3 -

14 1 1
                                    

=


"Coba lihat rekaman lu tadi!" pinta Mareta menjulurkan tangannya pada Januari, masih terus menjilat es krim lezatnya. "Mm. Mm. Mm." Dan ia terus berdehem di sela kegiatan menjilat es krimnya yang tetap khusyuk sambil menyaksikan rekaman-rekaman pendek di ponsel Januari di pasar malam tadi, sementara Januari menatap satu-satu hasil jepretan Mareta. Keduanya sama-sama senang melakukan hal berbeda di waktu yang sama, memotret dan merekam.

"This ice cream is sooooooooo delicious!!!" seru Januari bersemangat.

Mareta tersenyum puas. "I know right? Apalagi tambah permen kapasnya, uuuwh!"

Kini Januari yang tertawa, mengingat ekspresi Mareta yang tak rela permen kapas bentuk kepala Pikachunya di makan walau sedikit. Untungnya tadi sudah dipotret dulu berkali-kali, tak lupa juga ia rekam supaya momennya bisa kembali dikenang.

"Taruhan." Kata Mareta. "Pasti kita di sini sampai jam empat subuh."

Sedari tadi, mereka masih asyik menikmati es krim dan permen gula kapas masing-masing. Lebih tiga puluh menit, dan masih duduk rapi dengan makanan di tangan. Kapan main gamenya? Kapan pula nonton filmnya?

"Pasti kita nggak tidur!" sahut Januari.

"Hehe. Habisin ini dulu lah. Sayang kalo dianggurin, hmm ..."

A Sky Full of Stars milik Coldplay mengalun syahdu menemani mereka di tempat istimewa ini. Di atas rumah pohon yang menjadi markas rahasia Mareta dan Januari selama sebelas tahun ini, sedari umur mereka masih lima tahun. Yang dulunya terasa luas sekali karena tubuh kecil mereka, dan kini terasa jauh berbeda dengan tubuh mereka yang sudah bertumbuh kembang juga tentunya.

"Lu tau kabar Max Schlanger dioperasi setelah pertandingan basket beberapa hari lalu nggak?" Januari mengawali pembicaraan. Mareta mengangguk. Keduanya tetap khusyuk menikmati es krim yang seperti tak ada habisnya. "Ugh, love that guy."

"Love it as much as a sky full of stars." sambung Mareta, terkesan cuek menimpali karena seperti menit-menit lalu, tetap khusyuk dengan es krim di tangannya.

"You better love me."

"I love you."

"Thanks, i love me too."

"Ugh." Mareta memutar kedua bola matanya jijik. Tak sadar, es krimnya lebih dulu habis dari es krim Januari. Dibuka lebar mulutnya, meminta Januari memberi sesuap saja untuknya.

Angin malam berhembus lembut, membelai helaian rambut mereka. Dari atas rumah pohon, warna-warni lampu pasar malam dapat terlihat jelas, dan Mareta tak akan lupa untuk memotretnya. Yang paling disukainya adalah menjadikan pendar cahaya itu potret blur atau bokeh, bahasa kerennya. Januari hafal sekali hal satu itu.

"Tangan, tangan, tangan!" seru Mareta kemudian. Januari menurut saja, menjulurkan tangan kanannya seolah hendak meraih lampu-lampu kota dari atas sini. Jika belum dirasa pas atau kurang bagus untuk dipotret, Mareta akan terus memperbaiki letak tangannya, atau tangannya harus bagaimana; apakah seperti hendak meraih sesuatu atau menggenggam tangan Mareta, atau mencari angle bagus lainnya.

Jika Januari selalu merekam menggunakan ponselnya, Mareta akan memotret dengan kamera polaroid atau dslr-nya yang dinamakan Popo dan Kenny. Ransel jeans yang dibawanya akan selalu diisi dengan dua kamera itu beserta earphone putihnya, sementara Januari yang membawa laptop, headphone, dan dua joy stick, satu miliknya dan warna biru milik Mareta.

WallflowerWhere stories live. Discover now