Pengantin Pengganti
Keesokan harinya, Zain menepati perkataanya. Dia menjemputku di apartement dan menumpang sholat subuh di sini. Aku tak habis pikir dengan pria itu. Saking takutnya seorang Hanin kabur dia rela berangkat subuh. Wajahnya tanpa ekspresi tapi sangat menakutkan.
Aku sempat mendengarnya saat berdoa tadi. Aku tidak menguping tapi dia berdoa tepat saat aku mencari charger handphone di ruang tamu. Doanya ... tidak lain tidak bukan, tentang Arumi. Dia memohon agar Arumi tenang dan masuk surga. Dia juga berkata kalau dirinya sangat mencintai wanitanya itu.
Seharusnya yang dilakukan Zain sekarang adalah menenangkan diri. Bukan malah memaksaku untuk ke Bandung bertemu Mama dan membahas pernikahan paksa itu. Ah sudahlah, memikirkan pria itu membuat kepalaku pusing. Lebih baik aku mengisi perut sebelum berangkat.
Aku menggoreng telur untuk sarapan, jangan harap aku membuatkan untuk Zain juga. Biarkan pria itu sadar kalau hidup denganku sama saja hidup di neraka. Akupun menyantap telur itu. Zain duduk berseberangan denganku, matanya terus mengawasi.
"Bad attitude," ucapnya.
Hampir saja aku tersedak mendengar ucapannya. Namun, siapa yang peduli dengan mulut pedas level seratus itu?
Selesai sarapan dan mencuci piring, aku duduk di meja rias menatap wajah yang belum tersentuh make up. Aku tak ingin terlihat lemah dan kusut, kupoles wajah ini dengan make up. Oh jangan lupakan lipstick merah cabai yang jarang kupakai karena kalau kata Kinan lipstick ini membuatku sangat dewasa.
Karena ingin terlihat berani dan membara, aku menjatuhkan pilihan pada blouse berwarna marun serta celana kain berwarna hitam. Seorang Hanin tak pernah lupa untuk memakai high heels. Koleksi high heelsku sudah banyak, semua warna ada. Aku tak menyukai mengenakan flatshoes karena menurutku kurang cocok dengan fashionku.
Saat aku membuka pintu kamar, Zain sudah berada di samping pintu sambil bersender. Matanya melihat jam yang ada di tangannya. "Tiga puluh menit untuk berdandan. Wasting time!" katanya kemudian menarikku agar cepat keluar.
Hari ini aku tidak akan melawannya, biarkan dia berlaku semaunya. Setelah itu, jangan harap bisa memaki ataupun memegang tanganku. Karena jujur, aku sangat muak dengannya.
Aku tersenyum kecut ketika tahu kalau Zain memakai mobil lamborghininya. Dia masih ingat dengan kriteria pria yang kuidamkan, salah satunya punya mobil lamborghini. Aku tak ingin percaya diri, tapi Zain sangat jarang memakai mobil itu.
"Tunggu apa lagi? Cepat masuk!" perintahnya. Duh, sifat bossynya baru saja keluar, akupun berpura-pura takut dan dengan cepat menutup pintu mobil tapi sepertinya terlalu keras hingga membuat tanduk di kepalanya muncul.
"Kamu tahu harga mobil ini kan?" tanyanya dengan wajah marah.
"Nggak tahu," jawabku cuek.
Zain menggeram kesal, diremasnya stir mobil sekuat tenaga. Seharusnya dia berpikir dua kali untuk menjadikanku istrinya. Apalagi ingin balas dendam denganku, jangan harap!
Perjalanan dari Jakarta ke Bandung disambut oleh kemacetan jalanan. Di tengah kemacetan itu aku merasa berada di kuburan karena saking sepinya mobil ini. Tak boleh menyalan lagu maupun radio karena sang empunya sudah siap dengan wajah mengerikannya. Aku juga lupa membawa earphone.
Akupun berselancar di media sosial, ada banyak foto terbaru dari teman-teman kuliah. Ada yang berfoto dengana anak, pasangan, dan keluarga besar. Huh, sedangkan aku? Tidak ada foto yang harus kuunggah. Tidak mungkinkan aku mengunggah foto dengan wajah yang memiliki bekas luka?
Mengingat kecelakaan itu, akupun menelusuri internet. Mencari berita tentang kecelakaan hari itu. Beberapa kali mencoba kata kunci yang berbeda tapi nihil. Aku tak menemukan apapun.
"Zain," panggilku, dia tengah fokus menyetir.
"Sekaya apa sih lo sampai berita kecelakaan itu bisa nggak ada?" tanyaku.
"Lo nyogok polisi dan media ya?" Lagi, aku bertanya.
Dia tampak terkejut terlihat dari raut wajahnya, tapi aku tahu itu hanya akal-akalannya saja agar terlihat lebih natural saat akting. Dia tidak menjawabku dan terus fokus menyetir. Menyebalkan!
"Kalau menurut gue, daripada buang-buang uang cuma buat balas dendam ke gue mending uang itu dipake buat ke psikolog. Lo keliatannya depresi berat."
Zain menginjak rem secara tiba-tiba membuat jantungku hampir loncat dari tempatnya. Astaga, kalau saja aku lupa memakai setbelt mungkin kepalaku akan berhantupan lagi dengan dashboard.
Tanganku bergetar karena mengingat kecelakaan itu. Aku tidak tahu trauma atau bagaimana tapi jantungku tak berhenti berdetak sangat cepat. Aku tak bisa mendengarkan omelan Zain lagi karena rasa takut ini menguasai diri.
"Hanin!" teriaknya.
Aku menutup telinga agar tak mendengar teriakannya yang memekakkan telinga. Aku harap kami cepat sampai di Bandung dan bertemu Mama lalu semuanya selesai.
∆∆∆
Akibat kemacetan itu kami tiba di Bandung ketika hari sudah siang. Sepanjang perjalanan kami saling diam, memang tidak ada yang perlu dibahaskan? Aku menatap wajah di cermin, semuanya masih on point. Aku tak perlu memolesnya lagi.
Kami pun keluar dari mobil, Mama sudah siap menyambut di depan pintu. Wajahnya cerah sekali saat melihatku dan Zain berjalan bersisian. Mama sebenarnya tahu kalau Zain itu akan menikah dengan Arumi, tapi dia tetap menyetujui jika aku dan Zain menikah.
"Assalamualaikum, Ma," ucapku kemudian memeluk Mama.
Mama memelukku erat sambil mengelus rambutku. Kemudian mencubit pipiku gemas. Setelah itu dia beralih memeluk Zain. Wajah bahagianya menyapa pria itu. Ingin sekali aku memberitahu Mama kalau yang tengah ia peluk itu manusia berhati iblis.
"Masuk yuk, Mama udah masak makanan kesukaan kamu." Mama menarikku dan Zain dengan semangat.
Kami duduk bersebelahan dan berseberangan dengan Mama. Sayur capcay adalah favoritku. Mama memberikanku semangkuk capcay, khusus untukku. Dengan lahap aku memakannya karena sudah berapa bulan tidak memakan sayur ini. Aku memang bisa membuatnya tapi rasanya sangat berbeda.
"Zain nggak suka makan sayur?" tanya Mama.
Aku menoleh ke piringnya, kering kerontang. Hanya ada nasi, ayam, dan tempe. Sedikitpun dia tak menyentuh capcay itu. Aku tersenyum licik lalu menarik mangkuk capcay. "Dia suka malu-malu, Ma. Sini aku ambilin." Aku memberikan sayur capcay di piringnya.
Benar saja, kakiku di tendangnya pelan. Aku tak peduli mau dia tendang atau apapun itu karena aku sangat puas melihat wajahnya yang mencoba mengunyah sawi. Kalau dia bisa menyiksaku, kenapa aku tidak?
Zain terbatuk-batuk ketika mencoba menelan makanan yang dikunyah. Mama panik menyuruhku menepuk punggunya, karena disuruh kutepuk saja punggunya sekuat mungkin hingga terdengar debuman yang nyaring.
"Hanin! Itu bukan keseleknya yang reda tapi jantungnya Zain yang lompat!" tegur Mama.
Baguskan kalau jantung dia yang lompat dari tubuhnya? Zain mengakhiri makannya dengan alasan sudah kenyang. Mama memakluminya. Sedangkan aku melanjutkan makan yang terhenti karena insiden Zain tersedak tadi.
"Semoga Mama ingat kedatangan saya dan Hanin ke sini untuk apa. Mama merestui kami kan?"
Dia membuka suara. Ini pertanyaan memiliki unsur paksaan. Dan bukannya tersinggung, Mama malah tersenyum senang.
"Mama merestui kalian. Walaupun Mama tahu pernikahan ini tidak direncanakan. Tapi melihat keseriusan kamu, Mama yakin menikahkan anak Mama dengan kamu Zain," jelas Mama.
Hatiku rasanya sakit sekali. Mama sangat berharap dengan Zain akan kebahagiaan putrinya. Nyatanya pernikahan yang akan kami jalani ini penuh misteri. Zain yang katanya ingin balas dendam, dan aku yang mencari dalang dari kecelakaan itu. Diantara kami tak ada yang mencintai, bahkan sudipun tidak untuk saling bersikap baik.
Seandainya saja ada lelaki baik hati yang melamarku di depan Mama. Aku akan senang sekali. Aku tak tahu bagaimana reaksi Mama jika tahu sejahat apa Zain itu. Dia pasti marah besar dan akan melontarkan sumpah serapahnya.
Bersambung ....
Maaf kalau ada typo yaa🙈🙈 semoga sukaa....

YOU ARE READING
Pengantin Pengganti
RomanceHanin menerima lamaran dari Zain atas dasar paksaan tapi tak bisa dipungkiri kalau dulu ia punya rasa pada pria keturunan arab itu. Dipikirannya, menjadi istri seorang Zain adalah hal yang paling membahagiakan. Tapi Zain tidak berminat menjalani rum...