Part 5

1.7K 91 0
                                    

Pengantin Pengganti

Setelah Ranti, Mama ikut-ikutan mendukung pernikahan aku dan Zain. Mau tahu hal gila apa lagi yang dilakukan pria itu? Dia datang ke Bandung untuk bertemu Mama, katanya meminta restu pernikahan kami. Dia gila dan sudah seharusnya masuk rumah sakit jiwa.

Perlu penanganan dari para dokter. Aku maklum jika dirinya sedang bersedih, tapi bukan begini cara untuk melampiaskan kesedihannya. Sampai sekarang aku tidak mengerti mengapa ia mengajakku menikah. Akan kah aku menjadi pelampiasannya? Oh tidak bisa begini. Jangan main-main dengan seorang Hanin.

Handphoneku berdering, sebuah panggilan masuk dari Mama. Pasti mau membicarakan tentang Zain, tepatnya Mama ingin meyakinkanku untuk menikah dengan pria itu. Belum tahu saja kalau pria yang terlihat baik itu ternyata busuk juga.

"Kenapa lagi, Ma? Hanin nggak mau nikah sama dia," ucapku.

"Hanin ..., Dia serius sama kamu, Nak. Kalau nggak serius mana mungkin jauh-jauh ke Bandung buat minta restu. Jangan sia-siakan kesempatan ini, Nin."

Maksudnya aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan menikah dengan Zain? Hahaha, maaf saja. Walaupun rasa suka terhadapnya belum benar-benar pudar, aku tak akan mau menikah dengannya. Motifnya untuk menikahiku belum terkuak.

"Ma, jangan main-main sama masa depan. Kita nggak kenal Zain itu siapa. Berteman dengannya bukan berarti Hanin tau dia siapa."

Mama berdeham, aku tahu semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Zain menjadi calon yang tepat menurut para tetua sebab dia sudah mapan, masa depan cerah, dan jangan lupakan wajahnya yang cukup tampan.

"Dicoba dulu, Hanin ...," lirih Mama.

"Udah ya, Ma? Hanin pusing banget." Aku mematikan sambungan telpon kemudian menenggelamkan wajah pada bantal.

Dicoba dulu, Hanin. Semua orang berkata begitu. Padahal masa depan bukan untuk dicoba-coba apalagi dipermainkan. Aku tak mau membuat kesalahan yang fatal. Aku bukannya tidak mau menikah. Aku mau, tapi dengan orang yang cocok denganku. Aku dan Zain tidak cocok, dia tidak terbiasa dengan wanita cerewet. Aku tidak terbiasa dengan pria dingin sepertinya.

Daripada memikirkan tentang Zain lagi dan membuatku menjadi lapar, akhirnya kuputuskan untuk memesan makanan secara online. Jakarta tidak pernah punya cuaca yang bersahabat denganku.

Setengah jam menunggu pesanan, akhirnya sang driver sudah dekat dengan apartement. Aku memintanya untuk menunggu di lobby karena sekalian ingin memberi Pak Satpam satu cup kopi.

Membuka pintu apartement aku dikejutkan dengan penampakan Zain yang hendak memencet bel. Aku hampir menutup pintu lagi tapi tenaganya lebih kuat mendorong pintu itu. Ya, kami saling dorong. Aku tak mau bertemu dengannya, dan dia yang memaksa bertemu.

Daripada terjatuh dan berakhir badanku sakit,  akhirnya aku mengalah. Kubiarkan dia masuk ke dalam. Seperti biasa, kemejanya selalu rapi. Seperti disetrika berulang-ulang kali. Walau insiden dorong-dorongan pintu tadi pun tak membuat kemeja itu kumal.

"Ada keperluan apa lo ke sini?" tanyaku.

"Saya cuma mau lihat tempat tinggal calon istri. Ternyata lumayan bersih buat seorang Hanin," jawabnya.

Dia masuk tanpa permisi, menjelajah tiap ruangan apartementku. Yang membuatku tak habis pikir, dia juga berkomentar tentang tata letak sofa yang menurutnya salah, pot bunga yang memakan banyak tempat, dan masih banyak lagi. Dia ini news anchor atau seorang desain interior?

"Sudah kelilingnya? Sekarang kamu pulang!" Aku menarik tangannya tapi ditepis dengan kasar.

"Jangan pegang-pegang saya, saya jijik dipegang sama pembunuh," katanya sambil membersihkan tangannya dengan tisu.

"Siapa yang pembunuh? Jangan asal ngomong!"

"Begini ya ternyata, mengakunya sahabat tapi membunuh sahabat sendiri. Terus akting merasa paling disakiti. Kamu sudah cocok jadi artis dan main film, Nin."

Dia terus membahas tentang pembunuhan. Tapi dia tidak pernah menjelaskan permasalahannya. Zain selalu mengatai kalau aku cuma akting. Tapi aku memang tidak tahu apa-apa. Ya Tuhan, dia mengesalkan sekali.

"Zain! Percuma lo mau ngomong gue pembunuh kek, atau apa kek. Semua omongan lo itu cuma sampah. Lo nggak punya bukti apapun. Lo juga nggak bisa ngejelasinnya kan ke gue? Pengecut emang."

"Kalau lo sakit hati dan nggak terima Arumi meninggal, bukan gini caranya!"

Tepat saat aku berteriak di depan wajahnya, tangannya juga melayang menamparku. Perih sekali. Aku tak pernah ditampar oleh siapapun, semarah-marahnya Mama, dia tidak pernah berlaku kasar padaku. Ini seorang Zain, pria yang bukan siapa-siapaku tapi dengan kasarnya menampar pipiku.

"Jaga ucapanmu, Hanin! Kamu yang membuat Arumi meninggal maka kamu juga yang harus bertanggung jawab atas semua yang kamu lakukan. Termasuk pernikahan itu, kamu harus menggantikan Arumi."

Aku tak bisa bernafas ketika tangannya mencekikku. Kuinjak kakinya dengan sekuat tenaga akhirnya ia melepaskan cengkraman di leher. Setan! Dia sudah sebelas dua belas dengan makhluk itu.

"Jangan harap kamu bisa lepas dari saya. Kamu harus merasakan apa yang Arumi rasakan!" tegas Zain.

Aku takut, takut sekali. Teringat beberapa tahun yang lalu mantanku juga begini. Bahkan lebih sadis. Bayang-bayang itu selalu menghantuiku, susah sekali untuk melupakannya. Dan hari ini terulang kembali, dengan kejadian yang sama tapi orang yang berbeda.

Aku menyerang Zain membabi buta, sejujurnya badanku lemah karena takut sekali. Jelas dia bisa menahan tanganku yang ingin mencakar wajahnya. Rasa takut memang sangat besar, tapi aku tidak boleh terlihat lemah di depannya.

"Jangan bersikap kayak preman walau kamu itu preman. Bersikap baik di depan saya, Hanin. Besok, kita ke rumah mama kamu. Saya tidak menerima penolakan, karena ini perintah."

Setelah menampar dan mencekikku, sekarang dia malah memelukku. Aku tidak mengerti dengan dirinya. Dibilang cinta juga bukan. Mana ada orang mencintai tapi menyakiti. Dibilang balas dendam, aku tak tahu dia dendam apa denganku.

"Kalau diam begini kan mirip Arumi." Dia menepuk-nepuk pelan kepalaku setelah ia pergi tanpa berpamitan.

Badanku merosot saking lemasnya. Yang tadi, mengerikan sekali. Aku tidak boleh menangis, tidak boleh. Tapi air mata malah berkhianat, dia meluncur sesuka hati tanpa disuruh.

Bersambung ....

Maaf ya klo ada typo tolong dikoreksi, palaku masih pusing banget jadi seadanya aja nulis🤧🤧

Semoga suka....

Pengantin PenggantiWhere stories live. Discover now