Part 4

1.8K 91 1
                                    

Pengantin Pengganti

"Masuk penjara? Zain, sorry ya gue nggak pernah melakukan tindakan kriminal. Jangan mimpi lo bisa masukin gue ke penjara!" tegasku.

Dia malah tertawa meremehkan. Kemudian meminum kopi yang ia pesan. Mataku terus memperhatikan gerak-geriknya yang makin aneh. Dia bukan Zain yang kukenal, atau memang ini Zain yang asli.

"Jangan sok bodoh. Pembunuhan berencana, itu bukan tindakan kriminal?" tanyanya balik.

Aku makin tak paham dengan perkataannya. Membunuh kecoa saja aku tak berani, bagaimana bisa melakukan pembunuhan berencana pada orang lain.

"Aku nggak bunuh siapapun."

"Tapi kamu ngebunuh Arumi!" tuduhnya.

Aku ternganga mendengar tuduhannya itu. Memegang kepala yang terasa sakit. Apa katanya tadi? Aku membunuh Arumi, ya begitu. Rasanya aku ingin tertawa kemudian beteriak bahwa Zain itu gila. Jangan-jangan bukan aku yang gegar otak, tapi pria di depanku ini.

Dimana logikanya menuduhku membunuh Arumi. Aku ini sahabatnya, tak mungkin setega dan sejahat itu sampai melakukan pembunuhan berencana. Dan jika memang itu rencanaku, lebih baik aku duduk manis menunggu hasil ketimbang ikut dalam tabrakan yang berakhir harus dirawat di rumah sakit.

"Udah ngelawaknya?" Aku tertawa pelan.

Wajahnya mengerikan, kutebak emosinya sudah mencapai ubun-ubun dan untungnya kafe ini cukup ramai walau jarak antara meja berjauhan. Jadi, Zain tidak mungkin mencekikku di sini.

"Gue pikir sebagai news anchor, otak lo itu lebih pintar daripada orang lain. Nyatanya sama aja begonya. Lo pikir pake logika lo, Zain! Kalau memang gue yang merencanakan itu semua, buat apa gue ikut di mobil itu dan bikin gue hampir mati juga!" jelasku.

Dia diam sambil menatapku. Mengerikan, aku ingin mengakhiri obrolan ini dan pulang lalu tidur. Obrolan kami tidak bisa diterima di otak karena tidak masuk akal.

"Penjahat seperti kamu mana mau mengaku. Kamu atur sedemikian rupa sehingga kecelakaan itu cuma Arumi yang meninggal."

Dia kekeuh dengan tuduhannya. Tetap aku yang dituduh sebagai dalang dari semua ini. Hanin, entah dosa apa yang pernah aku lakukan hingga berada di masalah seperti ini.

"Bukan gue, Zain. Hidup dan mati itu ada di tangan Tuhan. Kalau memang Arumi ditakdirkan meninggal, lo harus terima. Bukan cuma lo doang yang sedih, gue juga. Gue sahabatnya, Zain."

Tetesan air mata membasahi wajahku. Rasanya sakit sekali ketika Zain menuduhku yang membunuh Arumi. Sakit sekali ketika dia merasa menjadi manusia yang paling sedih atas kepergian Arumi. Padahal aku juga belum bisa mengikhlaskan sahabatku itu.

"Jangan harap saya kasihan dengan kamu. Hapus air matamu itu." Dia menyodorkan kotak tisu.

Aku mengambil tisu kemudian mengelap wajahku. Setelah ini apa? Apa yang dia mau. Menikah denganku bukan solusi yang tepat. Lebih baik meluruskan semua masalah ini. Aku juga tidak berani berurusan dengan hukum karena sangat buta dengan dunia itu.

"Menikahlah dengan saya, Hanin. Kamu tidak kasian dengan orangtuamu kalau mereka tahu anak semata wayangnya masuk penjara atas kasus pembunuhan berencana?"

Pengantin PenggantiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora