Pengantin Pengganti
"Zain, jaga Hanin baik-baik ya. Mama percaya sama kamu. Kalau nanti ada masalah kalian harus selesaikan dengan kepala dingin," ucap Mama seraya menatap Zain.
Belum berumah tangga saja kami sudah bermasalah. Ah bukan aku, tapi Zain yang punya masalah padaku. Tapi dia tidak mau menjelaskan secara rinci dan sukanya menuduh. Biarkan saja dia berkelahi dengan pikirannya sendiri.
"Pasti, Ma. Saya nggak akan kecewakan Mama," balasnya.
Plastik! Aku perlu plastik untuk menampung muntahan. Demi Tuhan dia berlagak baik dan seakan serius dengan pernikahan ini. Dia aktor dalam drama yang ia buat.
"Hanin juga ya, harus sabar menghadapi suami nantinya. Jangan emosian terus ...."
Tidak janji, manusia yang akan menjadi suamiku bukan lah manusia baik-baik. Ah sudah ribuan kali aku mengatakan kalau dia sebelas dua belas dengan iblis. Aku tidak kasar loh ya, memang kenyataannya begitu.
Zain mengenggam tanganku kemudian tersenyum. "Saya akan selalu mebimbing Hanin, Ma." Manis sekalikan ucapannya? Kadang yang terlalu manis itu banyak racunnya.
"Yasudah, kalian atur pernikahan itu. Mama nggak bisa ke Jakarta sekarang, badan lagi nggak kuat." Mama tertawa sambil memegangi pingganggnya yang sering pegal-pegal.
"Jangan dipaksakan, Ma. Nanti kalau sudah dekat harinya bakal saya jemput," kata Zain.
Oh artinya lamaran Zain diterima oleh Mama? Jelas saja, untuk apa aku bingung. Tanpa dilamarpub sepertinya Mama akan merelakan anak gadisnya dinikahi oleh pria keturunan arab itu.
Zain pamit ke belakang untuk mengambil wudhu. Kutemani dia karena ingin melakukan sesuatu. Sebelum berwudhu, dia meletakkan handphonenya di meja dekat TV. Aku mengincar handphonenya itu, kalau aku mendapatkannya, semua teka-teki ini akan terpecahkan.
"Ngapain masih di sini? Mau temani saya sampai masuk kamar mandi?" tanyanya dengan wajah galaknya itu. Aku langsung melipir meninggalkanya.
Suara percikan air menandakan ia tengah berwudhu, cepat-cepat aku mengecek handphonenya. Sial! Dia mengunci handphonenya dengan sidik jari. Ingin sekali kuhempaskan benda ini. Kuletakkan handphone itu ke meja kemudian berlari menuju kamar mandi.
"Kenapa masih di sini? Kamu nilik saya?"
"Idih! Pede banget lo. Otak lo tuh emang beneran udah konslet," balasku sewot.
Dia pergi meninggalkanku menuju ruang sholat. Di rumah ini, ada empat kamar. Tiga kamar tidur dan satu kamar dijadikan untuk ruangan sholat. Mama bilang buat apa punya banyak kamar tapi tidak ada yang menempati. Itu sindiran buatku yang jarang pulang ke rumah.
"Kamu nggak sholat?" tanya Mama yang tiba-tiba sudah berada di dekatku yang tengah berdiri mengawasi Zain.
"Nggak, Ma, lagi datang tamu." Aku menggeleng.
"Nak, mencari lelaki untuk dijadikan suami itu memang harus selektif. Harus yang taat beribadat, mapan, dan tidak ringan tangan. Untung lagi kalau dia sayang sama kamu. Mama bukannya mau memuji Zain terus menerus tapi dia memang baik untukmu. Lihat dia dengan beraninya datang ke sini untuk minta izin buat ngelamar kamu. Ya walaupun nggak wah kayak orang-orang. Tapi pernikahan ini sangat Mama harapkan, Nin."
Ah, Mama .... Ekspetasinya terlalu tinggi pada seorang Zain. Mungkin memang pria itu taat beribadat dan mapan, tapi untuk tidak ringan tangan, dia tidak sama sekali. Belum menjadi suami saja dia sudah berani menamparku. Aku tahu telah salah memilih jalan, tapi kalau tidak begini ..., kapan masalah ini akan tuntas?
Aku memeluk Mama dengan erat. Ingin sekali berlindung di balik tubuhnya dan membiarkan dia menuntaskan semua masalah ini. Tapi aku sadar, kini bukan anak kecil lagi. Menjadi orang dewasa memang rumit, harus bisa semuanya sendiri.
"Kenapa jadi melow gini sih?" tanyaku lalu melepas pelukan. Mama tertawa kemudian memukul lenganku.
"Jangan lupa belajar masak!" balas Mama lalu menyentil keningku.
Sejujurnya aku sudah bisa masak tapi tidak ingin memberi tahu Mama. Nanti dia malah kepo dengan masakanku. Aku juga belum siap menerima kritikan pedas. Biarkan aku yang memasak dan menikmatinya.
∆∆∆
Mama menyuruh kami untuk bermalam di rumah, tapi Zain dengan halusnya menolak. Dia bilang besok harus bekerja, padahal sama sekali tidak. Dia berlagak baik di depan Mama padahal di belakang dia memaksaku untuk mengikuti perkataannya.
Akhirnya kami pulang. Mama memeluk Zain dan berbisik, entah membisiki apa. Kemudian beralih padaku. Ya, selalu menangis padahal Jakarta-Bandung itu dekat. Seakan-akan anaknya akan pergi jauh.
"Hati-hati di jalan ya, Sayang," ucap Mama.
"Aduh, Ma ..., jangan nangis gitu dong. Nanti juga balik lagi ke sini," balasku sambil tertawa.
Setelah cipika-cipiki dan berpamitan, mobil kami meninggalkan pekarangan rumah Mama. Huh, aku tidak sanggup bertemu dengan Jakarta lagi. Rasanya ingin sekali berkata pada Zain untuk memberhentikan mobil ini lalu menurunkanku, dan membiarkanku kembali ke rumah Mama.
"Loh kok berhenti?" tanyaku keheranan.
"Gantian nyetirnya, kamu mau bikin saya encok?" Dia menatapku dengan sengit.
"Nggak bisa. Gue nggak bawa sendal, gue nggak bisa nyetir sedangkan kaki gue make high heels," tolakku.
Zain keluar dari mobil dan kemudian membuka pintu sebelah. Dia menarikku paksa. Ya ampun! Ini kan jalanan, dia tidak berpikir kalau saja aku beteriak dia akan dapat masalah. Dengan berat hati aku keluar dari mobil.
"Jangan jadi wanita manja, pembunuh." Dia menepuk bahuku dua kali kemudian menutup pintu mobil.
Arrgh! Kalau kutendang mobil ini pasti dia akan kesetanan dan pada akhirnya malah mencekikku. Aku tidak mau mati muda, terpaksa aku masuk ke kursi pengemudi kemudian menancap gas melaju ke jalanan.
Dia salah sekali menyuruhku menyetir mobil karena aku ini mantan pembalap. Berkali-kali dia mengumpat saat aku membawa mobilnya ugal-ugalan. Ya kalau mati kan juga bersama Zain si keturunan arab ini.
"Stop! Stop! Nggak waras kamu!" teriaknya.
Kuinjak rem dengan tiba-tiba, kemudian tersenyum menatapnya. "Kenapa?" tanyaku.
"Kamu mau kita mati hari ini?" tanyanya balik.
"Nggak, tapi boleh juga," jawabku.
"Bawa mobilnya yang benar! Atau kamu saya turunkan di sini!" bentaknya.
Ya, oke. Aku akan menyetir dengan sangat pelan. 20km/jam, sangat pelan kan? Dia tidak ribut juga tidak protes tapi wajahnya sudah tertekuk dan siap dilipat-lipat. Lagian siapa suruh menyuruhku menyetir mobil?
"Hanin!" pekiknya.
Cukup main-mainnya, kalau begini terus kami bisa sampai esok hari. Akhirnya aku menyetir dengan normal. Dia diam kemudian tertidur. Enak sekali sedangkan aku malah menyetir sampai sakit pinggang.
Di jalanan menempuh kemacetan, aku memilih untuk berhenti di rest area KM 97 tol Cipularang. Pinggangku sakit sekali perlu di istirahatkan. Lima belas menit sudah kami berhenti tapi Zain tak kunjung bangun.
Kesempatan! Waktunya untuk membuka handphone itu. Kebetulan benda tipis itu berada di dashboard. Kuambil handphone itu kemudian pelan pelan mendekatkan ke jarinya. Peluh bertetesan, aku berasa sedang berlagak di film action.
Tangan sebelah kanan, jari telunjuk. Kutarik dengan pelan jarinya, dia bergerak karena terusik. Hampir saja handphone itu terjatuh. Menarik nafas kemudian kulanjutkan aksi tertunda itu. Salah! Bukan jari telunjuk.
Sepertinya jari tengah. Lagi, aku mencoba mendekatkan handphone itu ke jari tengahnya. Satu .... Dua .... Allahuakbar! Kepalaku ditariknya kemudian dijepitnya diantara ketiaknya itu. Handphone itu terjatuh dekat kakinya. Ya Tuhan! Aku ingin sekali menghilang dari bumi. Tidak bau sih, cuma posisi ini sangat menjijikan!
Zain! Awas saja kamu!
Bersambung ....
Maaf ya baru bisa post, lagi di kota dan ada kesibukan lain. Semoga suka, maaf kalau ada typo :)

YOU ARE READING
Pengantin Pengganti
RomanceHanin menerima lamaran dari Zain atas dasar paksaan tapi tak bisa dipungkiri kalau dulu ia punya rasa pada pria keturunan arab itu. Dipikirannya, menjadi istri seorang Zain adalah hal yang paling membahagiakan. Tapi Zain tidak berminat menjalani rum...