6

5 1 3
                                    

=


Januari menghempas tubuhnya ke atas ranjang. Ia sedang malas bermain dengan salah satu pacarnya alias game online. Ia malas mengganti seragam, ia malas makan, ia malas mandi, dan ia malas untuk hidup di dunia ini.

Kenapa Hana kembali? Terpikirkan hal itu secara tiba-tiba. 

Apa untuk mengganggu hidupnya lagi? Sudah cukup bagi Januari untuk berurusan dengan perempuan itu. Hana cantik memang, namun sifatnya memuakkan. Terlalu manja, terlalu kekanak-kanakan, terlalu menuntut ini dan itu. Januari hanya ingin seseorang yang menerima apa adanya dia, menyahuti segala ucapannya dengan bahasa inggris, tertawa di setiap candaan konyol yang sangat receh, dan berbicara tentang alam semesta bersamanya. Seperti Mareta. Jelas mereka berdua sangat bertolakbelakang.

Memang waktu yang pernah dilaluinya bersama Hana hanya sebentar, itu pun bisa terhitung sebagai perasaan abal-abal anak baru gede. Baru juga lulus SD. Mungkin memang seperti itu adanya. Tapi jika dibandingkan dengan waktu yang telah berlalu jauh sebelum ia bertemu Hana, berbanding jauh sekali rasanya. Sejak pertama bertemu gadis rambut biru pembaca pikiran itu, ada sesuatu yang berbeda. 

Mengingat gadis berambut biru, Januari segera mengecek ponselnya. Matanya hampir copot karena melotot. 47 panggilan tak terjawab, tidak ada pesan. Sudah pasti ini benar-benar keadaan gawat darurat.

Segera ditelponnya gadis itu. "Mar? Lo masih hidup, kan?"

Hening sebentar. 

"Beliin gue pembalut."

"WHAT THE?!" Januari terbahak, tapi suara Mareta benar-benar terdengar tak berdaya.

"Buruan, kucrut. Gue ditabrak barusan."

"LHA KENAPA MALAH MINTA PEMBALUT?!!"

"Udah beliin aja!"

Januari segera mematikan sambungan telepon dan memakai hoodie abu favoritnya. Untung belum lepas sepatu, jadi ia langsung jos berlari menembus hujan hingga tiba di minimarket di perempatan gang. Ia tak peduli dengan pandangan kasir yang mendapati dirinya membeli sebuah pembalut. Ia juga tak peduli basah kuyup sampai ke rumah Mareta. Januari masuk lewat pintu gerbang yang langsung menghubungkan ke kamar Mareta dengan halaman kecil di depannya. Pintunya tidak ditutup, dan darah mengotori lantai.

"Segitu suburnya dirimu sampai darahnya ngucur dimana-mana, Mar??" tukasnya langsung masuk dan melempar bungkusan pembalut ke wajah Mareta yang terkapar di atas ranjang.

Mareta berusaha mengangkat tubuhnya sambil menggeram terlihat kesakitan. Seprainya dikotori darah. Kakinya pun begitu.

"Lo ditabrak atau sedang dapet atau habis ngelahirin sih?!!" Januari terkekeh, tapi terdengar kepanikan dalam suaranya. Gadis itu tak menjawab, hanya berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Januari menghela napas. Menunggu Mareta sambil membersihkan lantai kamar. Di sela-sela kegiatan mereka, Mareta menceritakan kejadian sebenarnya.

"Jadi tadi gue dapetnya pas pulang sekolah, banyak banget! Trus gue buru-buru pulang kan ... eh tapinya truk itu cepet banget anjir, bikin gue nyungsep di selokan. Gue nggak tau kenapa dah kaki gue bisa berdarah banyak kayak gini, kena sesuatu yang tajam kali ya waktu gue nyungsep? Huuh ..."

Januari tersenyum geli mendengarnya. Ia bisa saja meminta tolong pada abang atau neneknya, tapi hanya ada Januari dalam pikiran Mareta. Ia tak butuh siapa-siapa kecuali Januari, dan Januari pun tak pernah keberatan dengan hal itu. Karena ia tau Mareta. Ia tau Mareta butuh seseorang yang bisa membuatnya merasa bahwa ia adalah bagian dari hidup seseorang, yang benar-benar ada, dan tidak dilupakan.

WallflowerWhere stories live. Discover now