerjaan. Alea mengangguk ketika Edgar menyampaikan. Toh, ia sudah sering ditinggal pergi. Tidak masalah asal saling memberi kabar.

Satu getar halus membuyarkan lamunan Alea. Dirogohnya saku celana. Sejenak, ia menatap ponsel di tangan. Baru sadar itu bukan ponselnya. Milik Edgar. Pasti ia salah bawa.

GenFest 2020: Romance x IsekaiWhere stories live. Discover now