1 -

31 3 0
                                    

=


"Jan, lo masih bangun?"

"Hei, Mar. Iya nih, just like usual. Sup tho?"

Hening.

"Mar? Ada apa?" suara di seberang telepon terdengar mulai panik.

Tetap hening.

"Gue tersesat." Begitu katanya.

"Di jam 3 pagi? Gila lo. Lo dimana? Tunggu, gue ke sana."

Kemudian Mareta menarik napas dalam-dalam, dan perlahan ia mengeluarkannya, membuat kedua pundaknya mengendur turun, seakan mewakili beban-beban berat yang menumpuk di dalam dirinya. Entah detik ini pukul berapa, Mareta tak peduli. Gadis itu hanya ingin duduk sendiri, sambil menunggu Januari yang pasti akan datang sebentar lagi. Terkadang, atau sebenarnya sering sekali, Mareta menikmati waktu seperti ini. Di antara lampu jalan yang berjarak kira-kira 100 meter antara satu dan lainnya, daun-daun pohon yang saling berbisik bersama angin, di bawah langit gelap, di atas aspal dingin tertidur.

"Hosh ..hosh ..hosh ..."

Kepala Mareta tak perlu ditolehkan ke asal suara terengah-engah yang tiba-tiba terdengar dari sisi kirinya itu.

"Nih bocah ngapa sih? Tumbenan banget nongkrongnya di sini."

Januari. Sudah pasti. Ia akan pasti akan datang. Selalu.

Mareta tetap tidak menolehkan kepala menyambut kehadiran sahabatnya itu. Hal seperti ini sudah biasa. Januari sudah hafal. Hanya saja malam ini Mareta memutuskan untuk tinggal di sini, bukan di rumah pohon atau di bukit ilalang. Gadis itu tersenyum ketika sisi kanan tubuh Januari menyenggol sisi kiri tubuhnya. Sahabatnya itu selalu jadi yang terpayah dalam urusan berlari, padahal tidak jauh.

"Pasti tadi lagi berduaan sama pacar lo, kan?" nada Mareta tidak bertanya.

"Iya ih, lo mah tau aja. Tadi lagi seru-serunya padahal."

"Lying has been detected!" Mareta langsung mencekik leher panjang Januari dengan jakun yang menonjol tajam di sana. "Kalo lagi seru-serunya lo kan mana mau nyalain henpon, whuuu, ketauan lo. Pasti lagi gabut kan, hahaha ..."

Jika Januari tidak meronta-ronta dan menjadi cerewet seketika, itu tandanya apa yang dikatakan Mareta tadi memang tidak salah. Tak ada alasan yang dapat menggeser sebuah fakta. Januari hanya cengengesan, kedua tangan Mareta dibiarkan mencekik lehernya. Ia memang senang sekali jadi gabut setelah tengah malam. Bukan nge-game, bukan juga maraton film.

"Kenapa hobi banget sih keliaran malam-malam begini, Mar?"

"Ini udah pagi, btw."

"Dari malam sampai pagi dini hari, ya." Januari pun mengoreksi. "Selaluuu aja begini lo."

Kemudian hening.

Gadis itu hanya diam. Sudut bibirnya tertarik membuat senyum. Ia memang tersenyum. Separuh bagian dalam dirinya merasa lega. Ada Januari di sampingnya, yang akan selalu datang dan duduk menemaninya. Tak perlu bicara banyak, mereka sudah terkoneksi satu sama lain. Mareta tersenyum akan hal itu. Menutupi bagian lain dirinya yang hampir saja lepas kendali.

"Dia datang lagi tadi malam."

Kalimat itu sontak membuat Januari melotot. "Hei, Mar. Seriously?" Ia menatap lekat wajah Mareta yang tak balas menatapnya. "Dia yang mana dulu? Bang Ebi atau dia? Atau ... DIA?"

Pundak Mareta merosot dengan tingkah berlebihan yang diberikan Januari di bagian akhir. Ia pasti begitu. Sudah serius, tapi ujung-ujungnya bercanda. Jadi menyebalkan. "Kalo gue bilang dia, ya dia, you knew who."

WallflowerWhere stories live. Discover now