Part 24

1.7K 79 4
                                    

Pengantin Pengganti

Pagi ini aku mendapatkan kabar kalau kantor wedding organizer sudah ditutup dan diamankan dengan membuat batas menggunakan tanda garis polisi. Artinya kasus terbaru ini sudah ditangani, aku sedikit merasa lega. Tama sudah pulang beberapa menit yang lalu, katanya nanti dia akan menjemputku untuk ke kantor polisi.

Kini aku hanyar berdua di apartement, ya siapa lagi kalau bukan bersana Zain. Dia baru saja selesai mandi, wajahya masih lebam-lebam. Aku belum mengobrol dengannya apakah dia akan pulang hari ini atau menunggu sampai wajahnya membaik.

Zain duduk di seberangku, baguslah dia sadar kalau di antara kami memang harus ada jarak. Menyeruput kopi yang ia buat sendiri kemudian menatapku.

"Mana pria yang subuh tadi saya lihat?" tanyanya.

"Sudah pulang," jawabku lalu mengalihkan tatapan agar tak bertemu dengan tatapannya.

Zain berdeham sambil mengangguk. Tumben dia tidak mau tahu tentang siapa Tama, biasanya kan dia super kepo dengan orang-orang didekatku.

"Kapan pulang?"

"Nanti siang."

"Kok siang?"

"Terus kamu maunya saya pulang nanti malam saja? Nemenin kamu di sini?" tanyanya bertubi-tubi membuatku mendengus kasar.

Sekali menyebalkan tetap menyebalkan. Otaknya itu sempat saja berpikir bahwa aku minta ditemani olehnya. Padahal aku bertanya hanya untuk memastikan saja. Seharusnya aku memang tak perlu berbicara padanya.

"Maksud gue ngapain nunggu siang, mending pagi ini," balasku.

"Saya sekarang pengangguran, jadi punya banyak waktu."

"Gue ada urusan ke kantor polisi mending lo pulang aja."

"Saya ikut." Zain terlihat antusias ketika mengatakan bahwa ia ingin ikut ke kantor polisi, padahal aku tidak ingin dirinya ikut campur.

"Nggak usah. Kalau lo ke kantor polisi nanti mereka tahu lo candu narkoba," tolakku.

Zain terdiam menatapku tak percaya. "Saya tahu akan hal itu, tapi status saya masih menjadi suami sah kamu. Wajar kalau saya khawatir denganmu." Aku melihat sorot matanya terpancar ada amarah dan kekecewaan. Memangnya ada yang salah dari perkataanku?

"Ingat, kita sudah sepakat untuk berpisah. Jangan ikut campur urusan gue." balasku tajam lalu meninggalkannya dan masuk ke kamar.

Aku sudah salah bersikap baik pada Zain. Seharusnya malam tadi kuantar pulang saja dia ke rumah orangtuanya. Drama malam tadi tidak akan terjadi kalau kami tidak satu kamar. Aku juga bodoh sekali kenapa mau-mau saja mengobati lukanya dan malah berakibat buruk dengan dia yang mengira aku memberikannya harapan.

Sudah kutegaskan di antara kami tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Kalau aku berbuat baik seharusnya dia sadar dan sungkan mengingat berapa banyak kejahatan yang telah ia lakukan padaku. Namun Zain bukanlah orang yang berpikir begitu.

Zain masuk ke dalam kamar lalu mengambil handphonenya dan duduk di pinggir kasur. Kulihat dia mengambil tas kerja dan menaruh baju kotornya ke dalam sana.

"Lo tahu nggak alasan gue nggak bisa sama-sama lagi?" tanyaku membuatnya menghentikan aktifitasnya. Dia menoleh menatapku sambil mengernyit.

"Gue udah terlalu banyak nerima rasa sakit yang lo kasih. Lo kira gue nggak sakit hati pas dikata-katain seorang pembunuh? Oh jangan lupakan satu hal, lo juga sudah menyakiti fisik gue. Tangan kotor lo itu udah pernah nampar gue. Semua perkataan yang keluar dari mulut lo nggak ada yang bisa gue maafkan. Gue sadar Zain, kalau manusia nggak ada yang sempurna dan nggak memaafkan lo itu adalah ketidak sempurnaan gue."

Pengantin PenggantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang