Bab 27

2.1K 75 4
                                    

Pengantin Pengganti

#pengantin_pengganti

Bagian 27

Ketukan palu menandakan pisahnya hubunganku dengan Zain. Seketika rasa lega menguar dari dalam hati. Rasanya seperti keluar dari ruangan sempit lalu meraup banyak oksigen, begitu lega dan segar. Aku takt ahu bagaimana perasaan Zain, hal itu bukan urusanku.

Hubungan kami memang mulai membaik, tapi sebisa mungkin aku membatasi diri dan tak ingin terlalu berinteraksi dengannya. Cobalah menjadi seorang Hanin, pasti sulit untuk memaafkan serta melupakan semua ini. Zain mungkin hanya salah paham, tapi dari sana aku tahu jika pria seperti dirinya sedang marah Tindakan apa yang akan ia ambil.

Aku bersyukur perceraian kami berjalan lancar. Tak bisa dipungkiri aku menunggu-nunggu hari ini dengan tak sabar. Sebelum mengurus bekras perceraian aku memohon pada Zain agar ia bisa diajak Kerjasama dan pada akhirnya siding kami tak perlu menunggu lama.

Aku juga tak tahu apakah Zain sudah mengurus dirinya untuk mengikuti rehabilitasi. Juur aku tak mau tahu tentang dirinya. Sebisa mungkin aku menutup diri untuk mengetahui hal-hal seperti itu. Karena sekarang aku harus lebih memperdulikan diriku.

Setelah sidang selesai, aku meninggalkan ruangan itu di temani oleh Mama. Aku sudah menyiapkan tiket liburan. Kata Mama aku harus liburan sebelum Kembali beraktifitas Kembali.

"Hanin," panggil Zain membuat langkahku terhenti. Aku menoleh ke arahnya, kali ini apalagi? Bukan kah kami telah berpisah dan tak ada urusan lagi?

"Ini, saya Cuma mau kasih ini. Surat dari Arumi." Zain menyerahkan amplop berwarna biru muda kepadaku.

Aku mengambil amplop itu kemudian melihat tulisan itu memang tulisan tangan Arumi.

"Makasih. Udah sampai sini aja ya, Zain? Jangan pernah mencoba untuk berkomunikasi lagi sama gue. Kalau lo mau lihat orang yang lo cinta tetap waras, biarkan gue dengan hidup gue dan jangan pernah mencoba untuk masuk Kembali."

Kata-kata terakhir yang bisa kuucapkan untuk sang mantan suami. Zain terdiam kemudian mengangguk, setelah melihat responnya aku Kembali berjalan sambil menggandeng Mama. Aku sudah mewanti-wanti Mama untuk diam saja bila ingin menemaniku.

"Nin ...," panggil Mama.

"Ma, ingatkan Mama udah janji untuk diam aja?"

"Bukan, kita salah mobil, Nin!"

Ya Tuhan, saking errornya otak ini aku sampai salah mobil. Pantas dari tadi saat ingin membuka pintu mobil tapi tak bisa. Mama tertawa kemudian mengambil kunci mobil dari tanganku.

"Mau refreshing kan? Biar Mama yang nyetir."

Mataku melotot mendengar Mama ingin menyetir mobil. Entah sudah berapa tahun dia tidak pernah lagi memegang stir mobil. "Nggak, Ma. Hanin aja yang nyetir," tolakku.

"Jangan remehkan orangtua ya! Umur boleh tua, tapi jiwa masih berapi-api."

Kalau begini caranya aku sudah tak bisa menolaknya. Aku hanya bisa berdoa semoga diperjalanan nanti kami selamat sampai rumah. Tiba-tiba aku menangis, entah mengapa rasanya kali ini aku harus menangis, mungkin ini tangisan yang terakhir kalinya. Mungkin.

"Loh kenapa, Nin?" tanya Mama.

"Nggak tahu, Ma. Tapi kayaknya Hanin harus nangis buat buang sial!" jawabku dengan nyaring sambil meraung.

Mama mengangguk paham kemudian menginjak gas dengan sekuat tenaga membuatku beteriak ketakutan tapi Mama malah tertawa terbaha-bahak. Kadang-kadang orangtua bisa lebih gila daripada yang muda.

Sesampainya di apartement aku langsung masuk ke kamar, sedangkan Mama memanaskan makanan yang kami beli di jalan pulang tadi. Saatku mencari handphone tak sengaja memegang amplop yang diberikan Zain tadi. Karena rasa ingin tahu yang besar kuambil amplop itu.

Untuk Hanin, my best of bestfriend.

Aku tersenyum membaca tulisan itu.

Hanin, saat kamu baca surat ini mungkin aku dan Zain sudah menikah dan pindah ke luar negeri. Maaf nggak bilang kalau kami akan pindah setelah menikah.

Nin, aku yang memohon pada Zain agar kami pindah ke luar negeri, karena aku ingin dia melupakan kamu dan hidup bahagia Bersama istrinya. Bukan salahmu membuat Zain jatuh cinta sama kamu. Bukan salah Zain juga mencintai kamu. Mungkin salahku memaksakan pernikahan ini.

Tapi kamu harus tahu bagaimanapun dirimu, kamu tetap sahabat terbaikku. Nin, aku bakal kangen berat sama kamu yang jutek abis!!! Doain pernikahan ini bahagia ya. Semoga selalu bahagia dan semoga kamu bisa menemukan jodohmu. Jangan cuek-cuek ya!

With love

Arumi.

Arumi .... Aku sudah tak bisa berkata-kata lagi. Dia sudah merancang kehidupannya Bersama Zain tapi takdir berkata lain. Mungkin ini yang terbaik untuk kami semua. Pada akhirnya mau sebagus apapun rencana yang kita buat tetapi jika Tuhan berkata tidak, maka ya sudahlah.

Kumasukkan surat itu ke dalam amplop kemudian menyimpannya. Setelah ini aku harus melupakan kenangan-kenangan buruk yang beberapa bulan ini menghantui diriku. Beberapa bulan yang menjungkir balikkan kehidupanku.

Pada akhirnya aku menyadari sebuah hal bahwa orang yang dianggap sebagai sahabat bisa menjadi pengkhianat yang paling menjijikan. Aku tak habis pikir denga napa yang telah Ranti lakukan sampai sekarang. Otakku bahkan tak sampai memikirkannya.

"Nin, makan dulu," suara Mama menginterupsi pikiranku.

"Iya, bentar, Ma."

Aku keluar kamar dan menghampiri Mama yang sedang menata makan siang kami. Sebenarnya Mama kecewa tidak ya dengan anaknya ini? Di umur matang seperti ini aku bahkan belum bisa membahagiakannya, yang ada aku terus-terusan membuat susah dirinya.

"Ayo makan," katanya.

"Ma, Hanin mau minta maaf," ucapku.

"Aduh minta maaf apalagi sih?"

"Maaf ya, Ma, kalau selama ini Hanin selalu nyusahin Mama. Hanin belum bisa bahagiakan Mama, belum bisa kayak anak-anak temen Mama yang udah ngasih cucu dan punya keluarga kecil yang bahagia. Hanin terus-terusan kena masalah dan berakhir melibatkan Mama," jelasku.

Mama langsung memeluk dan menepuk-nepuk bahuku. "Nggak ada seorang Ibu yang membiarkan anaknya terjebak dalam sebuah masalah. Semua ibu akan selalu memebantu dan mensupport anaknya mau bagaimanapun anaknya, Nin. Mama nggak peduli teman mama punya sepuluh cucu sedangkan mama belum punya. Bagi mama yang penting Hanin bahagia. Mama nggak pernah nutut Hanin untuk harus ini dan itu, nggak Nin. Kata Mama kan tadi, yang penting kamu bahagia."

Betapa beruntungnya aku mempunyai orangtua sebaik dan sepengertian Mama. Mungkin aku memang tak berutung dalam kisah cinta tapi aku beruntung punya Mama seperti dia.

"Mama laper, makan dulu lah nanti disambung melow-melownya." Mama melepas pelukan kemudian beralih ke tempat duduk.

Sudahlah, kesedihan ini cukup sampai di sini. Seorang Hanin adalah wanita kuat yang mampu bangkit dalam situasi apapun. So, Hanin are you ready with your life?

TAMAT

Sekian cerita Hanin. Psstt.... Ada ektsra partnya kok, mungkin besok di upload. Nantikan terus ya!

Terima kasih untuk para pembaca yang sudah rela menunggu cerita ini. Terima kasih untuk like dan komen di sepanjang cerita Hanin. Oh iya, saya akan upload cerita ini di KBM APP. Jika kalian mau membaca ulang bisa ke sana ya. Nah setelah cerita ini, nantikan cerita terbaru yang pastinya saya lagi-lagi mencoba di genre romance-sad! Semoga berhasil deh.

Sekali lagi terima kasih!!!

With love

Alfina. 

Pengantin PenggantiWhere stories live. Discover now